Selasa 21 Jul 2020 07:44 WIB

Kenangan Debar Kala Pergi Wukuf ke Arafah

Sejuta kenangan dan ingatan saat tiba berangkat wukuf ke Arafah.

Rombongan putra Raja Saudi Arabia berjalan ke Padang Arafah menjelang puncak haji pada tahun 1935.
Foto: gahetna.nl
Rombongan putra Raja Saudi Arabia berjalan ke Padang Arafah menjelang puncak haji pada tahun 1935.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Kala itu mendekati tanggal 9 Dzulhijjah. Saatnya jamaah haji  mulai bersiap pergi ke Arafah untuk melakukan wukuf. Beberapa rekan yang kini tengah berhaji sudah banyak memunggah foto mereka ketika 'melakukan peninjauan awal' ke tempat itu. Dalam banyak foto terlihat tenda mulai didirkan dan para pekerja tengah sibuk menuntaskan berbagai hal yang terkait penyempurnaan fasilitas wukuf, seperti tenda, menyaiapkan toilet, mengecek ketersediaan air bersih, pendingin udara, dan lainnya.

''Mohon restunya. Doakan kami sehat dan teman-teman bisa menyusulnya,'' kata Asori, seorang jamaah haji asal Kabuaten Batang. Dia mengunggah foto dirinya yang tengah berjalan-jalan di sekitar Mina.

Setiap tahun, rombongan haji dari Nusantara sudah mulai datang ke Makkah, beberapa waktu sebelum bulan Ramadhan, karena mereka ingin melakukan ibadah puasa di kota suci itu dan sembahyang tarawih di Masjidil Haram atau di zawiyah

seorang syekh tarekat yang termasyhur.

Rata-rata mereka tinggal empat sampai lima bulan di Hijaz sebelum pulang. Hampir semuanya juga mengunjungi kota Madinah setelah melaksanakan ibadah haji; ziarah ke makam Nabi di sana sudah lazim bagi jemaah haji Nusantara. Selain itu, mereka mengikuti pengajian-pengajianyang diberikan di mana saja di kota Makkah dan Madinah.

Di antara jamaah haji ini tidak banyak yang bisa berbahasa Arab, tetapi itu tak menjadi masalah. Di mana-mana ada ulama berasal dari Nusantara atau mukimin yang memberi pengajian dalam bahasa Melayu. Para syekh tarekat pun mempunyai wakil-wakil 'Jawah' khusus untuk melayani jemaah haji Nusantara yang ingin memperdalam penghayatan tarekat.

Di Makkah, jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu sudah berfungsi sebagai ikatan pemersatu orang Nusantara. Bayangkan, di Makkah orang dari Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Selatan, Kalimantan, Semenanjung Malaya, Minangkabau, dan Aceh selama lima bulan bebas bergaul, tukar pengalaman dan

pikiran.

Snouck Hurgronje mencatat bagaimana orang dari seluruh Nusantara ikut membicarakan perlawanan Aceh terhadap Belanda, dan bagaimana mata mereka dibuka mengenai penjajahan Belanda maupun Inggris dan Prancis atas bangsa-

bangsa Islam. Para haji hidup beberapa bulan dalam suasana anti-kolonial, yang sangat berbekas. Pemberontakan petani Banten 1888 dan pemberontakan Sasak 1892 melawan Bali (yang menduduki Lombok pada zaman itu) jelas diilhami oleh pengalaman tokoh-tokohnya ketika mereka berada di Makkah.

Dengan demikian, perjalanan haji mulai berfungsi sebagai pemersatu Nusantara dan perangsang anti-kolonialisme. Dan masyarakat 'Jawah mukim' punya peranan penting sebagai perantara antara orang Nusantara dan gerakan agama maupun politik di bagian dunia Islam lainnya.

Ulama seperti Nawawi Banten, Mahfudz Termas, dan Ahmad Khatib Minangkabau, yang mengajar di Makkah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, mengilhami gerakan agama di Indonesia dan mendidik banyak ulama yang kemudian berperan penting di Tanah Air.

Banyak 'Jawah mukim' yang juga pernah belajar di madrasah modern Shaulatiyah, yangdidirikan di Makkah pada tahun 1874 oleh orang India . Melalui madrasah ini, mereka juga tahu dari lebih dekat tentang perjuangan orang India melawan penjajahan Inggris. Keilmuan agama dan kesadaran nasional berkembang dalam hubungan erat satu dengan yang lain.

Pada tahun 1934, karena suatu konflik yang menyangkut kebanggaan nasional orang Indonesia, guru dan murid 'Jawah' telah keluar dari Shaulatiyah dan mendirikan madrasah Darul Ulum di Makkah.

Selama dasawarsa terakhir masa kolonial, madrasah ini merupakan pusat intelektual bagi orang Indonesia dari kalangan pesantren di Makkah. Bagi kaum modernis, pada masa itu, Mesir telah menjadi pusat pergerakan; tetapi untuk ke Mesir pun, Makkah tetap menjadi batu loncatan menimba ilmu mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement