Senin 20 Jul 2020 16:42 WIB

Pemerintah Bentuk Satgas Awasi Tata Niaga Nikel

Satgas akan mengawasi transaksi bijih nikel di smelter agar mengacu pada HPM.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja berada di dekat tungku pembakaran biji nikel ddi PT Antam Tbk (ilustrasi). Pemerintah membentuk satgas untuk melakukan pengawasan terhadap transaksi jual-beli bijih nikel dari penambang kepada smelter.
Foto: ANTARA FOTO/Jojon
Pekerja berada di dekat tungku pembakaran biji nikel ddi PT Antam Tbk (ilustrasi). Pemerintah membentuk satgas untuk melakukan pengawasan terhadap transaksi jual-beli bijih nikel dari penambang kepada smelter.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah membentuk satuan tugas (satgas) untuk melakukan pengawasan terhadap transaksi jual-beli bijih nikel dari penambang kepada smelter. Satgas ini bertujuan memastikan implementasi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 tahun 2020 yang mengatur tata niaga bijih nikel dalam negeri.

Regulasi tersebut mengatur tentang penetapan Harga Patokan Mineral (HPM) logam dan Harga Patokan Batubara (HPB). Permen ESDM No 11/2020 ini mengatur agar transaksi jual-beli bijih nikel dari penambang ke smelter mengacu pada HPM.

Baca Juga

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengungkapkan, satgas tersebut terdiri dari pihak Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian dan juga Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

"Kami sudah minta anggota dari BKPM, sudah menyampaikan. Satu lagi kita menunggu dari Kemenperin, belum menyampaikan kepada kita," kata Yunus dalam konferensi pers virtual yang digelar Senin (20/7).

Dia menargetkan, satgas ini bisa segera terbentuk dan mulai bulan depan sudah bisa menjalankan tugasnya dalam mengawasi transaksi bijih nikel di smelter agar mengacu pada HPM. Dari hasil pengawasan satgas ini, Yunus menegaskan bahwa pemerintah pun bakal memberikan sanksi kepada pihak yang melanggar.

"Oh iya, (bulan depan) sudah bisa berjalan dan tegas Mungkin baru bulan depan akan keluar sanksi-sanksi tersebut," sambung Yunus.

Kata dia, koordinasi dengan Kemenperin sangat diperlukan lantaran ada smelter yang perizinannya terbit dalam bentuk Izin Usaha Industri (IUI). Menurut Yunus, satgas akan memberikan hasil pengawasan atau rekomendasi sedangkan peringatan hingga sanksi akan dikeluarkan oleh pemberi izin.

"Yang punya kewenangan memberikan peringatan dan sanksi sesungguhnya institusi yang memberikan izinnya. Seperti IUP OPK pengolahan dan pemurnian di kita, IUP penambang berarti ESDM. Kalau dari IUI maka Kemenperin," jelas Yunus.

Adapun menurut Yunus, harga jual-beli bijih nikel dengan mengacu pada HPM ini merupakan formulasi yang lebih adil bagi penambang maupun smelter. Dia menerangkan, penetapan HPM pada Permen ESDM No. 11/2020 telah mempertimbangkan Harga Mineral Acuan (HMA) yang berlaku secara internasional.

Yunus pun memastikan, harga bijih nikel yang mengacu pada HPM pasti di atas Harga Pokok Produksi (HPP) dari penambang. Sehingga, tetap memberikan margin keuntungan bagi penambang maupun pengusaha smelter.

Yunus memberikan gambaran, HPP nikel rata-rata berkisar di angka 20 - 22 dolar per ton. Dengan harga rata-rata bijih di level 28 - 30 dolar per ton, kata Yunus, penambang masih memiliki margin profit sekitar 34 persen, sedangkan untuk smelter sekitar 33 persen.

"Ini sudah mempertimbangkan kedua belah pihak, baik penambang maupun smelter. Itu artinya (harga nikel domestik mengacu pada HPM) sudah ada di posisi yang tengah," sebut Yunus.

Dia memang tak memaparkan dengan detail berapa banyak transaksi bijih nikel di smelter yang sudah dan yang belum mengacu pada HPM. Namun, Yunus menyebut bahwa jika masih ada transaksi yang di bawah HPM, bisa jadi itu merupakan kontrak lama antara penambang dan smelter yang belum disesuaikan.

"Maka penyesuaian kontrak itu butuh waktu. Ada yang kontraknya berakhir 3 bulan lagi, 2 bulan lagi, nanti diperbarui dengan HPM," kata Yunus.

Yang jelas, dia menegaskan bahwa HPM logam nikel yang tercantum dalam Permen ESDM No. 11/2020 merupakan harga batas bawah (floor price) yang harus ditaati oleh penambang dan smelter, termasuk yang berjenis perizinan IUI.

Sekalipun harga transaksi lebih rendah dari HPM pada periode tertentu atau karena ada penalti atas mineral pengotor (impurties), penjualan dapat dilakukan di bawah HPM dengan selisih paling tinggi 3 persen.

Jika tidak, maka pemerintah akan memberikan sanksi mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha, dan atau pencabutan izin.

Pengawasan dalam implementasi tata niaga nikel domestik ini bakal dilakukan oleh satgas dan hasilnya akan dilaporkan ke Kementerian terkait, yakni Kementerian ESDM dan Kemenperin. "Satgas tugasnya kerja, mengevaluasi, melihat sejauh mana implementasinya. Satgas melaporkan pada kementerian, kemudian nanti kementerian yang memberikan surat peringatan atau sanksi secara resmi," tandas Yunus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement