Senin 20 Jul 2020 15:26 WIB

Varian Baru Politik Dinasti di Tanah Air

Sebelumnya politik dinasti terjadi ketika sang presiden telah turun tahta.

Bakal calon Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka memberikan keterangan kepada Wartawan saat berada di kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan, Solo, Jawa Tengah, Jumat (17/7/2020). Majunya Gibran di Pilkada 2020 akan menambah varian politik dinasti di Tanah Air.
Foto: Antara/Mohammad Ayudha
Bakal calon Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka memberikan keterangan kepada Wartawan saat berada di kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan, Solo, Jawa Tengah, Jumat (17/7/2020). Majunya Gibran di Pilkada 2020 akan menambah varian politik dinasti di Tanah Air.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Mimi Kartika, Binti Sholikah

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 bakal diramaikan keluarga presiden Joko Widodo (Jokowi) di sejumlah daerah. Mulai dari putra pertama Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menantu Jokowi Bobby Afif Nasution yang menikah dengan Kahiyang Ayu, lalu Wahyu Purwanto suami dari adik kandung Jokowi serta Dolly Sinomba Siregar seorang paman dari Bobby Nasution.

Baca Juga

"Masuknya nama putra sulung dan menantu serta besan presiden Jokowi dalam bursa calon kepala daerah 2020 menjadi sorotan publik," ujar pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago dalam pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Senin (20/7).

Masuknya Gibran sebagai bakal calon di Pilkada, lanjut Pangi, ini adalah fenomena baru dalam varian politik dinasti di Indonesia. Sebab untuk pertama kalinya keluarga presiden yang masih menjabat ikut serta dalam perhelatan pilkada serentak. Sebagai presiden yang masih menjabat, Pangi mengatakan semestinya keluarga inti presiden harus menjaga jarak dari politik praktis.

"Juga berupaya menghindari konflik kepentingan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan serta memanfaatkan pengaruh presiden untuk kepentingan pribadi terkait kontestasi yang akan mereka ikuti," tambah Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting tersebut.

Di sisi lain, kata Pangi, memang secara hukum tidak ada aturan yang dilanggar dan membatasi siapa pun termasuk anak atau keluarga presiden sekali pun untuk terlibat dalam politik praktis. Namun tersandera soal etika dan kepatutan, semestinya harus dipertimbangkan matang, Ia mengatakan, jangan terkesan seperti fenomena “politik aji mumpung” kebetulan bapaknya lagi jadi presiden.

Menurut Pangi, politik dinasti pada dasarnya sudah mengakar kuat di Indonesia mulai dari dinasti Soekarno, Soeharto, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun untuk Jokowi adalah eksperimen awal membangun trah dinasti politiknya. "Pertanyaannya adalah apakah Jokowi sudah menyiapkan infrastruktur untuk menopang politik dinastinya?" ucap Pangi.

Lanjut Pangi, jika tidak dipersiapkan dengan matang, bisa saja eksperimen politik dinasti Jokowi ini hanya menjadi ajang kelinci percobaan. Kalau seandainya gagal misalnya, maka sama saja mempermalukan dan menggerus legitimasinya sebagai presiden. Jika Jokowi menggantungkan harapan pada PDI Perjuangan sebagai infrastruktur politiknya maka bisa menjadi dilema. Elite PDI Perjuangan akan mempersempit ruang geraknya, kalau pun dibuka akan menghambat dinasti politik yang sudah dibangun.

Sebab ketua umum partai lain juga sedang menyiapkan trah dinasti politiknya. Selain itu langkah ini akan melahirkan konflik internal yang merusak tradisi meritokrasi, memprioritaskan figur kader internal yang sudah berdarah-darah membesarkan partai. Jika Jokowi mempersiapkan infrastruktur politik dan penopang lain untuk membangun dinasti politiknya, maka Jokowi akan distempel menyalahgunakan kekuasaannya.  "Jokowi tidak akan membiarkan putra dan menantunya berjuang sendiri, tidak tega melihat mereka kalah dalam kontestasi elektoral, tentu hal tersebut bisa memalukan Jokowi," kata Pangi.

Beratnya lagi, sambung Pangi, misalnya kalau di tengah jalan terjadi penyalahgunaan dan penyimpangan keuangan negara alias tindak pidana korupsi yang dilakukan anak presiden sebagai kepala daerah, pertanyaannya siapa yang berani melawan anak presiden?. "Alhasil penegakan hukum berjalan tidak normal karena adanya intervensi kekuasaan, alasannya demi menyelamatkan citra presiden dan seterusnya. Ini yang barangkali kita maksud lebih besar aspek mudaratnya dari pada manfaatnya terkait embrio politik dinasti," kata Pangi.

Direktur Eksekutif Media Survei Nasional (Median), Rico Marbun, pemberian rekomendasi PDIP kepada Gibran untuk maju di pilkada menjadi simbol kekuatan pengaruh Jokowi di PDIP. Rico menuturkan, sosok Presiden Jokowi menjadi salah satu pertimbangan utama pemberian rekomendasi PDIP kepada Gibran.

Ia melihat, dinasti politik keluarga Jokowi mulai terbangun dengan mulusnya Gibran maju menjadi kandidat di Pilwakot Solo tahun ini. Ia pun menantikan cara Gibran meraih kekuasaan, apakah melalui jalur kompetisi yang adil atau tidak. Kemudian, apakah Gibran menjadi bakal calon kepala daerah berdasarkan kemampuan atau hanya sebatas faktor kekerabatan dengan Presiden Jokowi.

"Secara teoretis apa yang berlaku pada Gibran ialah dinasti, tapi ya jujur saja, kan Gibran tidak sendirian di sini. Jadi yang perlu dilihat selanjutnya adalah apakah kompetisi yang terjadi nanti di pilkada akan fair atau tidak," kata Rico.

Di sisi lain, Rico juga menantikan sikap partai lain apakah berani mengajukan lawan bersaing dengan Gibran di Pilwakot Solo atau tidak. Selain itu, ia juga menantikan sikap Purnomo yang setelah gagal mendapatkan rekomendasi PDIP.

Mengingat Purnomo masih mengantongi elektabilitas yang tinggi berdasarkan hasil survei. Purnomo juga masih memiliki waktu karena pendaftaran calon kepala daerah jalur partai politik masih beberapa bulan mendatang.

"Ada tidak kandidat lain yang muncul untuk melawan Gibran? Bisa Pak Purnomo sendiri atau tokoh partai yang lain," tutur Rico.

Namun ia menegaskan, lawan Gibran harus memiliki kompetensi yang mumpuni untuk memenangkan pemilihan. Apalagi tantangan pandemi Covid-19 seperti ini luar biasa bagi kepala daerah saat ini maupun mereka yang terpilih dalam Pilkada 2020 nanti.

Apabila tidak ada yang berani melawan Gibran, Rico menyebutkan, kemungkinan Gibran akan bersaing dengan kotak kosong. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Rico dapat menjadi penilaian masyarakat terhadap upaya partai melakukan tugas dan fungsinya atau justru melanggengkan praktik politik dinasti.

"Jawaban atas ketiga dinamika itu yang membuat masyarakat akan menilai apakah partai politik sudah melakukan tugasnya atau larut dalam dinasti," tutur Rico.

Bakal calon wali kota yang diajukan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Solo, Achmad Purnomo, menyatakan siap membantu tim pemenangan pasangan Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa yang sudah resmi mendapat rekomendasi dari DPP PDIP, jika dimintai bantuan. Namun, sejauh ini Purnomo menyatakan belum dimintai bantuan apapun.

"Tapi Mas Gibran belum minta, mintanya apa, mampu tidak saya. Pokoknya siap membantu," ujar pria yang saat ini menjabat sebagai Wakil Wali Kota Solo tersebut kepada wartawan, Senin (20/7).

Alumnus Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut mengaku siap jika diminta menjadi penasihat. Sebab, Purnomo juga menyatakan siap saat diminta oleh Jokowi untuk memerikan saran-saran kepada Gibran. "Tapi kalau diminta dan kalau saya mampu. Diminta sebagai apa dulu," imbuhnya.

Menurutnya, dia siap membantu siapa pun yang memimpin Kota Solo, karena dia mencintai Kota Solo. "Satu hal yang harus disadari pemimpin ialah harus mendengarkan masyarakat. Harus sama-sama guyub rukun," pungkasnya.

Secara terpisah, Ketua DPC PDIP Solo yang juga Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo, mengatakan bakal melibatkan Purnomo dalam tim pemenangan Gibran-Teguh. "Oh iya (dilibatkan). Tapi nanti setelah suasananya bisa kita ajak komunikasi dengan baik," ucap Rudyatmo, Ahad (19/7).

Rudyatmo menyatakan, saat ini hubungannya dengan Purnomo baik dan tidak ada persoalan. Namun, dia memahami jika Purnomo merasa kecewa karena gagal mendapatkan rekomendasi dari DPP PDIP. "Tapi hati itu kan tidak bisa diingkari, itu manusiawi lah," ujar Rudyatmo.

Rentan korupsi

Politik dinasti sebenarnya tidak tumbuh subur hanya di Indonesia. Di luar negeri sekalipun politik dinasti bisa dengan mudah ditemukan.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dini Suryani, mengatakan penyebab utama politik dinasti menjamur di Indonesia ialah mandeknya fungsi partai sebagai sarana rekrutmen politik yang objektif. Anggota keluarga dinasti yang telah memiliki modal/privilege atau finansial/popularitas dipandang lebih potensial menang dalam pemilihan dibandingkan orang biasa.

Ia melanjutkan, hal tersebut didukung oleh sistem pemilu di Tanah Air yang sangat fokus pada personal dibandingkan program. Diperkuat lagi dengan tidak adanya aturan yang melarang anggota keluarga pejabat politik maju dalam kompetisi politik.

Dini menuturkan, beberapa tahun lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pasal antipolitik dinasti yang sebenarnya bisa menjadi penghalang menjamurnya politik kekerabatan yang hari ini sangat subur. Larangan politik kekerabatan sebenarnya sudah tercantum dalam UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015, tetapi digugat ke MK dan dikabulkan karena dinilai melanggar hak konstitusional warga negara untuk dipilih dalam politik.

"Sebab lain adalah pemilih kita yang masih permisif dengan politik uang, yang banyak dilakukan oleh para kandidat dari dinasti politik, karena mereka punya modal finansial yang kuat," kata Dini.

Salah satu contoh terbaru korupsi dari politik dinasti datang dari Kabupaten Kutai Timur. Pada awal bulan ini Bupati Kutai Mumtaza ditangkap KPK akibat dugaan suap. Bupati Kutai Timur tidak ditangkap sendirian, istrinya yang menjabat Ketua DPRD Kutai Timur juga ikut dibekuk karena diduga bersekongkol.

photo
Kontroversi Pilkada di tengah pandemi Covid-19. - (Berbagai sumber/Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement