Entah mengapa setiap pertanyaan Dinda, aku mendengar sebagai orang yang hendak menyelidik. Aku harus menjawab dengan hati-hati pula dan mesti logis. Sebab, bisabisa kembali terjadi perdebatan amat lama. Pertengkaran tak terelakkan.
"Baiklah, kalau alasanmu begitu. Masuk akal juga," katamu. Sengaja aku bertanya bukan ingin menyelidikimu atau mendiktemu, melainkan harus jelas mengapa pengarang memasukkan tokoh ini dan tidak membawa tokoh itu dalam bagian tertentu.
"Jangan sampai sekelasmu, soal tokoh masih menjadi kendala."
Dinda menarik napas sesaat, lalu menghembuskan. Suaranya jelas. Ia mau buat jeda sejenak. Aku menunggunya bicara lagi. Aku terkadang kecewa kalau membaca roman. Terlalu banyak memakai tokoh, tetapi hanya sedikit yang berperan. Lainnya ibarat pemain figuran.
"Ya harusnya kalau tak banyak dipakai, ya tak usah dimunculkan. Mestinya, pengarang belajar banyak dengan dalang yang memainkan wayang-wayangnya."
"Lalu," masih katamu, "cara membangun narasi dan konflik juga sering terburu-buru. Muncul konflik segera diselesaikan. Kayak ketakutan habis dialog atau tak paham persoalan. Jadi, cerita menjadi lemah. Mudah ditinggalkan sebelum dibaca tuntas. Sejatinya, sebuah roman memberi keseruan, ketertarikan, sehingga pembaca selalu mengikutinya karena penasaran, hingga bacaan itu selesai."
Aku tak membantah. Kubiarkan Dinda mengungkapkan pendapatnya tentang roman sastra. Ia, seperti juga Rena, memang pembaca karya sastra yang aktif. Bukan saja bacaan prosa, puisi juga tak luput dilahapnya. Ada juga roman yang kurang detail.
Menyebut bunga, namun tak dijelaskan apakah mawar, ros, melati, dan seterusnya. Juga karakter tokoh, tanda di tubuh misal wajah apakah ada tahilalat, alisnya tebal atau tak, bibir bagaimana, dan seterusnya. Narasi itu mesti menjelaskan agar pembaca bisa membayangkan seakan kenyatan. "Novel Pramoedya Ananta Toer sangat kuat menarasikan semua itu," katamu kembali.
Aku setuju karena itu tak kubantah. Aku pernah membaca penulis muda, antara karya dan pemikirannya jauh bagai api dengan periuk. Teori atau istilahnya top hebat sekali. Begitu kubaca karyanya, ya tak luar biasa amat. Itulah kalau menulis terpaku dengan teori-teori sendiri. "Padahal, saat menulis, lupakan teori yang bakal membelenggu itu!" katamu.
Aku maklum. Kau sudah lebih lama membaca karya sastra meski tak punya niat jadi penulis sastra. Katamu, "Cukuplah aku jadi pembaca, penikmat. Itu sudah syukur. Tak harus semua menjadi sastrawan. Lalu siapa pembacanya?"
"Tepat!" balasku. Jangan sampai kita seolah-olah serba-bisa, nyatanya satu pun tak kita geluti maksimal. Akibatnya, seperti perenang yang hanya berada di tepian.
"Ya, akibat merasa seakan-akan diri bisa semua, padahal minus kemahiran, banyak omongnya.... hehehe," tambahmu.
Sungguh, aku makin mengagumimu. Kupandangi diri Dinda dari rambut panjang hingga melebihi punggung, hidung mangir putih, tangan putih halus. Apalagi yang bisa kuurai untuk mengatakanmu indah?
Terima kasih, sayang. Kamu memang patut kusayangi+kucintai. Kau sumber inspirasiku: Monalisa dalam karya-karyaku, aku membatin. Sungguh, keberanian untuk kukatakan itu di depanmu tak punya. Cukuplah kusimpan. Lalu, Rena bermain-main di dekat mataku. Oh, aku berada di antara dua belokan. 2018-2019
TENTANG PENULIS: Isbedy Stiawan Zs, lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, pada 5 Juni 1958. Ia menulis antara lain puisi, esai, dan cerita pendek. Karya-karya sastranya dimuat di bebagai media massa.
Sebagai pengampu Lamban Sastra, ia telah menerbitkan buku sekira 30 judul. Yang terbaru adalah kumpulan puisi Seseorang Keluar dari Telepon Genggam dan Alamat Rindu (2019).
Pada tahun ini, ia siap meluncurkan karya berjudul Peziarah Waktu dan Kini Aku Sudah Jadi Batu! Pada 2019, ia masuk dua kategori lomba penulisan: cerpen dan puisi yang ditaja Dinas Pariwisata Pemprov DKI Jakarta.