Sabtu 18 Jul 2020 19:12 WIB

Program Nuklir Iran yang Diributkan Barat dan Negara Arab

Program nuklir Iran dituding Barat dan Arab dikembangkan untuk senjata militer.

Rep: IRNA/BBC/Reuters/AP/ Red: Elba Damhuri
Proyek reaktor nuklir Arak di Iran.
Foto: Reuters/ISNA/Hamid Forootan/Files
Proyek reaktor nuklir Arak di Iran.

REPUBLIKA.CO.ID -- Hubungan Iran dan negara-negara Barat kembali memanas setelah prinsip kerja sama program nuklir Iran yang disepakati pada 2015 Wina Austria ditinggalkan Amerika Serikat (AS).

Iran membalas sikap AS yang keluar dari perjanjian nuklir pada 2018 dan kemudian membunuh Jenderal Qasem Soleimani, komandan pasukan elite Iran, Quds, bagian dari Garda Revolusi Iran.

Iran menegaskan akan mengabaikan isi perjanjian program nuklir yang disepakati ketika Barack Obama menjadi presiden AS dan John Kerry sebagai menteri luar negeri AS.

Belum lama ini, intelijen Jerman mengungkapkan Iran sedang meningkatkan program pengayaan uraniumnya yang bisa dijadikan senjata nuklir. Namun, temuan ini dibantah Pemerintah Teheran.

Rusia dan China berada di belakang Iran yang saat ini menghadapi tekanan keras dari AS, Jerman, Inggris, Prancis, PBB, dan IAEA. 

Menurut laporan media Inggris, BBC, Iran saat ini tidak memiliki program senjata nuklir. BBC menyatakan Iran sejak awal menegaskan memang tidak menginginkan pengembangan program senjata nuklir.

Meski begitu, BBC melaporkan Iran memiliki banyak elemen yang diperlukan dan pengetahuan yang cukup untuk menciptakan senjata nuklir bagi tujuan militer.

Pada 2015, pemerintah AS di bawah Presiden Obama memperkirakan Iran hanya membutuhkan 2-3 bulan untuk menghasilkan bahan nuklir yang cukup dalam membuat senjata.

Sejak Juli 2020, Iran secara bertahap mulai menaikkan produksi uraniumnya. Iran menyatakan berhak melakukan itu sebagai tanggapan atas sanksi AS ketika negara itu membatalkan perjanjian pada 2018.

Prancis, Jerman dan Inggris mengatakan mereka tidak menerima argumen Iran. Namun mereka ingin menyelamatkan kesepakatan ini melalui dialog.

Di bawah kesepakatan nuklir, Iran setuju untuk membatasi kegiatan sensitifnya dan mengizinkan pengawas internasional dengan imbalan pencabutan sanksi internasional.

Kepala Organisasi Energi Atom Iran, Ali Akbar Salehi, pada tahun lalu mengatakan Iran memulai kembali kegiatan reaktor nuklir air berat di Arak.

Air berat, yakni air yang memiliki isotop H-2 (deuterium) dapat digunakan di reaktor nuklir untuk memproduksi uranium, bahan baku senjata nuklir.

 

Di luar Arak, ada tiga fasilitas nuklir lain yang telah dikembangkan oleh Iran, yakni Bushehr, Darkhovin, dan Fordow. 

Uranium diperkaya untuk senjata?

Uranium yang diperkaya di Iran diproduksi dengan memasukkan gas uranium heksafluorida ke dalam sentrifugal, untuk memisahkan isotop yang paling cocok untuk fisi nuklir, yang disebut U-235.

Uranium yang diperkaya rendah, yang biasanya memiliki konsentrasi U-235 3-5%, dapat digunakan untuk menghasilkan bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir komersial.

Uranium yang diperkaya tinggi memiliki konsentrasi 20% atau lebih dan digunakan dalam reaktor riset. Uranium tingkat senjata diperkaya 90% atau lebih.

Timbunan uranium yang diperkaya rendah Iran dibatasi 300 kg selama 15 tahun di bawah kesepakatan nuklir

Di bawah kesepakatan nuklir, Iran diizinkan untuk memperkaya uranium hanya hingga konsentrasi 3,67%; untuk menimbun tidak lebih dari 300 kg (660lbs) bahan.

Juga, untuk mengoperasikan tidak lebih dari 5.060 sentrifugal dan untuk menghentikan pengayaan di fasilitas bawah tanah Fordo.

Bagian lain dari kesepakatan itu memerintahkan Iran tidak mengumpulkan lebih dari 130 ton air berat, yang mengandung lebih banyak hidrogen daripada air biasa, dan mendesain ulang reaktor nuklir air beratnya di Arak. 

Bahan bakar bekas dari reaktor air berat mengandung plutonium, yang dapat digunakan dalam bom nuklir.

Dengan kondisi demikian, Asosiasi Pengendalian Senjata (ACA), sebuah kelompok advokasi yang berbasis di AS, menyatakan apa yang dilakukan Iran sebenarnya tidak membahayakan. 

Manuver Iran lebih pada upaya melawan negara-negara Barat yang terus menekannya terkait program nuklir.

"Pelanggaran ini tidak menimbulkan risiko jangka pendek dan dengan cepat dapat diatasi, dan [Presiden Hassan] Rouhani mebegaskan Iran akan kembali untuk mematuhi [kesepakatan nuklir] jika kondisinya terpenuhi," kata laporan ACA.

Presiden Rouhani menyatakan program nuklir Iran tidak ditujukan untuk pengembangan senjata, namun sebagai program sipil untuk memenuhi kebutuhan dasar energi rakyat Iran.

Iran, meski kaya minyak, namun peta jalan kebijakan energinya tetap mengedepankan nuklir sebagai sumber pembangkit listrik dan industri. 

Iran lebih suka menjual minyak-minyaknya secara legal dan ilegal karena sanksi ekonomi itu.

BACA JUGA: Rudal-Rudal Iran Mampu Jangkau Israel dan Arab Saudi?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement