Sabtu 18 Jul 2020 10:10 WIB

Kasus Pelarangan Buku tentang Pers dan Jurnalistik

Tujuh ratus buku Ons Wapen tulisan M Tabrani pada 1929 dilarang beredar oleh Belanda.

Diskusi membahas Tabrani di Badan Bahasa.
Foto:

Pers Indonesia juga tak memiliki modal kuat dan percetakan yang bagus. Iklan dan pelanggan turun naik jumlahnya. Maka menurut dia, langkah pertama yang harus dilakukan adalah pembentukan badan persatuan pers nasional. Badan ini harus mencakup semua pers Indonesia yang berorientasi nasional, yang otonom. “Melalui kerja sama mereka dapat menemukan bahan yang lebih murah dan lebih mudah. Pelaporan dapat ditingkatkan melalui pertukaran berita dan orang-orang dan penciptaan kantor berita,” ujar Tabrani yang juga memandang pentingnya lembaga pelatihan wartawan.

Bagi Tabrani, pers adalah kekuatan. Jika kekuatan dan usaha para pemimpin politik tak mencukupi untuk mengatasi angkara muka penjajah, maka pers dapat mengatasinya.

Di antara persoalan kebebasan pers di Indonesia, buku tentang pers/jurnalistik Ons Wapen ini dimasukkan dalam daftar di antara nama-nama pers Indonesia yang diberedel kurun 1920-1940. Koran Pemandangan yang diasuh Tabrani sejak 1936, pada Mei 1940 juga sempat diberedel sepekan.

Pada kurun 1931-1936, ada 27 koran diberedel. Yang terbanyak diberedel, menurut Soedjarwo Tjondronegoro di laporan Pers Indonesia dan Pergerakan Nasional Memperingati 50 Tahun Perhimpunan Indonesia, November 1938, adalah pers Indonesia. Ini pukulan mematikan bagi pers Indonesia yang modalnya lemah. Laporan ini dimuat ulang di buku Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok (Jayasakti, 1981).

Bagaimana tanggapan Tabrani ketika menerima kabar bukunya ditahan di Bea Cukai Tanjung Priok? Tentu saja ia gusar. Ia temui rekan-rekannya yang ada di Belanda, seperti Mr Supomo, Suwarso, dan dr Amir. Mereka meminta agar Tabrani mendiamkan saja, karena tak mungkin penguasa Hindia Belanda menuntutnya. Alasannya, buku itu dicetak di Belanda dan penulisnya juga sedang tinggal di Belanda.

Namun, ia tetap gusar, hingga mengadu ke Prof Emil Dovifat khawatir ditangkap polisi Belanda dan memilih tetap berada di Jerman hingga jadwal kepulangannya. Ia pulang menggunakan kapal Jerman menggunakan nama samaran.

Di Jakarta ia mendapat kabar dari temannya yang bertugas di Dinas Intelijen, Ons Wapen ditahan karena Bab Pers dan Pemerintah.Tetapi aparat tak bisa berbuat apa-apa karena buku itu dicetak di Belanda. Ia mendapati pula bahwa dari 700 buku itu ada yang lolos dari pemusnahan aparat. Yang lolos dijual diam-diam di Pasar Senen, Tanah Abang, dan Glodok seharga satu gulden.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement