Sabtu 18 Jul 2020 10:10 WIB

Kasus Pelarangan Buku tentang Pers dan Jurnalistik

Tujuh ratus buku Ons Wapen tulisan M Tabrani pada 1929 dilarang beredar oleh Belanda.

Diskusi membahas Tabrani di Badan Bahasa.
Foto: Priyantono Oemar/Republika.
Diskusi membahas Tabrani di Badan Bahasa.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar

Tujuh ratus buku Ons Wapen (Senjata Kita) tiba di Tanjung Priok pada Oktober 1929. Dikirim dari Belanda. Namun buku itu ditahan Bea Cukai pemerintah kolonial. Buku yang ditulis M Tabrani itu tak boleh beredar di Hindia Belanda.

Koran Bintang Timoer yang diasuh Parada Harahap membuat laporan hingga tujuh kali. Pertanyaan utamanya: mengapa barang cetakan yang dicetak di Belanda yang seharusnya boleh beredar di Hindia Belanda tanpa kena sensor, namun kali ini tidak boleh? Pasal 164 Indische Staatsregeling (Peraturan Negara Bagian Hindia), ayat 2, mengatur hal itu.

Buku ini ditulis Tabrani selama studi Jurnalistik di Jerman, di bawah bimbingan Profesor Emil Dovifat. Di luar kata pengantar dan penutup, buku ini berisi 9 bab: Keadaan Pers di Indonesia, Hakikat Pers, Pers Nasional Kita, Pendidikan Wartawan, Teknik Modern, Tentang Bahasa, Yang Harus Didahulukan, Rencana Kita, Pers dan Pemerintah.

Tabrani merupakan pencetus sebutan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, namun saat berjuang menyampaikan ide-ide perjuangan kemerdekaan melalui media massa, ia merasa masih memerlukan bahasa Belanda, agar ide-ide yang disampaikan bisa mencapai mereka yang belum menguasai bahasa Indonesia.

“Ia berharap dapat menjangkau orang-orang Belanda yang bersimpati dengan pengejaran kemerdekaan Indonesia,” tulis Mirjam Maters di buku Van Zachte Wenk tot Harde Hand, Persvrijheid en Persbreidel in Nederlands-Indie 1906-1942 yang diterbitkan di Belanda pada 1998.

Tabrani menyebut De Expres merupakan harian Indonesia yang berbahasa Belanda, yang akhir Juli 1914 tak terbit lagi setelah pengasuhnya (Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat) dibuang ke Belanda September 1913. Sebelum itu ada pula majalah dwimingguan Jong Java yang dikelola organisasi Jong Java, tempat Tabrani dulu juga menulis ketika aktif di organisasi itu di Bandung. Selama menjadi siswa OSVIA itu, diam-diam Tabrani juga menjadi kontributor koran di Semarang De Locomotief yang diasuh JE Stokvis.

Tujuan pers nasional Indonesia berbahasa Belanda, menurut Tabrani, bukan untuk memperlemah perjuangan kemerdekaan. Melainkan untuk memperkuat, sehingga ia menjadi pelengkap dari pers nasional berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah.

Di satu sisi perlu pers nasional berbahasa Belanda, di sisi lain perlu tetap ada pers nasional berbahasa Indonesia. Di buku biografinya, Anak Nakal Banyak Akal, Tabrani mencatat pada 1929 tak ada pers nasional berbahasa Indonesia di pusat gerakan kemerdekaan: Bandung dan Surabaya. “Padahal pers merupakan senjata ampuh,’’ kata Tabrani.

Meski ada dukungan terhadap Ons Wapen, tak pelak pula ada serangan terhadapnya, terutama dari koran-koran Belanda di Hindia Belanda. Majalah Kajawen yang diterbitkan Balai Pustaka edisi 2 November 1929, lewat rubrik “Obrolan Petruk lan Gareng” menulis:

Mungguh karepku, isining karangan mau nek dideleng saprepetan, iya sajak wigati lan peng-pengan temenan, nanging nek diwaca kanthi pikiran, teka nunjang-nunjang, kaya wong sing wis kaliwat telu utawa patang jam anggone ngumbe kastroli, dadi mlayu-mlayu kuwatir yen kebobolan luwih dhisik. (Maksudku, isi tulisan itu kalau dibaca sekilas seperti penting dan serius, tetapi jika direnungkan, melompat-lompat seperti orang yang sudah tiga-empat jam lalu minum obat pencahar, jadi lari-lari takut keburu keluar di celana).

Majalah Kajawen sepertinya jengkel karena yang dibahas banyak hal dan Tabrani menyatakan pers Indonesia masih kurang mutunya. “Bagi mereka yang sudah tak asing di dunia jurnalistik ini, sudah tahu bahwa pers kita lemah baik secara kualitatif maupun kuantitatif,” tulis Tabrani di kata pengantar Ons Wapen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement