Kamis 16 Jul 2020 01:45 WIB

Kasus Covid-19 di Afrika Selatan Tembus 300 Ribu

Presiden Afsel kemarin memberlakukan kembali larangan alkohol dan jam malam.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Andi Nur Aminah
Seorang wanita mengawasi melalui jendela ketika anggota Pasukan Pertahanan Nasional Afrika Selatan berpatroli di jalan di pemukiman informal Diepsloot, utara Johannesburg, Afrika Selatan, Kamis (16/4). Presiden Afrika Cyril Ramaphosa memperpanjang lockdown dengan tambahan dua minggu sebagai upaya berkelanjutan untuk menahan penyebaran COVID-19.
Foto: AP/Themba Hadebe
Seorang wanita mengawasi melalui jendela ketika anggota Pasukan Pertahanan Nasional Afrika Selatan berpatroli di jalan di pemukiman informal Diepsloot, utara Johannesburg, Afrika Selatan, Kamis (16/4). Presiden Afrika Cyril Ramaphosa memperpanjang lockdown dengan tambahan dua minggu sebagai upaya berkelanjutan untuk menahan penyebaran COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Kasus Covid-19 di Afrika Selatan (Afsel) dipastikan dapat mencapai 300 ribu hingga Rabu (15/7) waktu setempat. Negara tersebut kini menduduki peringkat pertama kasus terbanyak di Afrika dan masuk 10 besar dunia dengan tingkat kasus tertinggi. Padahal lockdown atau karantina di wilayah ketat sedari awal sudah disampaikan namun tetrnyata hasilnya di seluruh wilayah.

Negara paling maju di Afrika itu mencatat 298.292 kasus pada hitungan terakhir, Rabu (15/7). Dengan tes positif yang kini meningkat pada angka lebih dari 10 ribu per hari, seluruhnya dipastikan akan melampaui batas 300 ribu kasus.

Baca Juga

Pada akhir Maret, Presiden Afsel Cyril Ramaphosa mengambil tindakan agresif yang terbilang dini, yakni menutup toko, memerintahkan orang untuk tinggal di rumah, dan mengirim tentara ke jalan untuk menegakkannya. Saat itu Afsel masih hanya memiliki 400 kasus dan tidak ada kematian yang tercatat.

Pemerintah kemudian melonggarkan banyak pembatasan atas kekhawatiran untuk ekonominya yang memang sedang kesulitan. Namun demikian, dengan peningkatan kasus Covid-19 harian keempat terbesar di dunia di negara berpenduduk 58 juta orang, Ramaphosa yang putus asa pada Ahad kemarin memberlakukan kembali larangan alkohol dan jam malam.

"Afsel dikunci begitu awal, (kelihatannya) benar-benar mengesankan," kata Charles Robertson, seorang ekonom senior di Renaissance Capital, yang telah melacak dengan cermat virus corona. Dia menilai lockdown awal dan ketat tidak berlaku bagi negara-negara berpendapatan minim.

"Yang menjadi jelas adalah bahwa penguncian tidak bekerja di negara-negara berpenghasilan rendah. Di ekonomi informal, (orang) tidak mampu tinggal di rumah," ujarnya menambahkan.

Menurut sebuah studi oleh Coronavirus Rapid Mobile Survey (CRAM) Afsel yang dirilis pada Selasa (14/7), sekitar setengah dari rakyat Afsel hidup dalam kemiskinan, dan sekitar sepertiga menganggur atau sekitar 3 juta telah kehilangan pekerjaan sejak penutupan ekonomi. Di banyak bagian negara itu, bangsal Covid-19 penuh sesak, sehingga pasien masuk ke rumah sakit lain dan ke tenda-tenda di luar.

"Badai yang secara konsisten kami peringatkan tentang Afrika Selatan kini telah tiba," ujar Menteri Kesehatan Zweli Mkhize. 

Sementara catatan kematian di angka 4.346, sejauh ini hanya 1,5 persen kasus yang berakibat fatal, sebagian karena populasi yang masih muda. Itu akan meningkat karena kekurangan oksigen dan tempat tidur rumah sakit memburuk. Ramaphosa mengatakan para ilmuwan telah memperkirakan hingga 50 ribu kematian.

Di rumah sakit umum, petugas medis mengeluh tentang kurangnya staf dan peralatan pelindung. "Tidak cukup petugas kesehatan yang dipekerjakan, permintaan kami untuk APD telah diabaikan, pedoman tidak diikuti," kata Sibongiseni Delihlazo, juru bicara serikat perawat.

juru bicara departemen kesehatan provinsi, Kwara Kekena mengatakan, pemerintah di Gauteng, provinsi di pusat Covid-19 dan rumah bagi kota terbesar, Johannesburg, telah menambah tempat tidur, mendirikan rumah sakit lapangan, dan meningkatkan jumlah pekerja medis.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement