Rabu 15 Jul 2020 12:15 WIB

Saat Kepala Daerah Nebeng Kampanye Lewat Bansos Covid-19

Sejumlah kepala daerah aji mumpung memanfaatkan Bansos untuk kampanye.

Esthi Maharani
Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Esthi Maharani*

Persoalan Covid-19 tak melulu memberikan dampak secara sosial ekonomi, tetapi juga secara politik. Terutama pada gelaran Pilkada serentak di beberapa daerah di Indonesia. Gara-gara Covid-19, Pilkada pun terpaksa ditunda hingga akhir tahun ini.

Kombinasi Covid-19 dan penundaan Pilkada nyatanya menciptakan situasi aji mumpung bagi beberapa kepala daerah yang akan kembali berlaga untuk periode kedua. Banyaknya bantuan sosial (Bansos) dari berbagai pintu yang dibuka pemerintah membuat kepala daerah nebeng kampanye.

Tak perlu hitungan bulan, gelagat sigap nebeng kampanye sudah tercium ketika PSBB mulai diberlakukan di beberapa daerah dan Bansos tahap pertama mulai dibagikan. Misalnya saja Bupati Klaten yang menempelkan gambar dirinya di botol penyanitasi tangan bantuan Kementerian Sosial. Ada pula Bupati dan Wakil Bupati Jember, Faida dan Abdul Muqief Arief yang nebeng gambar di karung beras Bansos penanganan Covid-19.

Merespons hal itu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah memberikan sanksi kepada Bupati Klaten lewat surat tertanggal 17 Juni 2020. Salah satu poin dalam surat tersebut berbunyi: “Diminta kepada Saudara Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat untuk memberikan pembinaan dan pengawasan berupa teguran kepada Bupati Klaten dalam kesempatan pertama, dan melaporkan hasil pelaksanaanya kepada Menteri Dalam Negeri".

Sementara di Jember, muncul konflik dengan DPRD yang berujung pada hak angket. Bupati Jember dianggap bertindak sepihak terkait anggaran Covid-19. Konflik antara Bupati dan DPRD Jember itu merupakan sebagian dari potret ketidakharmonisan antara fungsi pengawasan dan pengelolaan APBD Jember Jember

Pada perkembangannya, upaya nebeng kampanye lewat Bansos semakin masif. Hal ini dapat dilihat dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mencatat, dugaan politisasi Bansos oleh kepala daerah yang berpotensi mencalonkan diri di Pilkada 2020 terjadi di 12 provinsi dan 23 kabupaten/kota. Dugaan pelanggaran pilkada ini berdasarkan laporan maupun hasil pengawasan jajaran Bawaslu.

"Terdapat pembagian Bansos dan diduga dipolitisasi dengan menempelkan gambar kepala daerah yang berpotensi menjadi pejawat," ujar Anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja pada 26 Juni lalu.

Daerah-daerah yang terdapat dugaan politisasi bansos antara lain Provinsi Bengkulu dan Kota Bengkulu; Indragiri dan Pelalawan, Riau; Ogan Ilir, Sumatera Selatan; Jambi, Lampung Timur, Pesawaran, dan Way Kanan, Lampung; Lampung Selatan; Kabupaten Pandeglang, Banten; Pangandaran dan Cianjur, Jawa Barat; Sumenep dan Jember, Jawa Timur; Klaten, Semarang, dan Purbalingga, Jawa Tengah; Gorontalo; serta Keerom, Papua.

KPK pun memberikan peringatan keras agar kepala daerah tidak aji mumpung menggunakan Bansos Covid-19 untuk kampanye Pilkada. KPK banyak menerima laporan dari masyarakat perihal cara kepala daerah yang hanya bermodalkan selembar stiker foto atau spanduk raksasa lalu mendompleng Bansos yang berasal dari pemerintah.

Dalam catatan KPK, ada sejumlah kepala daerah yang berstatus pejawat dan akan kembali ke pentas Pilkada 2020, mengajukan alokasi anggaran penanganan Covid-19 dengan jumlah yang tinggi. Padahal, kasus Covid-19 di daerahnya terbilang sedikit.

"Penyalahgunaan juga bisa dilihat dari besar kecilnya permintaan anggaran penanganan Covid-19, di wilayah atau daerah yang ikut menyelenggarakan pilkada serentak. Saya ingatkan, jangan main-main. Ini menjadi perhatian penuh KPK. Terlebih dana penanganan Covid-19 sebesar Rp695,2 triliun dari APBN maupun APBD adalah uang rakyat yang harus jelas peruntukannya dan harus dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya," kata Ketua KPK, Firli Bahuri pada 11 Juli.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah mengatur larangan terhadap gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, atau wali kota dan wakil wali kota melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon (paslon). Akan tetapi, UU Pilkada hanya mengatur larangan dan sanksinya apabila paslon sudah ditetapkan KPU.

Dugaan pelanggaran politisasi bansos ini bisa diselesaikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini melarang kepala daerah memanfaatkan program untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, yang juga bisa ditafsirkan kepentingan dalam kontestasi pilkada. Untuk itu, perlu ketegasan Menteri Dalam Negeri untuk menerapkan ketentuan UU Pemerintahan Daerah. Mendagri tak cukup hanya sekadar mengeluarkan imbauan kepada kepala daerah.

Tetapi, saya sendiri ragu. Apakah situasi aji mumpung ini bisa berlalu?

*) Editor Republika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement