Selasa 14 Jul 2020 22:41 WIB

Mengapa Ada Orang yang Patuh Jaga Jarak, Ada yang tidak?

Memahami kepatuhan orang terhadap jaga jarak bantu mitigasi dalam krisis Covid-19.

Rep: Puti Almas/ Red: Reiny Dwinanda
Sejumlah pengunjung berjaga jarak fisik saat melihat pameran karya pelukis Hanafi berjudul 60 tahun dalam studio di Galerikertas, Depok, Jawa Barat, Ahad (5/7/2020). Gelerikertas membuka kembali pameran seni rupa dengan menerpakan protokol kesehatan seperti berjaga jarak fisik (Physical Distancing), membatasi jumlah pengunjung, dan menggunakan masker guna mencegah penyebaran COVID-19.
Foto: ANTARA/ASPRILLA DWI ADHA
Sejumlah pengunjung berjaga jarak fisik saat melihat pameran karya pelukis Hanafi berjudul 60 tahun dalam studio di Galerikertas, Depok, Jawa Barat, Ahad (5/7/2020). Gelerikertas membuka kembali pameran seni rupa dengan menerpakan protokol kesehatan seperti berjaga jarak fisik (Physical Distancing), membatasi jumlah pengunjung, dan menggunakan masker guna mencegah penyebaran COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi terbaru yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences menunjukkan bahwa kepatuhan warga Amerika Serikat (AS) terhadap aturan jaga jarak sosial selama tahap awal pandemi Covid-19 ada kaitannya dengan memori kerja. Dalam studi, peneliti mencermati kapasitas memori kerja, kepribadian, mood, dan kemampuan belajar seseorang.

Tim peneliti melakukan survei terhadap 850 warga AS pada antara 13 Maret hinca 25 Maret. Studi menemukan hubungan antara memori kerja, jarak sosial, dan subjek.

Baca Juga

Menurut peneliti, orang dengan tingkat kecerdasan bawaan (fluid intelligence), wajar, dan kemauan mengikuti aturan baru tampak lebih mempertimbangkan manfaat versus kerugian. Peneliti menyadari bahwa keputusan untuk mengikuti atau mengabaikan pedoman jarak sosial adalah hal yang sulit, terutama ketika ada konflik antara manfaat sosial.

"Misalnya, mencegah ketegangan sumber daya kesehatan masyarakat dan biaya pribadi misalnya, hilangnya koneksi sosial dan tantangan keuangan,” ujar Weizhen Xie selaku penulis penelitian, dilansir Fox News, Selasa (14/7).

Xie menyebut bahwa keputusan itu secara kritis bergantung pada kapasitas mental manusia dalam mempertahankan beberapa bagian informasi yang berpotensi bertentangan di kepala manusia, yang disebut sebagai kapasitas memori kerja. Sebagai peneliti psikologi kognitif, ia menilai bahwa sudah menjadi tugas manusia untuk mencari tahu mengapa beberapa orang mengikuti norma perkembangan jarak sosial sementara yang lain mengabaikannya.

"Mengatasi masalah ini dapat membantu mengurangi krisis kesehatan masyarakat saat ini karena Covid-19,” jelas Xie yang juga merupakan seorang peneliti postdoctoral di National Institute of Neurological Disorders and Stroke.

Lebih lanjut, Xie mengatakan, untuk menyadari terjadi "kemacetan" kognitif, setiap invidu tidak boleh mengandalkan kebiasaan orang-orang lainnya dalam mematuhi norma, secara khusus dalam menerapkan aturan jarak sosial. Ia menggarisbawahi secara khusus pembuat kebijakan yang harus mengembangkan strategi untuk membantu keputusan orang dengan membuat informasi atau bahan pembekalan singkat, ringkas, dan singkat.

Virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan infeksi penyakit Covid-19 pertama kali ditemukan di Wuhan, Ibu Kota Provinsi Hubei, China pada Desember 2019 dan sejak itu terus menyebar ke banyak negara di dunia. Berdasarkan data Worldometers, hingga Senin (13/7), tercatat ada 13.235.760 kasus Covid-19 di seluruh dunia dan jumlah kematian mencapai 575.525. Sementara, total yang sembuh dari penyakit infeksi virus ini adalah 7.696.381 orang.

AS menjadi negara dengan jumlah kasus Covid-19 terbesar di dunia, yang tercatat saat ini mencapai 3.479.483. Sementara, angka kematian akibat penyakit infeksi virus ini di negara itu mencapai 138.247 dan total pasien yang dinyatakan sembuh adalah 1.549.469 orang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement