Selasa 14 Jul 2020 21:13 WIB

PHRI Imbau Hotel dan Restoran Terapkan Protokol Kesehatan

PHRI pun mendorong pemerintah daerah untuk ikut melakukan fungsi pengawasan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Karyawan hotel menggunakan pelindung wajah saat melayni tamu di Hotel Dafam, Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (17/6/2020). Hotel itu menerapkan protokol kesehatan dalam melayani tamu dalam era normal baru guna mencegah penyebaran virus COVID-19
Foto: ANTARA/Harviyan Perdana Putra
Karyawan hotel menggunakan pelindung wajah saat melayni tamu di Hotel Dafam, Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (17/6/2020). Hotel itu menerapkan protokol kesehatan dalam melayani tamu dalam era normal baru guna mencegah penyebaran virus COVID-19

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengimbau para anggota pelaku usaha untuk menjalankan pedoman protokol kesehatan khusus hotel dan restoran yang telah diterbitkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. PHRI pun mendorong pemerintah daerah untuk ikut melakukan fungsi pengawasan.

Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran, mengatakan, buku pedoman yang diterbitkan oleh Kemenparekraf bersifat global. PHRI sendiri, kata dia, sudah menerbitkan pedoman yang lebih rinci dan sudah mengalami tiga kali perubahan.

Baca Juga

"Bagaimanapun pedomannya tetap mengacu kepada keputusan menteri kesehatan. Soal pengawasan, tentu asosiasi ikut awasi tapi sifatnya mediasi," kata Maulana kepada Republika.co.id, Selasa (14/7).

Ia mengatakan, pemerintah daerah sebagai regulator tentunya sudah memiliki langkah masing-masing untuk kontrol ketat ke setiap pelaku usaha. Sebab, pemerintah memiliki dasar hukum dan tentunya menjadi konsekuensi bagi hotel dan restoran yang nakal.

Adapun soal biaya penerapan protokol kesehatan, ia mengakui butuh pengeluaran yang besar. Ia mencontohkan, dalam protokol diwajibkan agar setiap kamar hotel disediakan hand sanitizer. Padahal di setiap kamar hotel telah tersedia kamar mandi yang bisa digunakan untuk mencuci tangan dengan sabun.

"Akhirnya itu akan jadi souvenir bagi pengunjung dan itu menjadi biaya. Itu baru salah satu contoh penerapan protokol yang dikatakan jadi mahal. Belum lagi penyediaan disinfektan," katanya.

Selain itu, pengusaha juga mendapatkan tambahan beban dengan adanya sertifikasi Cleanliness, Health, and Safety (CHS) sebagai bagian dari standardisasi penerapan protokol. Maulana mengatakan, PHRI telah meminta kepada Kemenparekraf agar tidak menjadi sertifikasi itu menjadi kewajiban.

Sebab, selain karena sertifikasi yang membutuhkan biaya, masing-masing hotel memiliki pangsa pasar tersendiri dengan harga dan kualitas yang berbeda-beda. "Kita tidak bisa samakan semua kategori pasar hotel dan restoran, makanya kita sampaikan tolong sertifikasi jangan dijadikan barang yang wajib," katanya.

Menurutnya, yang terpenting adalah setiap hotel dan restoran menerapkan protkol kesehatan sesuai dengan buku pedoman yang ada. Apalagi, PHRI sendiri sudah membuat pedoman yang lebih terperinci sebagai penjelas dari pedoman yang diterbitkan pemerintah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement