Rabu 15 Jul 2020 01:23 WIB

Derita Jurnalis Terpenjara karena Corona

Bagi pewarta olahraga, pandemi virus Corona adalah paceklik berita.

Penyemprotan disinfektan untuk mencegah penyebaran virus corona dilakukan di gedung Kemenpora, Jakarta, Jumat (20/3).
Foto: @kemenpora_ri
Penyemprotan disinfektan untuk mencegah penyebaran virus corona dilakukan di gedung Kemenpora, Jakarta, Jumat (20/3).

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh: Muhammad Ikhwanuddin (IG: @ikhwanhardiman)

Wartawan Republika.co.id

Tahun 2020 seharusnya menjadi awal dekade yang diisi dengan sibuknya agenda olahraga. Di dunia, kita mengenal hajatan empat tahun yang disebut Olimpiade, yang dijadwalkan bergulir di Tokyo musim panas ini. Di Eropa, ada pula mini 'Piala Dunia' sepakbola bertajuk Euro. Mengerucut ke tingkat ASEAN, SEA Paragames Filipina juga semestinya rampung sejak awal tahun. Lalu dalam lingkup nasional, provinsi Papua mendapat jatah menggelar Pekan Olahraga Nasional (PON), Oktober mendatang. 

Namun dalam satu kedipan mata, penjuru dunia ditekel keras oleh makhluk berukuran 120-160 nanometer yang hanya bisa dilihat oleh mikroskop elektron. Saya tidak paham jenis-jenis mikroskop, namun yang saya tahu, makhluk ini bernama SARS-CoV-2 atau lebih gampangnya: Virus Corona. Ia dinyatakan tak lebih mematikan dari virus-virus seniornya, tapi ternyata si 'anak baru' ini--menyesuaikan perkembangan zaman--menyebar lebih cepat dan luas.

Sebaran virus ini begitu memengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia, tak terkecuali dunia olahraga. Virus Corona yang mudah berpindah tempat karena menempel pada benda di sekitar kita, kontak antarmanusia bahkan menular lewat paparan udara membuat banyak orang enggan keluar rumah hanya untuk melakukan pemanasan, apalagi mengadu fisik di atas arena. 

Selain kejuaraan yang sifatnya hajatan dalam waktu tertentu, kompetisi reguler seperti liga sepak bola, bola basket, dan balap-balapan sempat vakum dalam waktu kurang lebih 3 bulan.

Serie A Italia dan liga-lainnya menerapkan kebijakan pertandingan tanpa penonton. Mereka juga membuat kebijakan absurd ketika para pemain dilarang bersalaman sebelum dan sesudah pertandingan, walaupun di atas lapangan hijau mereka saling jegal juga. 

Para penyelenggara liga-liga sepak bola di Eropa sempat menyatakan seluruh aktivitas kompetisi ditunda dengan tenggat waktu yang bermacam-macam. Olahraga populer lain, satu demi satu, juga menegaskan hal serupa. Mata penikmat olah raga sempat terpaksa tak disajikan 22 pesepakbola berlomba mencetak gol paling banyak di lapangan, atau 23 pembalap MotoGP mengaspal di sirkuit, bahkan sekadar cuplikan pertandingan semalam pun tidak ada. 

Hal ini otomatis menjadi 'siksaan' bagi mereka yang tergila-gila menyaksikan laga siaran langsung. Ketika liga-liga internasional sudah dimulai, para penikmatnya mulai menemukan kembali kebahagiaan. Tapi ada yang 'tersiksa' karena tidak ada pertandingan dalam negeri, mereka adalah wartawan olahraga Tanah Air. 

 Salah satu hal yang menyenangkan menggarap isu olahraga adalah jadwal liputan yang cenderung sesuai. Ketika ada satu agenda, kemungkinan besar saya sudah tahu harus datang dan selesai meliput pukul sekian, serta berapa perkiraan artikel yang perlu saya tulis. 

Namun setelah Covid-19 ini dinyatakan sebagai pandemi, saya merasa seperti seorang petani yang sawahnya diserang hama tikus hingga kesulitan memanen hasil bumi. Bagi saya atau mungkin pewarta olahraga lainnya, pandemi virus Corona adalah paceklik berita. 

Sebenarnya, saya masih dapat berusaha mencari berita olahraga secara daring seperti hari-hari sebelumnya. Tapi sulit menemukan isu lokal untuk dibahas.

Olimpiade ditunda karena corona, PON Papua terancam digeser waktunya karena corona. Tempat saya berkumpul sambil mengemis sinyal wi-fi bersama pewarta lain di kantor Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), juga aksesnya terbatas karena virus corona!

Saya mencoba memutar otak satu-satunya untuk mencari isu: bertanya ke otoritas keolahragaan dan atlet tentang sikap atau sekadar memberi pendapat terkait pandemi Covid-19. "Kami menunggu arahan pimpinan, persiapan kompetisi jalan terus," demikian kata mereka, kurang lebih serupa. Tidak ada yang bisa disalahkan, mungkin narasumber yang saya wawancara juga tengah dalam pikiran dan perasaan yang kalut: "Anggaran tetap cair tidak, ya?"

Tentu mengeluh bukan solusi dari ini semua. Saya terbilang masih beruntung karena masih dapat bekerja dari rumah lalu menerima upah penuh tiap bulannya. Masih banyak bagian dari lapisan masyarakat yang libur bekerja, mandek juga pemasukan untuk keluarganya. Semoga paceklik ini segera berakhir. Aamiin. ed: gilang akbar prambadi 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement