Senin 13 Jul 2020 11:46 WIB

Ottoman di Nusantara: Dari Hagia Sophia Hingga Keroncong

Jejak Hagia Sophia dan Ottoman di Nusantara

 Hagia Sophia di Istanbul, Turki.
Foto: EPA-EFE / TOLGA BOZOGLU
Hagia Sophia di Istanbul, Turki.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika


Kenyataan Hagia Sophia kembali dipergunakan sebagai masjid oleh Presiden Turki Erdogan dengan mengacu pada putusan pengadilan, memang telah membuat heboh dunia. Terjadi berbagai sikap pro kontra. Negara-negara dengan budaya barat menolak. 


Begitu pula, terasa melalui berita di media massanya, sebagian negara di kawasan Arab yang terindikasi menjadi seteru Turki, juga ada terasa ada nada enggan. Tapi ini lebih karena sentimen politik masa kini dan masa lalu karena pernah menjadi bagian imperium Ottoman.


Bagaimana dengan Indonesia? Jawabnya, sampai hari ini belum ada suara resmi, meski di media massa dan sosial terjadi keseruan pembahasan. 

Namun bagi orang Indonesia ada pertanyaannya lebih penting  yakni: Apakah soal Hagia Sofia dan Turki terjejak di bumi Nusantara? Lalu seperti apa contohnya?

Pengadilan Turki Setujui Usulan Hagia Sophia Jadi Masjid

Jawabnya pasti belum banyak tahu bila Ottoman Turki begitu banyak meninggalkan jejak.
Yang berbau politik kekuasaan atau yang serius misalnya, soal pengaruh penyebaran Islam dan pendirian kerajaan atau kesultanan Demak misalnya. Pendirian kesultanan ini jelas sekali terpengaruh Ottoman. Ini berbeda dengan buaya barat yang selalu punya sebutan pejoratif kepada Ottoman yang disebut mereka Turki. Dan mana ini kemudian ditabalkan pada nama ayam yang besar yang kita kenal sebagai kalkun.

Sebutan merendahkan lain barat kepada Ottoman misalnya terjejak dalam  kisah horor harus hantu haus darah yang bernama drakula. Padahal bagi Ottoman dia adalah seorang pangeran dan komandan tempur yang luar biasa. Pejoratif lainnya adalah sebutan nama masjid yang mereka pun plesetkan menjadi nama nyamuk: Mosquito.

                                     ******



Dan kembali kepada soal pengaruh Ottoman yang terjadi di masa sebelum dan awal pendirian Demak, salah  seorang 'Wali Sanga', Sunan Gunung Jati memang sempat dua kali ke Makkah untuk beribadah haji dan mencari restu kepada Syarif Makkah yang kala itu menjadi lambang perwakilan kekuasaan Ottoman. Sunan Gunung Jati pergi menemuinya tujuannya jelas untuk meminta perlindungan dari sebuah kerajaan mungil yang akan baru lahir di wilayah pantai utara terhadap Ottoman yang kala itu eksis menjadi imperium dunia.



Apa buktinya? Soal ini telah diakui langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X saat pembukaan konggres umat Islam di Yogyakarta beberapa tahun silam. Sultan mengatakan pengaruh Turki di Kesultanan Demak terjejak pada sebuah bendera yang kini disebut ‘bendera pusaka’ Kiai Tunggul Wulung. Bendera yang selalu dikirapkan setiap terjadi wabah yang meluas ternyata berasal dari kain kiswah yang diberikan perwakilan atau gubernur Turki di Makkah alias Syarif Makkah kala awal pendirian Demak itu. Bendara Tunggu Wulung kini tersimpan dan menjadi pusaka Kraton Jogja.



Tindakan yang sama di masa kemudian dilakukan oleh Sultan Agung pada dekade kedua tahun 1600-an. Saat itu dia mengirimkan utusan dari Jogja ke Makkah untuk meminta restu penggunaan gelar Sultan mengantikan gelar raja ala Majapahit, yakni Susuhunan atau Sunan. Sepulang dari sana selain mendapat izin memakai gelar Sunan (sekalgus mendapat legitimasi dan perlindungan dari Turki), Sultan Agung juga mendapat oleh-oleh, seperti air zamzam yang di tempatkan dalam sebuah wadah yang kemudian dilestarikan di pemakaman Raja-Raja Mataram di Imogiri yang disebut gentong Nyi dan Ki Enceh. Bahkan dalam babad tanah Jawa disebut bukit Imogiri itu berasal dari pasir yang ada di Makkah yang kala itu wilayah Ottoman.



Sentot Ali Basya; Sang “Napoleon Jawa” | AMANAH RAKYAT Nusantara

Pada masa berikutnya, yakni semasa Perang Jawa (1825-1830), Pangeran Diponegoro secara nyata membuat susunan pasukannya ala egiun Ottoman. Ini mulai dalam  bidang pangkat, sebutan untuk kelompok pasukan, hingga nama-nama kepangkatan. Nama panglimanya adalah Pasya yang dalam lidah Jawa menjadi Basyah. Nama ini disematkan kepada panglima pasukannya yang jenius dan berusia sangat muda:  Sentot Ali Basyah Prawirodirjo.

Sejarawan Onggris Peter Carey mencatat: meski belum ada bukti spesifik bahwa Ottoman memberikan bantuan langsung kepada Pangeran Diponegoro, namun di rumah sang pangeran yang megah dan luas di Tegalrejo kerap menginap berbagai orang dari Arab/Makkah. Dan Makkah atau Arab kala itu berada di bawah kekuasaan Ottoman.

                                  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement