Senin 13 Jul 2020 02:49 WIB

Krisis Kelaparan di Dunia akan Memburuk Akibat Pandemi

Oxfam memperingatkan 12.000 orang per hari bisa meninggal akibat kelaparan

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Krisis kelaparan yang melanda warga dunia, ilustrasi
Foto: dok ACT
Krisis kelaparan yang melanda warga dunia, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Laporan baru oleh Oxfam memperingatkan krisis kelaparan akan lebih buruk akibat pandemi. Sementara, pandemi virus corona telah merenggut lebih dari setengah juta nyawa di seluruh dunia, dengan jumlah kasus terus meningkat. 

Studi yang dilakukan Oxfam memperkirakan 12.000 orang per hari bisa meninggal karena kelaparan terkait dengan Covid-19 pada akhir tahun. Sebagai perbandingan, data oleh Universitas Johns Hopkins menunjukkan bahwa hari paling mematikan sepanjang pandemi adalah 17 April, dengan 8.890 kematian tercatat.

Baca Juga

"Pandemi ini adalah tantangan terakhir bagi jutaan orang yang telah berjuang dengan dampak konflik, perubahan iklim, ketidaksetaraan, dan sistem pangan yang rusak yang telah memiskinkan jutaan produsen dan pekerja pangan," kata Direktur Eksekutif Sementara Oxfam, Chema Vera, dikutip dari CNN.

Banyak masalah yang membuat banyak orang tidak dapat makan, seperti hilangnya pendapatan karena pemutusan hubungan kerja, kurangnya dukungan sosial bagi pekerja informal, dan gangguan pada rantai pasokan dan rintangan yang dihadapi oleh produsen. Pembatasan perjalanan terkait dengan karantina wilayah pun memiliki dampak tidak hanya pada pekerja dan petani, tetapi juga pengiriman bantuan kemanusiaan.

Menurut Oxfam, pandemi menjadi bahan bakar krisis kelaparan yang sudah berkembang. Data Program Pangan Dunia memperkirakan bahwa pada 2019, sebanyak 821 juta orang tidak aman pangan dan 149 juta dari mereka menderita kelaparan tingkat krisis atau lebih buruk.

Proyeksi saat ini menunjukkan jumlah orang yang mengalami kelaparan tingkat krisis mungkin mencapai 270 juta pada 2020 sebagai akibat dari pandemi. Artinya, ada peningkatan lebih dari 80 persen dari tahun sebelumnya.

Dalam pengarahannya, Oxfam memanggil para raksasa industri makanan dan minuman seperti Coca-Cola, Unilever, General Mills. "Sementara itu, mereka yang berada di puncak terus mendapat untung, delapan perusahaan makanan dan minuman terbesar membayar lebih dari 18 miliar dolar AS kepada pemegang saham sejak Januari bahkan ketika pandemi itu menyebar ke seluruh dunia, sepuluh kali lebih banyak dari yang dikatakan PBB butuhkan untuk menghentikan orang kelaparan," ujar organisasi nirlaba dari Inggris ini.

Oxfam menyatakan, terdapat 10 pusat kelaparan ekstrim di seluruh dunia, yaitu, Yaman, Republik Demokratik Kongo, Afghanistan, Venezuela, Sahel Afrika Barat, Ethiopia, Sudan, Sudan Selatan, Suriah, dan Haiti. Namun, efek negatif dari pandemi pada ketahanan pangan juga dirasakan di negara-negara berpenghasilan menengah, seperti Brasil, India, dan Afrika Selatan.

Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), kelaparan pun ikut meningkat jumlahnya. Selama pekan lalu, menurut Feeding America, 1,3 juta orang mengajukan klaim awal untuk tunjangan pengangguran.

Sebanyak 17 juta orang di AS mungkin rawan pangan pada 2020 sebagai akibat dari pandemi. Artinya, jumlah total warga AS yang berjuang untuk meletakkan makanan di atas meja untuk sekitar 54 juta orang, atau satu dari enam.

"Ini adalah peningkatan 46 persen dari 37 juta orang yang rawan pangan sebelum krisis COVID-19," kata  direktur pelaksana Feeding America, Emily Engelhard, merujuk data dari 2018.

Banyak warga AS bergantung pada bank makanan di seluruh negeri untuk bertahan hidup. Berdasarkan data awal dari survei bank makanan terbaru Feeding America, 83 persen bank makanan organisasi melaporkan melihat peningkatan jumlah orang yang dilayani dibandingkan saat ini tahun lalu. Engelhard menjelaskan, kenaikan pelayanan terjadi rata-rata 50 persen. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement