Senin 13 Jul 2020 05:33 WIB

Yang Mulia (Gejolak Batin Sang Hakim)

Subakti terpaksa ambil sebagian uang di amplop untuk membayar biaya berobat istrinya.

Yang Mulia (Gejolak Batin Sang Hakim)
Foto: Rendra Purnama/ Republika
Yang Mulia (Gejolak Batin Sang Hakim)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Insan Budi Maulana

Dr Subakti SH MH telah menjadi hakim selama 20 tahun dan telah bekerja di berbagai pengadilan negeri di ibu kota kabupaten. Sejak dua tahun lalu bertugas di pengadilan negeri di ibu kota provinsi. Ia lulusan dari fakultas hukum perguruan tinggi negeri, pernah memperoleh beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan studi program master dan program doktor.

Ia berpegang teguh pada sumpah setia hakim yang tidak akan menerima apa pun dari pencari keadilan, secara langsung atau tidak langsung. Ia telah diwanti-wanti ayahnya sebelum ayahnya wafat --mantan hakim tinggi-- agar menjaga martabat dan harga dirinya sebagai hakim, profesional, berintegritas, dan kompeten terhadap pekerjaan. Ia memiliki seorang istri yang sedang dirawat di suatu rumah sakit dan seorang putri.

“Apa itu Mas Paijo?” Subakti bertanya kepada Paijo sesaat ia membuka kamar kerjanya.

“Yang di tangan kiri saya titipan dari Pak Wardi dan yang di tangan kanan saya titipan Pak Sumantri, untuk Pak Bakti,” kata Paijo, panitera pengadilan dengan tersenyum sambil mengangkat tangan kiri dan tangan kanannya, menunjukkan kedua bungkusan map warna merah dan hijau di kantong plastik keresek hitam agak lebar dan tebal.

Kenapa dititipkan kepada saya? Jika dititipkan berarti harus saya kembalikan suatu saat nanti,” Subakti bertanya.

Hatinya terusik mendengar tanggapan Paijo sambil tersenyum. Ia agak tersinggung mendengar kata titipan dari Paijo dan menduga kantong plastik keresek hitam merupakan suap yang diberikan oleh pihak yang berperkara atau pencari keadilan yang sedang ia pegang perkaranya atau sudah diputus perkaranya.

“Maksud saya, Pak Bakti, dua kantong keresek hitam ini untuk Bapak sebagai ungkapan terima kasih atas hukuman yang berat kepada Indra, terdakwa pembunuhan, dan terhadap Sumanto, terdakwa tindak pidana korupsi.” Agak rikuh Paijo menjelaskan dua kantong keresek hitam itu.

“Oh itu, maksud Mas Paijo. Saya kira sudah sewajarnya para terdakwa dikenakan sanksi pidana maksimal. Mas Paijo kan lihat sendiri di persidangan. Terdakwa pembunuh tidak menampakkan penyesalannya. Ia residivis yang belum lama dibebaskan dan membunuh lansia lagi. Sumanto juga tidak merasa menyesal dan merasa apes saja. Berapa puluh miliar kerugian negara atas kerja samanya dengan pimpinan proyek. Kau lihat saja kualitas proyek-proyek yang dibangun Sumanto dan kualitas alat-alat kesehatan yang dibelinya. Semuanya jelek! Jika mereka tidak dikenakan sanksi pidana maksimal, negara ini bakalan hancur.” Subakti menanggapi Paijo agak kesal.

“Iya Pak Bakti. Pak Wardi, keluarga korban pembunuhan, dan Pak Sumantri, rekanan bisnis Sumanto, bersyukur. Berharap Pak Bakti mau menerima bungkusan ini sebagai rasa terima kasih mereka.” Paijo kembali menanggapi Subakti dengan nada suara bergurau.

Hakim Subakti merasa tidak nyaman menerima pemberian mereka. Ia merasa tidak berhak menerimanya. Ia merasa cukup puas dengan penghasilan dari negara sebagai hakim. Subakti memperbaiki duduknya agak lebih tegak.

“Tapi, Pak Bakti. Ini kan hanya ungkapan terima kasih mereka. Pak Bakti kan tidak menyuruh, tidak meminta langsung atau tidak langsung kepada mereka. Pak Bakti pun tidak kenal mereka. Ada hakim lain malah menyuruh saya menanyakan kepada jaksa, apakah ada dananya atau tidak? Bahkan ada hakim dari kamar sebelah yang terang-terangan menyuruh saya menanyakan kepada pengacara yang menangani perkara tanah apakah ada titipan atau tidak? Pak Bakti terlalu bersih, bukan hakim zaman now.” Paijo agak menceramahi Subakti.

“Hahaha, kau jangan memujiku Mas Paijo. Saya tidak mau memusingkan perilaku rekan kerja saya. Itu urusan mereka. Omong-omong, apakah Mas Paijo juga terima bungkusan dari mereka? Apakah dua anggota majelis saya juga menerima bungkusan dari mereka?” Ia iseng bertanya kepada Paijo dengan agak rikuh.

Iiiya, saaaya juga terima kok dari mereka, hanya tidak seberat yang mereka berikan kepada Pak Bakti.” Agak terbata-bata Paijo menjawab pertanyaan Subakti.

“Oh, ya? Berapa mereka berikan kepada Mas Paijo dan dua anggota majelis?”

“Maaf Pak, saya tidak tahu. Bagian untuk saya pun belum saya hitung. Baru saya taruh di laci meja saya saja tadi. Ini yang untuk bapak, boleh saya bantu hitung dulu?” Paijo agak bergurau mengatakannya.

“Oh tidak usah, tidak usah, Mas Paijo letakkan saja di baki surat-surat masuk dan taruh berkas-berkas di atasnya.” Agak tergagap Subakti menanggapi gurauan Paijo.

“Ditaruh di baki surat-surat masuk ini, Pak? Uang ini sangat banyak loh, Pak. Tidak khawatir hilang?“ Paijo agak ragu meletakkan dua kantong keresek hitam itu di atas baki surat-surat masuk. Ia pun heran atas sikap Subakti karena hakim-hakim lain jika menerima pemberian orang-orang yang berperkara akan langsung memasukkannya ke tas mereka.

“Sampaikan terima kasih kepada mereka, ya,” kata Subakti selesai Paijo menyusun kantong keresek hitam itu dengan suara agak tersedak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement