Ahad 12 Jul 2020 16:25 WIB

Pengamat: Sekolah Negeri Seharusnya untuk Orang Miskin

Orang-orang yang relatif mampu bisa menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal (kiri) saat menjadi pembicara pada acara Bincang Sore Republika di Republika Kantor Perwakilan DIY-Jateng, Jumat (10/7).
Foto: Republika/Wihdan
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal (kiri) saat menjadi pembicara pada acara Bincang Sore Republika di Republika Kantor Perwakilan DIY-Jateng, Jumat (10/7).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pelaksanaan kebijakan zonasi dalam dunia pendidikan masih terus menimbulkan banyak masalah di Indonesia. Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal mengatakan, harusnya tidak perlu ada zonasi.

"Sekolah negeri sebaiknya diperuntukkan untuk orang miskin tanpa zonasi," kata Rizal saat berkunjung ke Republika kantor perwakilan DIY-Jateng, Jumat (10/7).

Ia menuturkan, jika peruntukan tanpa zonasi itu dikhawatirkan akan ada yang bermain, justru itu yang diatur hukum dan diawasi ketertiban pelaksanaannya. Artinya, harus benar-benar diperiksa secara detail agar bisa tertib peraturan.

Jadi, kata Rizal, benar-benar dicek secara detail, termasuk data kependudukan harus benar-benar valid, aktual, dan real time. Dapat pula dibuatkan aplikasi yang bisa mengawasi dan memiliki kemampuan memvalidasi data-data seperti itu.

"Kalau sekolah negeri untuk orang miskin, maka kualitas sekolah negeri yang lumayan baik, termasuk SDM-nya, bisa diperuntukkan ke semua orang miskin," ujar Rizal.

Sedangkan, untuk orang-orang yang relatif mampu bisa menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta. Sebab, lanjut Rizal, mereka sudah memiliki sumber daya dan intelektual untuk menyekolahkan dan memberi daya dukung pendidikan anaknya.

"Orang miskin tidak bisa, dia sudah miskin, akses pendidikan terbatas, dia bisa selamanya jadi orang miskin, ada yang tidak tapi berapa persen saja," kata Rizal.

Pengecualian, kata Rizal, bisa diperuntukkan untuk para siswa yang berbakat secara akademik.

"Untuk mereka, bisa disiapkan sekolah yang dirancang untuk zona intelektual murni yang lintas zonasi wilayah dan latar belakang keluarga. Rekrutmen muridnya pun khusus dengan sistem tes atau ditentukan pihak dinas setempat. Jumlah sekolahnya juga terbatas," ujarnya.

Rizal melihat, hari ini masalah utama dunia pendidikan tidak lain kualitas sekolah dan infrastruktur yang tidak merata. Karenanya, saat ada ketimpangan hampir pasti ada lingkungan, infrastruktur dan kualitas sekolahnya berbeda.

Kondisi itu dirasa sudah lagi-lagi terjadi pada era kegiatan belajar mengajar secara daring selama pandemi Covid-19 berlangsung. Sebab, penggunaan aplikasi seperti Zoom atau Webex, cuma lancar bagi mereka yang akses internetnya baik.

"Yang akses internetnya tidak baik, bahkan saya yakin 40-50 persen sekolah di Indonesia belum baik tidak bisa, karena kebanyakan berada di desa, pinggiran kali, pegunungan atau hutan yang akses internetnya terbatas," ujar Rizal.

Untuk itu, ia berpendapat, skenario blended learning berbasis teknologi tidak bisa diterapkan di seluruh Indonesia. Karenanya, harus ada skenario flipped learning atau membalik konsep kegiatan belajar mengajar yang selama ini ada.

Jadi, jika biasanya di sekolah siswa-siswa belajar pengetahuan, bisa dibalik skenarionya dilakukan dari rumah dan lingkungan sekitar. Sehingga, di sekolah mengerjakan tugas, berdiskusi dengan guru dan kelompok, tidak lagi belajar.

Kalau begitu, guru-guru bisa memberikan tugas lewat SMS, bisa dititipkan di pos atau kantor kelurahan yang bisa diambil sewaktu-waktu. Jadi, anak-anak yang ada di desa bisa memiliki waktu mengerjakan tugas dalam kondisi pandemi.

"Jadi, diubah orietentasinya, strategi belajar tidak lagi mengerjakan buku, tapi mengerjakan proyek, bisa diselesaikan 1-2 bulan," kata Rizal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement