Jumat 10 Jul 2020 14:55 WIB

Pustakawan dan Pandemi Nirliterasi

Pandemi Nirliterasi

Petugas membersihkan rak buku di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu (10/6). Perpustakaan Nasional menerapkan sejumlah protokol kesehatan menjelang pembukaan kembali pada Kamis (11/6) dan membatasi pengunjung sebanyak 1
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Petugas membersihkan rak buku di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu (10/6). Perpustakaan Nasional menerapkan sejumlah protokol kesehatan menjelang pembukaan kembali pada Kamis (11/6) dan membatasi pengunjung sebanyak 1

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Amri Mahbub Alfathon, Filolog di Perpustakaan Nasional RI

Indonesia tak hanya sedang menghadapi wabah COVID-19 yang sudah berjalan lebih dari tiga bulan, melainkan juga terus melawan "pandemi" lain yang belum berakhir hingga kini: nirliterasi. Istilah nirliterasi merupakan anonim dari literasi. Secara konotatif bisa dimaknai lebih luas, yakni ketidakmampuan (atau ketidakmauan?) individu menggunakan seluruh potensi di dalam dirinya untuk mengolah informasi yang hadir. Dalam rangka merayakan Hari Pustakawan ke-47 pada 7 Juli 2020 yang mengambil tema "Pustakawan Masa Lalu, Kini, dan Nanti", tampaknya kita perlu merenungkan kembali "wabah" yang satu ini, khususnya terkait peran pustakawan ke depannya dalam membasinya.

Nirliterasi bisa terjadi karena berbagai faktor. Dalam masyarakat pedesaan dan terpencil bisa terjadi karena kurang tersedianya akses yang memadai, seperti jarak yang jauh ke perpustakaan atau tidak tersedianya sarana teknologi, buku-buku, informasi di balai desa, dan semacamnya untuk mendapatkan informasi tersebut. Dalam masyarakat urban terjadi lantaran kurang dalamnya sebuah informasi diserap. Bagaimana pustakawan bisa berperan lebih menyampaikan informasi yang sejelas-jelasnya di tengah kedua masyarakat tersebut?

Mau tidak mau, suka tidak suka, pustakawan harus memiliki usaha lebih di tengah era disrupsi teknologi seperti sekarang ini kalau tidak mau kalah dengan perusahaan besar penyedia informasi digital. Fenomena googling yang kerap dijadikan andalan masyarakat saat mencari suatu informasi bukan hanya berbahaya bagi tersebarnya informasi yang salah (hoax), melainkan juga terkikisnya daya kritis masyarakat terhadap informasi tersebut karena mendapatkannya secara instan dan merasa sudah mendapatkan informasi yang cukup hanya dari membaca judul atau melompat ke kolom komentar. Generasi Z perkotaan merupakan kelompok yang paling rentan terpapar fenomena googling ini. Mereka lahir ketika Internet telah berkembang pesat dan ponsel pintar menjadi sahabat setia di tahun-tahun formatif.

Menurut laporan We Are Social bertajuk "Digital 2020: Global Digital Overview", pengguna Internet di Indonesia mengalami pelonjakan 17 persen dari 150 juta jiwa (2019) menjadi 175,4 juta (2020)—jumlah penduduk Indonesia saat ini sudah mencapai 272 juta jiwa. Laporan yang sama juga menyebutkan pengguna Internet Indonesia yang didominasi generasi Z menghabiskan 7 jam 59 menit per hari untuk berselancar di dunia maya dan menggunakan 3 jam 26 menit per hari hanya untuk membuka media sosial, seperti YouTube, Instagram, Twitter, dan WhatsApp. Angka-angka itu tentunya masih akan terus tumbuh karena tahun ini belum berakhir, ditambah pandemi COVID-19 yang memaksa masyarakat untuk mencari informasi cepat melalui Internet, baik masyarakat urban maupun pedesaan yang sudah memiliki akses ke teknologi.

Berdasarkan data tersebut patut diakui betapa Internet dan media sosial sangat penting bagi kehidupan masyarakat kita untuk mendapatkan informasi cepat. Namun cepat dan derasnya informasi yang ada menimbulkan beberapa kekhawatiran seperti yang sudah dijelaskan di atas. Karena itulah Internet dan media sosial, sebagai bagian dari disrupsi teknologi Industri 4.0, harus dibaca dengan cermat oleh para pustakawan agar bisa merumuskan strategi yang tepat dalam menyampaikan informasi yang akurat kepada pada masyarakat. Jangan sampai Internet dan media sosial malah menjadi bumerang.

Berbicara soal Internet, kira-kira algoritma preferensinya berjalan seperti ini. Saat membutuhkan informasi tentang COVID-19, misalnya, Fulan akan mencarinya di Google atau Facebook atau Twitter. Machine learning dari perusahaan penyedia informasi tersebut akan merekam “apa yang Fulan ketik” sebagai preferensi ke depannya. Preferensi tersebutlah yang kemudian akan terus muncul di perangkat pintar Fulan. Karena itu, baik iklan ataupun artikel-artikel berita yang muncul kemudian akan terkait dengan apa yang sudah ia cari, terlepas dari akurat atau tidaknya informasi yang muncul.

Pertanyaannya, mampukah dan maukah pustakawan memanfaatkan algoritma tersebut untuk mencegah disinformasi yang ada? Mampukah dan maukah pustakawan di Indonesia memaksimalkan seluruh perkembangan teknologi yang ada untuk menyampaikan literasi informasi ke tiap sendi masyarakat agar "transformasi perpustakaan" tak sekadar jadi jargon?

Meski fisik perpustakaan penting untuk menyampaikan literasi, tapi kunjungan ke gedung perpustakaan hanya bisa dilakukan oleh masyarakat yang memiliki akses. Pertama sekali, hal ini tentunya tidak boleh dijadikan kendala oleh pustakawan. Kalau buku fisik sulit didistribusikan, pustakawan bisa memanfaatkan format digital untuk menyebarkan informasi ke desa-desa, bekerja sama dengan penyuluh dan pemuda-pemudi setempat, atau cara sederhana seperti majalah dinding pun masih cukup efektif untuk masyarakat pedesaan khususnya masyarakat tani.

Di pedesaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak sedikit petani yang pergi ke balai desa untuk membaca koran-koran terbitan hari itu untuk mencari informasi apapun, mulai dari dinamika komoditi pangan hingga informasi pertandingan sepak bola. Bukan hal yang tidak mungkin mengisi majalah dinding tersebut dengan informasi-informasi terbaru yang hanya bisa didapatkan dari Internet atau informasi yang dibutuhkan masyarakat setempat. Gabungan antara teknologi dan pendekatan antropologis seperti inilah yang semestinya bisa dirumuskan lebih jauh oleh para pustakawan untuk memangkas ketidakmampuan masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan dan terpencil, dalam mendapatkan serta mengolah informasi.

Pendekatan humanistik lainnya yang bisa digunakan adalah keluarga. Pembentukan karakter manusia paling pertama berasal dari keluarga. Dalam membentuk perpustakaan keluarga bukan banyaknya buku yang ditekankan, melainkan bagaimana kehadiran buku-buku, koran-koran, atau majalah-majalah, tersebut bisa merangsang daya kritis dan imajinatif anak, sehingga anak tidak melulu berkutat dengan gadget untuk bermain game yang sebetulnya tidak diciptakan untuk umur mereka atau mengandalkan googling untuk mencari jawaban pertanyaan secara cepat. Perangkat pintar seperti laptop dan smartphone bukan berarti buruk apalagi dalam Industri 4.0, tapi harus diimbangi dengan daya kritis yang dibentuk sedari dini, yakni dengan proses membaca yang mendalam. Minat baca tersebutlah yang harus diasah sejak anak-anak agar potensi bahaya gadget yang muncul, seperti malas berpikir, tidak terjadi.

Selain melatih daya kritis, dengan adanya buku-buku dan terbitan berkala di rumah tentunya anak juga bisa menambah pembendaharaan kosakata yang pastinya akan bermanfaat bagi kehidupannya kelak. Daya imajinasi anak akan terbentuk dari situ, entah dalam merangkai kata maupun melukiskan kata ke dalam sebuah gambar. Pustakawan bisa mendorong terbentuknya perpustakaan keluarga mulai dari keluarganya sendiri sebagai raw model untuk masyarakat ataupun tempat tinggalnya. Ini tentunya juga mendukung penyiapan sumber daya manusia Indonesia yang unggul nantinya.

Apabila literasi sudah dipupuk sejak dini, tampaknya Indonesia yang bebas dari caci-maki, hujat-menghujat, dan bebas dari hoax, tampaknya bukan sekadar angan-angan. Hal itu karena literasi sudah menjadi laku yang selalu dihayati dalam setiap aspek kehidupan. Apabila literasi sudah merata di seluruh masyarakat hingga menyentuh warga di daerah terpencil, tampaknya “perpustakaan berbasis inklusi sosial” bukan jadi jargon belaka. Dan akhirnya, “pandemi nirliterasi” yang selama ini menjangkiti bangsa Indonesia bisa sembuh sama sekali. Pustakawanlah yang menjadi garda terdepan untuk bisa mewujudkan itu semua. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement