Jumat 10 Jul 2020 11:19 WIB

Empat Hal yang Perlu Diperhatikan Terkait Tapera

Beberapa hal itu dinilai perlu dilakukan untuk memastikan masyarakat tidak dirugikan.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Mas Alamil Huda
Foto udara perumahan di Arjasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) ditargetkan mulai beroperasi pada 2020.
Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Foto udara perumahan di Arjasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) ditargetkan mulai beroperasi pada 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi V DPR RI Ahmad Syaikhu mendesak pemerintah melakukan empat hal terkait Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Beberapa hal itu dinilai perlu dilakukan untuk memastikan masyarakat tidak dirugikan terkait aturan baru yang diterbitkan pemerintah itu.

Pertama, Syaikhu mempertanyakan alasan aturan dalam Kepmen PUPR No. 242/KPTS/M/2020 yang mengatur batasan maksimal penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Pada kelompok sasaran KPR Sejahtera, KPR SSB dan SSM, ada batasan penghasilan per bulan maksimal Rp 8 juta. 

"Ini dasarnya apa? Rasionalisasinya apa sehingga menetapkan batas maksimal Rp 8 juta untuk ikut Tapera?" kata Syaikhu dalam keterangan tertulisnya kepada Republika.co.id, Jumat (10/7).

Angka tersebut, menurut Syaikhu, bisa merugikan bagi mereka yang berhak ikut Tapera, khususnya bagi suami istri yang memiliki penghasilan gabungan melebihi Rp 8 juta.

Politikus PKS ini mencontohkan, ada suami istri bekerja di DKI Jakarta. Dengan UMR sekitar Rp 4,2 jutaan, maka jika digabung jumlahnya Rp 8,4 jutaan. Otomatis tidak dapat ikut Tapera padahal mereka belum punya rumah. "Jangan sampai aturan ini merugikan," ujarnya.

Syaikhu menyatakan, perlu pijakan yang kuat jika memang ingin menetapkan batas maksimal Rp 8 juta. Misalnya, penghasilan Rp 8 juta dijadikan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Ini jadi landasan bagi pemerintah untuk mengikutsertakan MBR dalam Tapera. 

Kedua, Syaikhu mengingatkan, disamping mengelola dana dari eks Bapetarum, Tapera  juga menerima peserta dari FLPP, dana wakaf dan dana program pembiayaan perumahan lainnya. Itu artinya, target 500 ribu masih dirasakan kurang. 

Sebab, kata dia, backlog pada awal 2020 untuk kelompok ini masih sebesar 1,72 juta unit. Belum lagi penambahan kebutuhan perumahan setiap tahunnya.

"Ini tentu saja masih sangat jauh angkanya. Kebutuhannya jelas di atas 500 ribu unit rumah," ungkap Syaikhu.

Ketiga, Syaikhu meminta Tapera ditunda, mengingat situasi yang masih terdampak pandemi Covid-19. Tapi, jika tidak ditunda Syaikhu minta pemerintah bisa memberikan subsidi khususnya kepada ASN Golongan I dan II.

"Idealnya ditunda. Tapi jika pemerintah memaksa, maka saya minta agar ada subsidi bagi ASN Golongan I dan II. Sebab potongan sebesar Rp 2,5 persen itu memberatkan di tengah situasi sekarang," kata Syaikhu.

Keempat, Syaikhu berharap BP Tapera bisa membantu aksesibilitas peserta untuk mendapatkan perumahan. Di samping itu, setelah selesai melakukan cicilan, BP Tapera bisa membantu peserta untuk mendapatkan sertifikat hak milik atas rumahnya.

"Ini sangat penting. Para peserta harus dapat kejelasan status kepemilikan rumah setelah selesai," ungkap Syaikhu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement