Jumat 10 Jul 2020 08:21 WIB
Islam

Missi Diplomatik RI, Persaudaraan Islam, Pejoratif Kadrun

Arti persaudaraan Islam dan jasa bangsa Arab di awal kemerdekaan.

Agus Salim ketika di Mesir menjalankan misi diploamatik pengakuan kedauatan
Foto: google.com
Agus Salim ketika di Mesir menjalankan misi diploamatik pengakuan kedauatan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah, Mantan Staf M Natsir, Staf Ahli Wapres Hamzah Haz dan mantan anggota DPR

Inilah tulisan kisah Abdul Rasyid Baswedan saat menjadi anggota misi diplomatik Repubik. Rombongan yang dipimpin 'Grand Old Man' yang mampu berbahasa begitu banyak bahasa asing, KH Agus Salim ditugaskan pemerintah ke timur tengah untuk menjalankan tugas diplomatik. Apa itu? Yakni, mencari pengakuan negara asing bahwa Indonesia itu sudah menjadi sebuah negara mandiri. Bukan lagi menjadi negara koloni Belanda.

Kisah yang ada berikut ini adalah bersumber dari buku yang diterbitkan 'Panitia Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim,  yang terbit di Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, 1984, halaman 140-151. Lagi pula dalam kisah ini ada pelajaran moral atau akhlak yang sangat utama, yakni jangan gampang mengolok atau bersikap 'pejoratif' terhadap bangsa lain, apalagi bangsa itu terbukti pernah sangat berjasa di awal masa kemerdekaan. Kala itu tak ada orang Indonesia menyebut aneka sebutan pejoratif kepada Arab, misalnya 'kadrun' (kadal gurun dan sejenisnya). Sebab, negara-negara itu ternyata negara asing yang paling pertama mengakui kemerdekaan Indonesia.

Begini tulisan tersebut selengkapnya:

----------------

MISI DIPLOMATIK REPUBLIK INDONESIA DI MESIR

Oleh A R. Baswedan

Anggota Missi Diplomatik RI ke Timur Tengah

MATAHARI musim semi menyambut kami ketika pesawat melandas di lapangan terbang Kairo, 10 April 1947. Airport terasa sibuk. Kami berempat: Haji Agus Salim, Dr Mr Nazir St Pamuntjak, M Rasjidi (kemudian dikenal sebagai Prof Dr H M Rasjidi), dan saya, turun. Dengan menjinjing aktentas sederhana yang kuncinya sering macet, dan berbekal secarik kertas kumal keluaran Kementerian Luar Negeri dengan tulisan: “Surat Keterangan Dianggap sebagai Paspor”, kami meninggalkan pesawat menuju ruang imigrasi. Berdesak di antara sekian banyak penumpang yang berpakaian rapi, saya cuma mengenakan pakaian biasa –itu seragam perjuangan yang terkenal: stelan kain khaki dan sepatu sandal lusuh.

Pegawai imigrasi, tinggi besar dengan kumis melintang, mengamati “paspor” kami. Roman mukanya agak berkerinyut, dan Haji Agus Salim cepat memberi keterangan bahwa kami adalah anggota delegasi “Mission Diplomatique dari Indonesia, sebuah negara baru di Asia,” begitu kata beliau.

Petugas itu mengangkat bahu. Rupanya ia tidak pernah belajar ilmu bumi tentang Indonesia. Matanya masih menyimak suara itu. “Are you Moslem?”, mendadak dia bertanya. “Yes!”, jawab kami serentak.

Kisah K.H. Agus Salim dan Diplomasi Pertama RI Tahun 1947 Diangkat ...

  • Keterangan foto: Para anggota Missi Dilpomatatik RI ke Mesir tahun 1947.

Jawaban yang spontan seperti  paduan suara, sehingga kami berempat saling berpandangan sambil tertawa. Petugas itu mungkin telah melihat nama-nama yang tertera di surat itu bernafaskan Islam. “Well, then, ahlan wa sahlan. Welcome!”, ucapnya. Tanpa banyak cingcong, tanpa melihat surat-surat lagi atau periksa memeriksa tas, kami dipersilakan lewat.

Beberapa menit kemudian muncul di ruang tunggu Sekretaris Jenderal Liga Arab, Azzam Pasha, dan beberapa mahasiswa Indonesia. Mahasiswa-mahasiswa itu belum ada yang kami kenal, hanya satu yang sudah saya ketahui sejak di Semarang dulu, namanya Abdoelkadir Kherid (kelak bekerja sebagai staf Kedutaan Besar Republik Indonesia, KBRI, di Aljazair).

Tamu yang Menggemparkan

RASANYA seperti sebuah mimpi, ketika pesawat melandas di lapangan terbang Kairo, ketika wajah petugas menjadi cerah setelah tahu bahwa kami Muslimin, ketika Azzam Pasha menyambut dengan segala keramahan. Terasa sekali hangatnya persaudaraan itu. Dan saya jadi teringat awal perjalanan ini, perjalanan yang semula tak pernah dibayangkan dapat terjadi, ketika Mohammad Abdul Mun’im muncul di lapangan terbang Maguwo (sekarang Adi Sutjipto) Yogyakarta.

Lapangan terbang Maguwo yang biasanya sepi, hari itu dikejutkan oleh mendaratnya sebuah Dakota Commercial Airlines dari Singapura. Di antara penumpangnya, turunlah seorang lelaki kulit putih dengan kopiah tarbus merah, bersamanya seorang wanita kulit putih. Dan tak lama kemudian mereka sudah terlihat di Malioboro.

Berita ini tentu saja menggemparkan. Para wartawan sibuk mencari informasi. Ternyata lelaki bertarbus merah itu bermaksud menghadap Presiden Sukarno. Kabar ini pun segera disampaikan ke Istana. Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Menteri Penerangan Mohammad Natsir sedang berada di Jakarta. Saya, yang saat itu menjabat Menteri Muda Penerangan, sedang di Surakarta; sehingga Sekretaris Negara Mr. Abdul Gaffar Pringgodigdo kemudian menelepon saya di rumah meminta supaya segera datang ke Yogyakarta mengurusi “tamu yang menggemparkan” itu.

Tamu itu adalah seorang Mesir yang bernama Mohammad Abdul Mun’im, Konsul Jenderal Mesir di Bombay (sekarang Mumbay), India, yang datang mewakili negerinya dengan membawa pesan-pesan dari Liga Arab. Sebagai seorang diplomat, pada mulanya ia tidak bersedia menerangkan maksud kunjungannya kepada wartawan. Tetapi hal itu sudah dapat diterka, karena sekitar November 1946 tersiar berita bahwa Liga Arab di Kairo memutuskan untuk menganjurkan anggota-anggotanya agar mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

Abdul Mun’im meninggalkan Bombay  menuju Singapura dengan harapan mendapatkan visa masuk Indonesia, tetapi perwakilan Belanda di sana menolaknya. Untung ia bertemu dengan Miss Ktut Tantri, itu wanita kulit putih yang tampak datang bersamanya. Kita tentu mengenal nama wanita ini, yang menjadi pembantu pejuang-pejuang kita, terutama di Jawa Timur, dengan pidato-pidatonya di corong radio bersama Bung Tomo. Ktut Tantri dengan mati-matian berusaha sehingga berhasil mencarter sebuah pesawat terbang yang membawa mereka menerobos blokade Belanda, langsung menuju Yogyakarta.

Kedatangan utusan Liga Arab itu sudah tentu menggembirakan kalangan politik di Yogyakarta khususnya, dan juga di seluruh Indonesia, karena pada saat itu situasi politik antara RI dan Belanda agak memburuk dan kita diliputi rasa pesimis terhadap keikhlasan pihak Belanda.

Perasaan itu jelas terlihat, meskipun baru sebulan sebelumnya sidang pleno Komite Nasional Indonesia di Malang meratifikasi persetujuan Linggarjati. Belanda ternyata memberikan interpretasi sendiri atas persetujuan itu, sehingga situasi menjadi lebih buruk lagi, ditambah pula dengan penyerbuan ke Mojokerto. Akibatnya, Bung Sjahrir terpaksa mondar-mandir Yogya-Jakarta, dan menunda keputusan tentang undangan Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru, untuk menghadiri Inter-Asian Relations Conference di New Delhi.

Begitulah suasana waktu itu, sehingga sangatlah mengharukan ketika hari Sabtu, 15 Maret 1947, pukul 10:00 pagi, Abdul Mun’im menghadap Presiden Sukarno menyampaikan pesan-pesan dari Liga Arab.

Pada hari itu, yang bertepatan dengan ulang tahun kemerdekaan Mesir yang ke-23, utusan Liga Arab itu menyampaikan kepada Presiden, keputusan Sidang Dewan Liga Arab pada tanggal 18 November 1946 yang berisi anjuran agar negara-negara anggotanya mengakui Republik Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat, berdasarkan ikatan keagamaan, persaudaraan, serta kekeluargaan. Oleh Presiden Sukarno, dalam menutup sambutannya dikatakan bahwa antara negara-negara Arab dan Indonesia sudah lama terjalin hubungan yang kekal, “karena di antara kita timbal balik terdapat pertalian agama.”

Utusan Liga Arab ini terus menjadi pembicaraan, karena pidato-pidatonya di Masjid Besar Yogyakarta maupun dalam pertemuan-pertemuan dengan para tokoh di Kepatihan dan dalam konferensi pers. Juga permintaannya untuk bertemu dengan wargna negara Indonesia keturunan Arab, dikabulkan oleh Pemeritah. Dalam pertemuan itu, ia melahirkan rasa gembiranya bahwa warga negara Indonesia keturunan Arab itu telah ikut ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Abdul Mun’im, utusan yang lembut tetapi tegas itu kemudian mendesak agar RI mengirim delegasi ke Mesir, sekaligus ikut menghadiri Inter-Asian Relations Conference di New Delhi.

Perdana Menteri Sutan Sjahrir pun kemudian memutuskan untuk menerima undangan dari Perdana Menteri India, Nehru, juga mengirim delegasi ke Mesir.

Meskipun keberangkatannya ke New Delhi berarti tertundanya beberapa pelaksanaan persetujuan Linggarjati, tetapi ia berpendapat bahwa kepergian ke New Delhi itu akan membawa manfaat. Dikemukakan oleh Sjahrir, betapa pentingnya kedudukan pemerintah India kelak terhadap perjuangan Indonesia. Selain itu, konferensi di New Delhi ini akan memberi kesempatan pula untuk mengatur hubungan negara-negara tetangga seperti Birma, Thailand, Tiongkok, dan lain-lain.

Dan berangkatlah delegasi yang bersejarah ini. Dipimpin oleh Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), A.R. Baswedan (Menteri Muda Penerangan), M. Rasjidi (Sekretaris Jenderal Kementerian Agama), dan Dr. Nazir St. Pamoentjak.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement