Ahad 12 Jul 2020 05:54 WIB

Pecah Telur Rekor Covid-19 dan Pertanyaan Kapan Ini Berakhir

Sudah bulan keempat namun pandemi Covid-19 sepertinya masih jauh dari berakhir.

Warga melintas di dekat mural bergambar simbol orang berdoa menggunakan masker yang mewakili umat beragama di Indonesia di kawasan Juanda, Kota Depok, Jawa Barat, Kamis (18/6/2020). Mural yang dibuat oleh warga itu bertujuan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat untuk menggunakan masker sebagai salah satu  pencegahan dan penyebaran Covid-19
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Warga melintas di dekat mural bergambar simbol orang berdoa menggunakan masker yang mewakili umat beragama di Indonesia di kawasan Juanda, Kota Depok, Jawa Barat, Kamis (18/6/2020). Mural yang dibuat oleh warga itu bertujuan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat untuk menggunakan masker sebagai salah satu pencegahan dan penyebaran Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari*

Sejak Maret 2020, hidup saya seakan berkutat pada pengumuman kasus positif Covid-19 di Tanah Air. Perasaan saya pun bagai gelombang, di hari-hari ketika penambahan jumlah kasusnya stabil, hati saya rasanya ikut stabil. Bersyukur karena tidak ada lonjakan. Berharap, besok jumlah kasusnya turun banyak.

Baca Juga

Beberapa hari terakhir, tapi perasaan saya kembali terombang-ambing. Jumlah penambahan kasusnya kembali mencetak angka tinggi. Istilahnya ada rekor baru yang dipecahkan untuk penambahan Covid-19.

Termasuk ketika pecah telur itu terjadi. Saat Jubir Gugus Tugas Penanganan Covid-19 mengumumkan rekor penambahan kasus baru sebanyak 2.657 pada Kamis (9/7).

Apa perasaan saya? Tentu saya galau. Sejak Maret 2020, saya baru dua kali menginjakkan kaki ke kantor Republika setelah kebijakan kembali bekerja ke kantor sepekan sekali diberlakukan di akhir Juni. Kini saya kembali bekerja dari rumah atau WFH akibat lonjakan kasus Covid-19.

Lonjakan kasus membuat saya kembali menerapkan kebijakan bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah secara penuh. Apa perasaan saya? Tentu saja galau.

Semua kekhawatiran yang terjadi ketika PSBB ketat diberlakukan kembali membayangi. Kemungkinan terkena pemotongan gaji. Kemungkinan tanpa pekerjaan. Bahkan kemungkinan tidak bisa bertemu ibu mertua saya yang tinggal di luar kota lebih lama lagi.

Kapan pandemi ini berakhir rasanya masyarakat se-Indonesia tidak ada yang tahu. Yang saya tahu kita sudah memasuki bulan ke-4 dalam kondisi kasus Covid-19 yang katanya belum mencapai puncaknya. Saya sudah lelah.

Saya merasa senasib dengan Presiden Jokowi ketika ia marah ke pembantunya, alias para menteri. Mereka dianggap tidak kunjung membuat terobosan yang extra ordinary untuk menangani Covid-19.

Sudah tengah tahun tapi anggaran belanja negara untuk penanganan Covid-19 baru sedikit yang cair. Angkanya baru di kisaran 5 persen dari anggaran sebesar Rp 70-an miliar. Padahal daya beli masyarakat sudah hilang hingga Rp 300-an triliun akibat kebijakan PSBB berdasarkan data Bappenas.

Saya rasanya juga ingin marah-marah ke jajaran menteri Jokowi. Saya ingin bertanya, apa yang membuat mereka tidak bisa bekerja cepat. Apa mungkin karena mereka itu PNS jadi gajinya sudah pasti dijamin pemerintah ada pandemi ataupun tidak. Tidak seperti saya dan kebanyakan pekerja lain yang berada di ambang ketidakpastian akibat depresi ekonomi.

Presiden memang sudah berulang kali menegaskan agar daerah tidak mengendurkan kewaspadaannya dalam mencegah dan mengendalikan Covid-19. Karena tanpa pengendalian, kasus di daerah bisa kembali melejit. Presiden menegaskan pentingnya pengendalian situasi dengan dan manajemen krisis yang tegas.

"(Kalau) rakyat tidak diajak semuanya untuk bekerja bersama-sama menyelesaikan ini, hati-hati angka yang tadi saya sampaikan bisa bertambah banyak. Ini jangan dianggap enteng," kata Presiden Jokowi dari Palangkaraya, Kamis (9/7).

Ada kata kunci bersama-sama menyelesaikan ini. Ya betul, pemerintah memang tidak bisa sendirian melakukannya. Tapi saya percaya masyarakat juga harus didorong pemerintah untuk menerapkan protokol kesehatan Covid-19 yang benar.

Kalau memang pandemi ini tidak bisa diusir dari Indonesia karena entah lah, kesalahan strategi dari awal, atau memang jenis strain virus coronanya yang berbeda hingga menimbulkan lebih banyak pasien tak bergejala atau OTG, maka aturan untuk penerapan protokol kesehatan harus dibuat ketat. Tujuannya supaya masyarakat benar-benar mematuhinya.

Saya juga ingin seperti tetangga-tetangga saya di ASEAN. Teman saya di Malaysia sudah bisa pergi berlibur keluar kota dengan suami dan anaknya. Bukan karena dia bosan. Tapi karena angka kasus positif Covid-19 di Malaysia sudah terkendali.

Warga di Bangkok, Thailand, bahkan sudah bisa santai menikmati pusat perbelanjaannya dan makan, minum, berbelanja dengan bebas. Kenapa? Karena Covid-19 di Thailand juga sudah terkendali.

Di Singapura, untuk berkumpul di tempat publik ada aturannya yang jelas. Dendanya juga tidak tanggung-tanggung bagi mereka yang kedapatan melanggar aturan circuit breaker atau di sini dikenal dengan PSBB.

Saya iri. Karena saya tidak tahu sampai kapan Indonesia berada di pusaran Covid-19. Saya cuma bisa menghela napas tiap muncul berita dari media asing yang mengabarkan prediksi buruk tentang pandemi ini di Indonesia.

Saya cuma bisa berharap ada upaya lebih lagi dari pemerintah dan masyarakat untuk sama-sama bertahan hidup di era pandemi Covid-19.  

*penulis adalah jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement