Jumat 10 Jul 2020 00:26 WIB

Baca Alquran Belepotan, Kok Percaya Diri Berfatwa?

Fenomena ‘ustadz’ abal-abal ini pernah terjadi pada era generasi salaf.

Nashih Nasrullah
Nashih Nasrullah

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Nashih Nashrullah*

Tulisan ini sebenarnya tak lebih dari sekadar penegasan dari artikel yang pernah ditulis Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama PWNU DKI Jakarta, KH Taufik Damas, Lc MA. Keresahan kita sama. Maraknya pendakwah dadakan yang tak punya kompetensi agama lalu dengan percaya dirinya berfatwa. Mereka bertebaran di sosial.

Kedoknya klise, alasan ringkas: hijrah dari dunia kelam dan atau baru saja kenal Islam, lalu berfatwa tanpa ilmu. Tabrak sana, tabrak sini. Padahal baca Alquran saja belepotan, sebut nama kitab ulama saja awut-awutan.Kata orang Mesir, ya khabar iswid,cilaka dua belas.

Dalam artikel https://republika.co.id/berita/qcuk5a320/bolehkah-beragama-tanpa-mazhab-langsung-ke-rasulullah, sosok alumni Universitas Al-Azhar Mesir itu menegaskan pentingnya guru. Guru dalam belajar agama mempunyai peran sentral dan vital.

Hal yang demikian tidak bisa ditawar. Jangankan dalam agama, dalam ilmu non-agama pun dituntut hal serupa. Ingin belajar kedokteran perlu berguru ke pakar medis, hendak mahir ilmu bela diri belajar ke guru. Sampai hal terkecil urusan keluarga, kita sebagai anak harus beberapa kali diajarin dan berkaca kepada orang tua mengurus buah hati. Belajar kepada guru yang mumpuni dalam bidang apapun itu fitrah. Sederhana harusnya memahami beginian.

Dalam pernyataannya yang populer, pentolan generasi Tabiin, Ibnu Sirin menyatakan, ”Ilmu ini adalah agama, maka perhatikan dari siapakah Anda mengambil agama Anda.” Titik tekan dari pernyataan Ibnu Sirin benderang sudah, yaitu memastikan bahwa agama yang kita pelajari digali dari sumber yang benar, diambil dari otoritas yang kredibel, bukan abal-abal.

Garis merah fenomena ‘ustadz’ abal-abal ini memang rasa-rasanya juga pernah terjadi pada era generasi salaf, terutama pasca-meninggalnya Utsman bin Affan RA. Bedanya cuma media. Dulu tak ada media sosial yang membuat penetrasi ‘kejahilannya’ sedemikian massif, tapi fenomenanya sama-sama ada.

Imam Al-Awzai’ sebagaimana dikisahkan dari kitab Siyar A’lam an-Nubala’ menggambarkan dengan gamblang seperti apa fenomena itu terjadi. “Dulu tradisi ilmu ini begitu mulia, ditransmisikan antara para pakar, lalu ketika mulai banyak buku tertebaran, masuklah orang yang bukan ahlinya.”

Jika boleh mengibaratkan, ilmu dan agama itu ibarat hutan belantara, tak hanya cukup mengandalkan peta, bagaimanapun perlu penunjuk jalan. Si penunjuk jalan ini yang akan mengarahkan kita agar berhati-hati di semak ada lumpur hidup, mewaspadai binatang buas, dan tak kalah penting mengajarkan survival bertahan hidup di tengah-tengah jenggala.   

Belajar, berguru, baru kemudian berbagi ilmu, adalah proses lazim dari transmisi keilmuan Islam. Para sahabat belajar dari Rasulullah, para tabiin belajar dari tabi’tabiin, dan begitu seterusnya, hingga Islam yang kita nikmati dan jalani sekarang adalah buah dari mata rantai keilmuan turun-menurun  itu.

Tak perlu gengsi dan belajar kepada ahlinya, meski mempunyai afiliasi ormas ataupun politik yang berbeda. Belajar agama tak menjadikan orang sombong, semakin berilmu seseorang akan semakin merendah. Imam Syafi’i saking rendah hati dan berhati-hati, memilih tidak menjawab pertanyaan atau fatwa secara langsung, tanpa menyisakan waktu merenung terlebih dahulu. Yang dipertimbangkan hanya dua, apakah jawabannya tersebut membawa maslahat atau tidak.

Oh ya, satu lagi, tidak usah berlindung dari hadits Rasulullah SAW di balik kepongahan berfatwa tanpa ilmu, yaitu hadits riwayat Bukhari-Muslim “Ballighu ‘anni walau ayatan” (sampaikan dariku (Rasulullah) walau satu ayat). Hadits ini tak bisa disederhakan menjadi landasan sesat pikir bahwa kita boleh begitu saja tampil menafsirkan dan menyampaikan ajaran agama tanpa kompetensi.

Ada problem interpretatif membaca hadits itu. Padahal redaksi lengkap haditsnya “man kadzzaba ‘alayya muta’ammidan fal yatabawwa’ maq’adahu minannar” justru mengikat dari potongan pembuka hadits ‘sampaikanlah walau satu ayat’.

Inilah mengapa dalam Kitab Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ At-Tirmidzi, Imam Abdurrahman Al-Mubarakfuri, lebih memilih bahwa maksud hadits tersebut adalah menyampaikan ayat Alquran kepada mereka yang belum menerima atau mendapatkan informasi tentang ayat tertentu, oleh seorang yang sudah barang pasti menguasai keilmuannya.    

Lagi-lagi mestinya sederhana memahami perkara dasar semacam ini. Bukan malah ngeles sana-sini yang justru menunjukkan keangkuhan diri sendiri. Para ulama bersusah payah membangun bangunan keilmuan dan tradisi ilmu lalu tiba-tiba kita muncul dengan percaya dirinya berguru langsung kepada Rasulullah dan sahabat? Tak semudah itu Ferguso.

Penulis berharap fenomena ini menjadi atensi pihak terkait, baik dari Kementerian Agama atau ormas-ormas Islam, setidaknya membentengi jamaahnya masing-masing agar terhindar dari bahaya mereka yang tak berilmu tapi begitu nyaring bunyinya.        

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement