Rabu 08 Jul 2020 08:11 WIB

Jubir Menhan Jelaskan Anggaran Kemenhan Sebenarnya tak Besar

Anggaran Kemenhan Rp 131,1 triliun, hanya 30 persen untuk belanja alutsista.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/Erik PP/ Red: Erik Purnama Putra
Sekjen Kemenhan periode 2019-2020 Laksdya (Purn) Agus Setiadji.
Foto: Republika/Erik Purnama Putra
Sekjen Kemenhan periode 2019-2020 Laksdya (Purn) Agus Setiadji.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemahaman sektor pertahanan yang kurang dikenal dengan baik membuat sebagian kalangan menganggap anggaran Kementerian Pertahanan (Kemenhan) terlalu besar. Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, menuturkan, ada ketidakseimbangan pemahaman antara ekonomi dan pertahanan di banyak pihak. Padahal, menurut dia, ekonomi dan pertahanan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

"Ada jenjang yang jauh terkait ekonomi dan pertahanan," ujar Dahnil saat menjadi pemateri dalam peluncuran buku Sekjen Kemenhan periode 2019-2020 Laksdya (Purn) Agus Setiadji berjudul 'Ekonomi Pertahanan: Menghadapi Perang Generasi Keenam' yang diadakan Jakarta Defence Studies (JDS) di Jakarta, Selasa (7/7).

Dahnil menjelaskan, anggaran Kemenhan yang mencapai Rp 131,1 triliun pada 2020, sekitar 40 persennya dialokasikan untuk belanja pegawai. Sedangkan untuk belanja alat utama sistem senjata (alutsista), sambung dia, Kemenhan hanya menganggarkan sekitar 30 persen saja. Itu pun dananya masih dibagi untuk Mabes TNI dan tiga matra lainnya, yaitu TNI AD, AL, dan AU.

Dengan begitu, anggaran sebenarnya yang dimiliki Kemenhan masih jauh di bawah batas kecukupan. "Dan yang ada di Kemenhan (dananya) hanya sekitar 17-20 persen saja. Karena Kemenhan membawahi lima unit organisasi," ucap Dahnil.

Dengan alasan tersebut, Dahnil meminta agar berbagai pihak termasuk analis dan ekonom memperhatikan berbagai faktor lainnya dalam menentukan anggaran pertahanan. Salah satu yang paling utama dalam menentukan anggaran untuk Kemenhan adalah ancaman dalam dan luar negeri.

Dahnil melanjutkan, masih adanya ekonom yang menggugat anggaran besar untuk Kemenhan, dikarenakan adanya literasi ekonomi dan pertahanan yang tidak seimbang. Terlebih, sambung dia, saat ini ada anggapan yang menyebut, pemerintah harus lebih mengutamakan kemajuan ekonomi dan meminimalkan anggaran untuk pertahanan, termasuk alutsista.

Dia menambahkan, ancaman memang tidak bisa menjadi konsumsi publik. Namun demikian, dengan literasi yang cukup, seharusnya berbagai pihak bisa memetakan keadaan geopolitik dan geostrategis suatu negara, tidak terkecuali untuk Indonesia. "Dari situ setidaknya bisa mengetahui ancaman apa yang ada," ucap Dahnil.

Sementara Laksdya Agus Setiadji menyinggung tentang ekonomi dan pertahanan merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dalam sebuah negara. Bahkan kedua dislipin ilmu tersebut bisa saling melengkapi bagi eksistensi suatu negara dalam persaingan di dunia internasional.

Agus menerangkan, ekonomi pertahanan merupakan ilmu yang menggunakan metode ilmu ekonomi untuk mempelajari isu-isu yang berkaitan dengan pertahanan, perencanaan pembangunan kekuatan, termasuk pelucutan sejata dan perdamaian dunia. "Ekonomi pertahanan mengaplikasikan ilmu ekonomi yang sudah digunakan jauh ke dalam bidang bidang tertentu, dalam hal ini pertahanan negara," kata Agus.

Agus kemudian mengutip pernyataan Menteri Pertahanan periode 2009-2014, Purnomo Yusgiantoro, bahwa ekonomi pertahanan merupakan ilmu pengetahuan untuk mencari cara terbaik dari alokasi berbagai sumber daya nasional, guna memenuhi kebutuhan akan rasa aman dari ancaman. Menurut Agus, ekonomi pertahanan merupakan satu kesatuan utuh tentang upaya untuk mempertahankan eksistensi suatu negara dalam mempertahankan diri, baik secara ofensif maupun defensif, melalui ilmu ekonomi dihadapkan kepada keterbatasan sumber daya.

Sehingga, banyak hal yang tercakup dalam ilmu ekonomi pertahanan. Agus menambahkan, ilmu ekonomi pertahanan, termasuk pencegahan dan penghindaran perang, inisiasi dan penghentian, interaksi strategis, perlombaan senjata maupun kontrol senjata. Demikian juga dengan pembentukan aliansi, alokasi sumber daya, dan perilaku, serta struktur komando versus ekonomi pasar sebagai sumber daya pertahanan juga masuk dalam bahasan.

"Kesiapan militer, material-material strategis, dan kebijakan industri pertahanan. Juga pengadaan, akuisisi, dan analisis kontrak-kontrak pertahanan," jelas mantan sekretaris utama Badan Keamaan Laut (Bakamla) ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement