Selasa 07 Jul 2020 09:54 WIB

PKI dan Mao Zedong, Unas Kiblat Politik (Bagian 2)

Pada era Sukarno, muncul istilah Poros Jakarta Peking (kini Beijing).

Presiden RI Sukarno bersama pemimpin China daratan Mao Zedong.
Foto: Dok
Presiden RI Sukarno bersama pemimpin China daratan Mao Zedong.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Istora Senayan, awal Juli 1966. Matahari menyinari Jakarta. Pagi itu, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) sudah menyerbu Istana Olahraga Senayan, Jakarta. KAMI merupakan komponen mahasiswa anti-PKI. Terdiri dari organisasi mahasiswa ekstra kampus maupun aktivis mahasiswa lainnya yang antikomunis.

Jaket almamater warna warni: kuning, hijau, merah, biru menunjukkan identitas perguruan tingginya. Tidak terkecuali, mahasiswa berjaket hijau dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta. Aktivitas KAMI Unas, antara lain Hadi Wayarabi, Muchlis Dasuki, Nur Ismet Dinur, Badar Balfas, Zulkifli Hasibuan, dan Zulkarnaen Jamin. Mereka tidak sabar menyaksikan jalannya Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Sidang ini awalnya dijadwalkan dibuka pada 12 Mei 1966. Namun diundur menjadi 20 Juni 1966. Sidang maraton itu berakhir 5 Juli 1966. Para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI bersorak gembira. Ya, bergembira saat Jenderal TNI Abdul Haris Nasution menyatakan….

“Pasal 1… pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasinya yang seasas/berlindung/bernaung di bawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia yang dituangkan dalam keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No.1/3/1966, dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut di atas melalui Ketetapan MPRS.”   

“Pasal 2. Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut, dilarang."

“Pasal 3. Khususnya mengenai kegiatan pempelajari secara ilmiah, seperti pada universitas-universitas, paham komunisme/Marxisme/Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR, diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan.”

Pasal 3, umumnya dikhususnya bagi mahasiswa, utamanya dari jurusan sosial dan politik. Mahasiswa ilmu politik pastilah mempelajari ideologi-ideologi di ruang kelas dalam mata kuliah pemikiran politik. Begitu juga bagi mahasiswa Unas dari Fakultas Sosial Ekonomi dan Politik (F-SEP) yang turut menyaksikan jalannya sidang MPRS tersebut.

Ketetapan MPRS RI Nomor XXV.MPRS/1966 Tahun 1966 tanggal 5 Juli 1966 itu ditandatangani enam orang. Ketua Jenderal TNI AH Nasution, dan Wakil Ketua Osa Maliki, HM Subhan ZE, Brigjen TNI Mashudi, dan ZEM Siregar. Selain itu administrator sidang MPRS Mayjen TNI Walujo Puspo.

KAMI berbasis di kampus Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Didirikan pekan ketiga Oktober 1966 usai meletusnya malam jahanam G30S/PKI. Mereka meyakini PKI terlibat dalam gerakan yang menyebabkan pimpinan Angkatan Darat diculik dan dibunuh. KAMI mendeklarasikan Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat. Tritura menurut salah satu tokohnya, Akbar Tandjung mewakili unsur Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), masih relevan.

“Inti Tritura adalah bubarkan PKI, turunkan harga (sembako), rombak kabinet. PKI jelas bertentangan dengan ideologi Pancasila. Jika harga-harga melambung tinggi, akan menyengsarakan rakyat. Jika ada menteri-menteri yang tidak bisa bekerja, harus di-reshuffle,” kata Akbar Tanjung, suatu ketika saat perayaan Tritura.

Cina komunis

Persis 70 tahun lalu, pada 1950 Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Hanya sekitar enam bulan setelah berdirinya negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 1949. Disebut juga sebagai Republik Rakyat China (RRC) atau China komunis.

Sebagai pendiri negeri Tirai Bambu adalah Ketua Partai Komunis Tiongkok, Mao Zedong. Sering juga ditulis Mao Tse Tung. Dialah yang menyatukan China dan menjadikannya negara komunis terbesar.

Membawa partai komunis (Kung Chang Tang) sebagai pemenang dalam perang sipil yang panjang pada 1927-1949. Kung Chang Tang menang melawan Kuomintang (nasionalis) yang dipimpin Ciang Kai Sek. Kubu Kuomintang pun melarikan diri ke Pulau Formosa. Kini dikenal sebagai Taiwan atau Republik China. Wilayah China daratan pun dikuasai RRC.

Mao, pemimpin revolusi paling disegani. Ciri khasnya, rambut dicukur pendek. Disisir rapi ke kanan dan ke kiri. Membelah tengah kepala bagian atas. “Itu bentuk protes saya kepada dinasti Qing,” kata Mao dalam buku biografinya. Dalam film-film China tradisional, masih bisa dilihat gaya rambut orang Tiongkok. Memiliki ekor yang dibiarkan menjuntai. Sebagai tanda hormat kepada dinasti Qing.

Remaja Mao tidak sudi harus mengabdi pada dinasti tersebut. Ia memberontak dan memotong rambut kuncirnya. Mengubah gaya rambutnya hingga akhir hayat. Gaya itu kini diikuti pemimpin negara komunis Korea Utara, Kim Jon-Un. Pada era 1950-an, Presiden Sukarno memiliki hubungan yang erat dengan pemimpin Cina Komunis, Mao Zedong.

Apa yang diminta Bung Karno dituruti Tiongkok. Termasuk ketika Sukarno meminta Perdana Menteri RRT Zhou En Lai agar Mao Zedong bersedia menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada April 1955. Mao pun jadi tamu agung di Bandung. Pemerintah Indonesia dan Tiongkok sepaham mempererat hubungan diplomasi yang dimulai sejak 1950 tersebut.

“Dalam konteks diplomasi, hubungan luar negeri dengan Indonesia era Sukarno, sangat menguntungkan Tiongkok. Mengapa? Karena saat itu mereka belum diterima sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),” kata Prof Dr Maswadi Rauf, MA, saat pelajaran mata kuliah politik luar negeri di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional (Unas), Jakarta, era 1980-1990-an.

Dalam forum PBB, China diwakili Republik China (Taiwan) sejak 1945. Kendati kubu komunis menang pada perang sipil, namun China komunis belum diakui PBB. Negara komunis lainnya, seperti Uni Soviet sudah berusaha menendang Taiwan di PBB dan memasukan RRC sejak 1950. Namun tidak berhasil, karena kalah suara.

Penulis menjadi mahasiswa FISIP Unas pada 1986-1991. Menjadi murid dari Maswadi Rauf yang mengajar mata kuliah politik luar negeri, konsensus konflik, dan metodologi ilmu politik. “Berapa pukulan saat kuliah dengan saya?” tanya Prof Maswadi, tersenyum. “Satu pukulan lulus, Prof.”

Pukulan yang dimaksud adalah berapa kali mengambil mata kuliah yang sama. Maswadi pun tertawa mengenang dinamika perkuliahan di FISIP Unas era tersebut. Memang banyak mahasiswa terpaksa harus mengulang mata kuliah yang diasuh guru besar ilmu politik itu. Bahkan sampai ada yang tiga kali, belum lulus juga.

Kini Maswadi tetap mengajar di Unas. Ia menjadi direktur Sekolah Pascasarjana Unas. Tercatat sudah 40 tahun mengajar di Unas, sejak 1980 hingga kini. Saat berbincang, Maswadi didampingi Ketua Program Doktoral Ilmu Politik Unas, Dr TB Massa Djafar, MSi. TB Massa juga murid dari Maswadi saat kuliah di FISIP Unas pada 1982-1987. Diskusi dengan guru besar berusia 74 tahun itu dilakukan di lantai 4 Menara Unas di Jl Harsono RM, Ragunan, Jakarta Selatan, Rabu (1/7) lalu.

Pasang surut

Kembali soal hubungan Indonesia dengan Tiongkok. Presiden Sukarno di forum PBB mengutuk organisasi dunia itu, karena tidak mengakui China pimpinan Mao Zedong. “Saya berbicara tentang China. Saya bicara tentang apa yang sering disebut China komunis. Yang bagi kami merupakan satu-satunya China yang sesungguhnya. PBB justru sangat lemah karena menolak keanggotaan negara terbesar di dunia.”

Itulah salah satu cukilan pidato Presiden Sukarno di PBB berjudul To Build World A New pada 30 September 1960. Bagi Sukarno, China yang riil secara politik adalah RRT bukan Taiwan. Baik dari jumlah penduduk, luas wilayah, usia peradaban, serta kekuatan ekonomi. Bukan kali itu saja dukungan Sukarno kepada China komunis. Secara terang-terangan ia galang kekuatan mendukung RRT pada KAA Bandung 1955.

Sukarno bersama Joseph Broz Tito (Yugoslavia), Jawaharlal Nehru (India), Gamal Abdel Nazzer (Mesir), dan Kwame Nikrumah (Ghana). Mereka membentuk jaringan Non-Blok. Sekaligus menuntut RRT dijadikan anggota PBB. Indonesia dan RRT kemudian menandatangani perjanjian persahabatan dan kebudayaan pada 1 April 1961. Akhirnya Indonesia menjadi sangat dekat dengan Tiongkok.

Apalagi setelah Januari 1965, Presiden Sukarno nekat. Mengeluarkan Indonesia dari PBB, karena organisasi itu menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap dewan keamanan PBB. Sukarno tidak sudi Indonesia berada satu atap dengan Malaysia sebagai anggota PBB. Beberapa waktu sebelumnya, pada 3 Mei 1964, Indonesia melancarkan aksi Ganyang Malaysia melalui Dua Komando Rakyat atau Dwikora.

Di Belakang berdirinya Malaysia adalah negara-negara Barat, seperti Inggris yang merupakan sekutu kuat Amerika Serikat (AS). Indonesia di bawah Sukarno pun semakin lengket dengan RRT. Lalu menjalin suatu kerja sama membangun solidaritas di antara negara-negara New Emerging Forces (NEFO).

Organisasi yang dibentuk untuk menandingi PBB. Termasuk pesta olahraga negara-negara berkembang atau Games of The New Emerging Forces (Ganefo) pertama pada 1963. Pesta olahraga yang menandingi Olimpiade. Itulah masa-masa bulan madu Indonesia dengan China komunis. Muncul istilah Poros Jakarta Peking (kini disebut Beijing).

Namun, peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang dituding Angkatan Darat (AD) didalangi PKI, membuat hubungan kedua negara berubah. Bagi TNI AD pembunuhan terhadap Panglima AD Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani dan kawan-kawan sama saja mengajak perang terbuka antara TNI AD dan PKI. TNI AD tidak peduli walau PKI punya hubungan dekat dengan Bung Karno.

TNI AD menuding di belakang PKI ada Partai Komunis China. Sebelumnya, Perdana Menteri China Zhou En Lai berjanji akan mengirimkan bantuan 100 ribu senapan Chung. Senapan untuk angkatan kelima, di luar TNI AD, TNI AL, TNI AU, dan Polri. PKI sangat mendukung angkatan kelima, seperti PKC yang mempersenjatai buruh dan tani saat melawan Kuomintang.

TNI AD pun mendesak Presiden Sukarno agar melarang PKI di Indonesia. Sukarno menolak, karena bertentangan dengan konsep bentukannya, yakni Nasionalis Agama, dan Komunis (Nasakom). Saat menjadi Ketua MPRS Jenderal TNI AH Nasution mendapat dukungan kuat dari KAMI. Akhirnya keluar ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan larangan ajaran komunisme/Marxisme.

Presiden Sukarno diminta pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S pada Sidang Umum ke-IV MPRS. Pidato tersebut berjudul ‘Nawaksara’ dibacakan pada 22 Juni 1966. MPRS tidak puas, lalu meminta Bung Karno melengkapi pidato tersebut. Pidato ‘Pelengkap Nawaskara’ disampaikan pada 10 Januari 1967.

Sukarno menjelaskan munculnya G30S/PKI disebabkan tiga hal. Yakni, keblingeran pimpinan PKI, subversi nekolim atau unsur asing, dan adanya oknum yang tidak bertanggung jawab. Lagi-lagi penjelasan itu ditolak MPRS pada 16 Februari tahun yang sama. Pada 12 Maret 1967, Bung Karno lengser dari kursi presiden melalui Sidang Istimewa MPR.

Akhirnya pada 20 Februari 1967, Sukarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Dengan surat itu, secara de facto Jenderal Soeharto  menjadi kepala pemerintahan Indonesia. Sidang Istimewa MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Sukarno. Sekaligus mengangkat Soeharto sebagai presiden RI hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.

Tap MPRS Nomor XXV tahun 1966 itu, kini ramai diperbincangkan lagi. Sejumlah fraksi di parlemen dan komponen masyarakat, termasuk purnawirawan TNI/Polri menolak tawar-menawar. Mereka meminta Tap MPRS pembubaran PKI dimasukan dalam konsideran Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) demi mengukuhkan nilai-nilai Pancasila. TNI dan sebagian besar organisasi kemasyarakatan Islam menjadi ujung tombak komponen anti komunis (PKI).

Bersambung...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement