Senin 06 Jul 2020 15:33 WIB

Permainan dan Olahraga di Masa Dinasti Abbasiyah

Permainan dan olahraga muncul menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Islam.

Rep: Syahruddin El Fikri/ Red: Muhammad Hafil
Permainan dan Olahraga di Masa Dinasti Abbasiyah. Foto: Ilustrasi ilmuwan Muslim saat mengembangkan sains dan teknologi pada era Dinasti Abbasiyah di Baghdad.
Foto: Wordpress.com
Permainan dan Olahraga di Masa Dinasti Abbasiyah. Foto: Ilustrasi ilmuwan Muslim saat mengembangkan sains dan teknologi pada era Dinasti Abbasiyah di Baghdad.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Di sela tumbuhnya tradisi ilmiah, permainan dan olahraga muncul menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Islam. Biasanya, tenis dilakukan pada saat waktu senggang. Kegiatan olahraga sudah digemari sejak awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah, apalagi bagi para dokter Muslim, seperti Ibnu Sina dan al-Razi, yang menyatakan pentingnya olahraga.

Pada perkembangannya, muncul permainan adu ketangkasan dan olahraga yang dilakukan di dalam maupun di luar ruangan. Beberapa permainan yang digelar di dalam ruangan adalah catur, kartu, dan lempar dadu. Sejumlah kota besar biasanya memiliki tempat perkumpulan khusus untuk menggelar permainan ini.

Baca Juga

Catur merupakan permainan olah otak yang sangat digemari. Peminatnya mulai dari masyarakat awam hingga kaum bangsawan. Dalam History of the Arabs, Philip K Hitti mencatat bahwa Harun al-Rasyid termasuk khalifah pertama Dinasti Abbasiyah yang mengenalkan catur.

Berasal dari India, catur yang dalam bahasa Arab disebut syithranj, dengan cepat meraih popularitas di kalangan bangsawan. Catur akhirnya menggantikan permainan lempar dadu yang sebelumnya ada. Al-Rasyid selalu bermain catur di waktu luangnya. Khalifah ini juga pernah menghadiahkan papan catur ke pemimpin lainnya, yaitu Charlemagne.

Pada saat bersamaan, muncul permainan lain yang disebut dam-daman. Sama seperti catur, permainan ini dilakukan di atas papan. Namun, permaianan ini tak setenar catur. Sementara itu, permaianan atau olahraga luar ruang lebih beragam jenisnya. Sebut saja panahan, polo, shawlajan atau kriket, lempar lembing, berkuda, dan berburu.

Para khalifah menyukai olahraga itu. Khalifah al-Jahiz dikenal mahir memanah, berkuda, bermain bola, dan catur. Dia kerap berolahraga dengan rekan-rekannya. Olahraga sejenis tenis pun sudah dimainkan umat Islam beradab-abad silam. Sejumlah catatan menyatakan ada permainan bola dengan memakai kayu besar (thabthab).

Alat ini digunakan sebagai pemukul bola. Hitti menyebutkan bahwa inilah permainan tenis dalam bentuk paling awal. Permaianan adu ketangkasan seperti anggar dan panahan tak kalah menarik. Para pemainnya, selain para bangsawan ada pula yang berasal dari masyarakat biasa dan anggota militer.

Seperti dijelaskan Jere L Bacharach dalam Medieval Islamic Civilization, para tokoh istana seringkali mengadakan kompetisi anggar dan panahan secara rutin. Sedangkan, Khalifah al-Mu’tashim, lebih menggemari olaharga polo. Demikian pula jenderalnya, al-Afsyin yang berasal dari Turki.

Namun, kedua petinggi ini belum pernah memainkan olahraga tersebut untuk saling berhadapan sebagai lawan. Sang jenderal enggan untuk melakukannya dengan alasan begitu hormatnya ia kepada Khalifah. Seperti saat ini, dahulu polo termasuk olahraga bergengsi. Terbukti keluarga istana dan bangsawan saja yang memainkannya.

Biasanya, polo juga digelar untuk menyambut tamu negara, misalnya, ketika Sultan Mamluk Baybar I menerima delegasi dari Mongol pada 1262 Masehi. Selain itu, ada tujuan lain dalam melestarikan polo. Penguasa kekhalifahan sangat berkepentingan untuk menjaga kebugaran tentara dan kuda-kuda mereka.

Hal ini dipandang penting agar pasukan tetap dalam kondisi prima, dan sewaktu-waktu bisa dikirimkan dan ditugaskan ke berbagai wilayah kekhalifahan. Olahraga lain yang memanfaatkan hewan kuda adalah pacuan kuda. Bahkan, merupakan salah satu olahraga popular. Tapi, tidak semua orang dapat memainkannya.

Berbeda dengan perlombaan balap unta atau burung dara, pacuan kuda digelar pada waktu-waktu tertentu di Raqqah dengan melibatkan kuda-kuda terbaik dari seluruh negeri. Menurut sejarawan al-Masudi, kuda milik Khalifah Harun al-Rasyid pernah menang pada lomba pacuan bergengsi ini.

Kehebatan kuda saat dipacu akan diabadikan dalam teks-teks sastra ternama, seperti dalam Iqd. Dengan susunan kata yang indah serta sarat pujian, teks-teks ini kemudian memicu ketertarikan masyarakat luas sehingga menjadikan setiap perlombaan pacuan kuda kian diminati.

Sejumlah aturan dan kriteria ketat ditetapkan. Kuda-kuda yang diperlombakan harus berumur sama. Jenis olahraga lainnya yang melibatkan hewan kuda yakni berburu. Hewan buruan biasanya babi liar, kelinci, atau singa. Dalam soal berburu, Khalifah al-Amin dikenal sebagai sosok yang sangat gemar berburu.

Ia sering mengunjungi wilayah-wilayah di luar Baghdad, ibu kota Irak, untuk memuaskan hobinya itu. Beberapa khalifah seperti Abu Muslim al-Khurasani dan al-Mu'tashim membawa hewan cheetah saat berburu. Elang juga dilatih secara khusus untuk keperluan tersebut.

Pada umumnya, berburu dilakukan secara berkelompok, sebab memiliki risiko cukup besar. Berburu dengan menggunakan elang (baz) dan rajawali (basyiq) berkembang pada akhir masa kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Kebiasaan yang berasal dari Persia ini banyak dilakukan di wilayah Dayr al-Zur maupun kawasan Syiah di Suriah.

Pengembangan teknik berburu turut mendapat perhatian, seperti yang pernah dilakukan Khalifah al-Mu'tashim. Dia mengenalkan semacam metode pengepungan. Khalifah memerintahkan untuk membangun dinding berbentuk tapal kuda di tepi sungai Tigris. Lalu, para pembantunya akan mengarahkan hewan buruan ke dalam dinding itu.

Setelah terjebak di dalamnya, hewan itu menjadi sasaran panah. Namun, perburuan dilaksanakan dengan mengikuti syariat Islam. Binatang yang terkena panah harus segera disembelih agar dagingnya halal untuk dimakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement