Ahad 05 Jul 2020 18:09 WIB

Politikus Israel: Trump tak Setuju Rencana Caplok Tepi Barat

Sejatinya pencaplokan Tepi Barat dilakukan Israel pada 1 Juli lalu.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
 Pandangan pemukiman Yahudi Tepi Barat.
Foto: AP / Oded Balilty
Pandangan pemukiman Yahudi Tepi Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Mantan ketua parlemen Israel (Knesset) Abraham Borg mengatakan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menghentikan rencana Israel untuk mencaplok sebagian wilayah Tepi Barat. Hal itu dia ungkap dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Italia Il Fatto Quotidiano.

"Dia (Trump) tidak punya waktu untuk membantu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam mengimplementasikan pencaplokan Tepi Barat," kata Borg saat ditanya alasan mengapa Trump menghentikan rencana Israel mencaplok Tepi Barat, dikutip laman Anadolu Agency, Ahad (5/7).

Baca Juga

Borg pun sempat ditanya tentang waktu eksekusi kebijakan pencaplokan Tepi Barat yang sebelumnya diagendakan pada 1 Juli lalu. "Sangat sulit, jika bukan tidak mungkin, untuk menetapkan ekspektasi pada pencaplokan, karena tidak ada transparansi dalam rencana ini, tidak ada yang tahu detailnya," ujarnya.

Pencaplokan sebagian wilayah Tepi Barat rencananya dilakukan pada Rabu (1/7) lalu. Namun Netanyahu memutuskan menunda pelaksanaannya. AS selaku pendukung rencana pencaplokan dilaporkan belum bisa menerima skema yang disiapkan Israel terkait aneksasi Tepi Barat.

Di sisi lain, terdapat keretakan di tubuh pemerintahan Netanyahu, khususnya dengan Ketua Blue and White Party Benny Gantz yang saat ini menjabat menteri pertahanan Israel. Gantz menghendaki, keputusan politik yang dibuat saat ini diprioritaskan untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta efek sosial-ekonominya.

Meski saat ini menjabat menteri pertahanan, Gantz nantinya menggantikan Netanyahu sebagai perdana menteri. Kedua tokoh itu membentuk pemerintahan koalisi dengan kesepakatan pembagian masa jabatan perdana menteri.

Rencana pencaplokan Tepi Barat telah dikritik komunitas internasional, termasuk PBB dan Uni Eropa. Hal itu dianggap melanggar hukum internasional dan membahayakan prospek perdamaian serta solusi dua negara Israel-Palestina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement