Senin 06 Jul 2020 04:31 WIB

Nestapa Muslim Uighur yang Dilupakan Dunia Islam

Nestapa Muslim Uighur yang Dilupakan Negara Islam

Muslim Uighur di Cina
Foto: Dokrep
Muslim Uighur di Cina

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Azyumardi Azra, Cendikiawan Muslim dan Mantan Rektor UIN Jakarta.

Nestapa Suku Uighur di Xinjiang, wilayah yang biasa disebut kaum Muslim Uighur sebagai Turkistan Timur, tampaknya bakal berlanjut—entah sampai kapan. Belum terlihat tanda-tanda Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) bakal mengubah kebijakannya di Xinjiang, yang menurut berbagai media massa internasional melanggar HAM.

Kebijakan dan program Pemerintah RRC yang kini sangat menghebohkan adalah ‘pendidikan ulang’ (reedukasi) yang sebenarnya mulai dilaksanakan sejak 2014. Program yang juga disebut ‘pelatihan keterampilan’ yang diadakan di kamp-kamp pelatihan menimbulkan kehebohan sejak dilaporkan BBC London/10 Oktober 2018; ‘reedukasi’ itu ternyata adalah program pemberantasan ekstremisme dan radikalisme. Menurut BBC, kian banyak warga Uighur yang hilang setelah memasuki kamp ‘reedukasi’.

Laporan BBC itu jelas mengganggu Pemerintah RRC; tetapi tampaknya rezim Beijing terlihat tetap nyaman dengan segala kebijakannya terhadap kaum Muslim Uighur. Tidak ada negara mana pun di muka bumi yang benar-benar serius bersuara lantang mengkritik Pemerintah RRC; tidak dari negara-negara Barat—Eropa dan AS dan Kanada—yang biasanya getol bicara tentang HAM, kebebasan beragama dan persekusi terhadap warga tertentu. Tampaknya, Barat tidak ingin menambah konfrontasi dengan RRC setelah merebaknya perang dagang di antara kedua belah pihak.

RRC boleh jadi lebih nyaman lagi dalam kaitan dengan negara-negara Muslim, baik dalam hubungan multilateral lewat OKI maupun bilateral dengan negara Muslim. Praktis tidak ada negara-negara OKI—kecuali Indonesia—yang mempersoalkan kebijakan Pemerintah RRC terhadap kaum Muslim Uighur.

Ada beberapa faktor penyebab lunaknya sikap negara-negara-negara Muslim terhadap RRC. Pertama, secara tradisional, berbeda dengan dunia Barat, Cina tidak terlibat dalam konflik panjang dengan dunia Muslim umumnya. Meski rezim Cina adalah komunis yang tidak bersahabat dengan agama—termasuk Islam—banyak negara Muslim tetap berhubungan baik dengan RRC.

Faktor kedua, banyak negara anggota OKI memiliki kerja sama bilateral cukup erat dengan RRC. Kerja sama itu terwujud dengan pemberian pinjaman besar, juga dalam berbagai proyek infrastruktur, khususnya yang termasuk dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI) yang dulu populer sebagai OBOR (One Belt One Road). Banyak negara anggota OKI terlibat percaya bahwa proyek BRI Cina bakal mendatangkan banyak manfaat ekonomi bagi masyarakat mereka.

Faktor ketiga, beberapa negara OKI seperasaan dengan RRC dalam menghadapi gejala radikalisme dan terorisme. Turki semula membela kaum Uighur dengan mengkritik keras Pemerintah RRC. Ketika Pemerintah Beijing bereaksi keras terhadap Turki, Presiden Recep Tayyip Erdogan pun diam.

Sedangkan negara-negara Teluk, Arab Saudi, dan Pakistan sama-sama memiliki kepentingan lebih langsung dengan RRC dalam mengeliminasi perkecambahan radikalisme dan terorisme, yang berkembang di Asia Tengah dan menyebar ke Timur Tengah dan Asia Selatan. Berpadu dengan kepentingan ekonomi dan radikalisme dan terorisme negara-negara Muslim memilih diam menghadapi persekusi RRC terhadap Muslim Uighur.

Bagaimana Indonesia? Dalam perkembangan terakhir sejak tersiarnya laporan BBC 10 Oktober 2018. Indonesia agaknya satu-satunya negara berpenduduk mayoritas Muslim yang lebih peduli. Sebanyak 90 persen percakapan di media sosial tentang Muslim Uighur terkait dengan warga Indonesia; sisanya terpencar-pencar di antara kaum Muslimin di negara-negara lain.

Tak kurang pentingnya, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri tampaknya juga merupakan pihak satu-satunya yang memanggil duta besar RRC (di Jakarta) untuk memberi penjelasan tentang apa yang terjadi di Xinjiang. Pemerintah Indonesia juga meminta klarifikasi tentang apa yang sebenarnya terjadi di ‘re-education camps’ di Xinjiang.

Kemenlu juga meminta kepada Pemerintah Cina untuk berkomunikasi langsung dengan ormas-ormas Islam Indonesia. Selain itu, diharapkan, Pemerintah Beijing dapat membuka akses bagi ormas Islam Indonesia untuk meninjau ke Xinjiang.

Namun, Pemerintah Indonesia sulit bertindak lebih jauh. Sebaliknya, Indonesia berada dalam posisi dilematis, tidak hanya terkait dengan gejala radikalisme, tetapi lebih-lebih lagi dengan semangat separatisme Suku Uighur yang ingin mendirikan negara ‘Turkistan Timur’.

Terkait dengan kewajiban menjaga keutuhan NKRI, Pemerintah Indonesia dalam kebijakan luar negerinya selalu berusaha untuk tidak seolah ‘memberi angin’ pada kelompok separatis di negara mana pun. Alasannya jelas: hal itu berarti memberi angin pada potensi separatisme di NKRI sendiri.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement