Jumat 03 Jul 2020 05:38 WIB

Cara Mualaf Etnis China Menjaga Silaturahim dengan Keluarga

Mualaf dianjurkan untuk selalu menjaga silaturahim dengan keluarga.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Cara Mualaf Etnis China Menjaga Silaturahim dengan Keluarga. Foto ilustrasi: Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin bersama Pimpinan Masjid Lautze, Ali Karim Oey.
Foto: Agung Sasongko/ROL
Cara Mualaf Etnis China Menjaga Silaturahim dengan Keluarga. Foto ilustrasi: Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin bersama Pimpinan Masjid Lautze, Ali Karim Oey.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Yayasan Haji Karim Oei yang juga pengurus Masjid Lautze, Muhammad Ali Karim Oei, mengatakan, masjid difungsikan sebagai aktivitas ibadah dan sosial lainnya. Masjid adalah tempat untuk sholat berjamaah, sedekah, makan-makan semacam tasyakuran, atau kumpul bersama para mualaf yang senasib-sepenanggungan dalam menjalani cobaan atas penolakan dari keluarga asal atas keimanan yang dipercaya. 

Salah masjid yang konsisten melaksanakan fungsi itu adalah Masjid Lautze di Sawah Besar, Jakarta. Menurut Ali, selama ini, telah menjadi tempat untuk belajar keislaman bagi para mualaf beretnis China. Dia menjelaskan, seorang mualaf diibaratkan sebagai bayi yang baru lahir. Dia suci dan tak mengetahui apa-apa mengenai tuntunan yang diwajibkan agama.

Baca Juga

Untuk itu, istilah belajar agama secara pelan-pelan pun mulai dikenalkannya. Dari Masjid Lautze, kata dia, para mualaf memiliki waktu khusus untuk mengkaji Islam dan memperbaiki akhlak. Dia pun menceritakan bagaimana mayoritas mualaf beretnis China umumnya tak diajarkan mengenai akhlak dan adab yang kekeluargaan di lingkup keluarga.

"Misalnya, kalau dulu sebelum masuk Islam, mereka kalau mau pergi dari rumah main pergi aja. Ngonclong gitu. Nah, di sini kita ajarkan bahwa memberi kabar terlebih dulu kepada orang rumah itu adalah akhlak yang baik, yang baik itu bersumber dari Islam," ujarnya.

Mualaf yang juga pendakwah, Ustaz Felix Siauw, membagikan kisah hidupnya bersama keluarga besarnya yang non-Muslim. Lewat channel Youtube-nya, pendakwah beretnis China ini menceritakan bagaimana kehidupan serta komunikasi dengan ayah, ibu, serta saudara-saudara kandung nya yang masih beragama non-Muslim. Meski berbeda keyakinan, hal itu tak serta-merta menjauhkan komunikasi dirinya terhadap keluarga.

Terbukti, Felix kerap berpergian dengan keluarga besarnya dan menjalankan komunikasi sebagaimana layaknya, namun tak menanggalkan agama yang ia yakini. "Kalau orang tuduh saya radikal, keras, justru orang harus belajar sama saya sepertinya. Ini saya makan, ngobrol, jalan-jalan sama keluarga saya yang non-Muslim. Toleransi itu bukan teori, tapi praktik," kata Ustaz Felix.

Meski begitu, untuk dirinya dan keluarga Muslimnya, dia meyakini bahwa tak layak mengucapkan selamat hari raya tertentu kepada orang dengan agama yang berbeda darinya. Namun, kepercayaan itu bukan berarti tak menghormati dan menghargai toleransi untuk hidup saling berdampingan.

Saat berjalan-jalan dengan keluarga non-Muslim itu, misalnya, dia beserta keluarga besarnya menyantap makanan mi China yang halal. Keluarga non-Muslimnya menghargai kepercayaan Ustaz Felix, sehingga memesan makanan yang halal saja. "Kalau jalannya sama saya (keluarga non-Muslim), mi-nya ini harus halal, nggak boleh ada babinya. Mi memang identik dengan China, orang China makannya mi lah kurang lebih begitu," ungkap dia.

Guru besar Sosiologi UIN Sunan Ampel, Habib Muhammad Baharun, mengatakan, menjalin komunikasi bagi mualaf etnis China kepada keluarga asalnya memang sangat dianjurkan. Bagaimana pun, Islam mengajarkan kebaikan yang di dalamnya adalah seruan untuk berkomunikasi dengan baik dengan keluarga. "Tapi, jangan sampai para mualaf itu kembali ke keyakinan lamanya. Kalau berkomunikasi, itu baik sekali," tambah dia.

sumber : Pusat Data Republika / Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement