Kamis 02 Jul 2020 04:55 WIB

Afrah Al Shaibani, Hakikat Kehidupan Membawa Jadi Mualaf

Perjalanan Afrah menjadi Muslimah membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti / Red: Ani Nursalikah
Afrah Al Shaibani, Hakikat Kehidupan Membawa Jadi Mualaf
Foto: republika
Afrah Al Shaibani, Hakikat Kehidupan Membawa Jadi Mualaf

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Afrah Alshaibani besar dalam keluarga konservatif Kristen. Setiap pekan, ia beserta keluarganya rutin ke gereja. Ia bahkan menjadi anggota paduan suara gereja. Boleh dibilang Afrah besar dalam lingkungan gereja.

Memasuki usia dewasa, di mana setiap individu mulai mempertanyakan hakikat kehidupan, Afrah pun mulai mempertanyakan apa yang ia yakini. Ia merasa doktrin gereja selalu benar, sehingga tidak ada yang perlu dipertanyakan.

Baca Juga

Yang aneh, dalam pandangan Afrah, seandainya doktrin itu benar mengapa agama yang dianutnya memiliki aliran yang berbeda-beda seperti Metodis, Lutheran atau Katolik. "Jadi, bagaimana kita tahu mana yang tepat?" tanya Afrah.

Dari pertanyaan itu, Afrah sebagaimana layaknya manusia berpikir mencoba mencari kebenaran hakiki. Beragam cara ia lakukan, termasuk mempelajari studi perbandingan dari berbagai gereja.

"Saya pun memutuskan percaya Alkitab dan bergabung dengan gereja yang mengikuti Alkitab. Saya juga menjadi anggota Gereja Kristus," ujarnya, dilansir di Muslim Library.

Satu tahun, Afrah menghabiskan waktu di Michigan Christian College, sebuah perguruan tinggi yang berafiliasi dengan Gereja-Gereja Kristus. Setelah itu, Afrah melanjutkan studinya ke Western Michigan University.

"Meskipun teman sekamar saya adalah orang Amerika, saya merasa dikelilingi oleh orang-orang aneh dari tempat-tempah aneh. Inilah pengalaman pertama saya dengan keragaman budaya. Hal itu, membuatku takut," cerita Afrah yang mengaku sempat berencana berpindah asrama.

Meski gagal menemukan teman sekamar yang ideal, akhirnya Afrah bertemu dengan komunitas Arab yang bertempat tinggal di dekat asrama. Mereka begitu menarik perhatian. Mereka orang-orang yang ramah sehingga mengobati kegugupan Afrah menghadapi perbedaan.

"Teman sekamar saya mulai berkencan dengan satu dari mereka, dan akhirnya kami menghabiskan sebagian besar waktu dengan orang Arab. Saya kira mereka adalah Muslim, meski terdapat nada keraguan. Kami tidak pernah membahas agama, kami hanya bersenang-senang," ujarnya.

Tahun terus berlalu. Persinggungan Afrah dengan komunitas Arab kian intensif. Hal itu yang membuatnya mulai absen menghadiri kebaktian gereja. Di dalam hatinya, ada perasaaan bersalah. Ia coba abaikan masalah itu. "Aku pun tetap bersenang-senang," katanya.

Pada liburan musim panas, Afrah memutuskan berlibur. Namun, ada satu kejutan datang sebelum ia pergi, teman sekamarnya masuk Islam. "Aku merasa takut saat itu. Mengapa ia tidak memberitahuku," kenang Afrah.

Merasa terkejut dengan kabar itu, Afrah memutuskan menulis surat kepada temannya itu. Dalam surat itu, Afrah mengatakan temannya telah menghancurkan dirinya sendiri tapi gereja masih memberikan kesempatan kepadanya untuk bertaubat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement