Rabu 01 Jul 2020 18:02 WIB

Setelah Dibawa ke Ruangan Besar

Kenapa semua orang terlihat bahagia ketika aku datang ya?

Setelah Dibawa ke Ruangan Besar
Foto:

Suatu ketika, ada dua laki-laki mendatangi rumah kami. Dari awal kedatangannya, mereka tak pernah tersenyum. Mereka tinggi besar. Dan berkumis tebal. Aku digendong ibu waktu itu. Lalu, mereka menyodorkan kertas putih.

"Begini Ibu Hermila, kalau Anda tidak dapat membayar cicilan atau meneruskan angsuran rumah ini. Mohon maaf, dengan terpaksa kami akan menyita rumah ini," kata laki-laki yang berkacamata hitam dan berjaket hitam.

"Baik Pak, baik Pak. Saya janji bulan depan akan saya lunasi," jawab ibu.

Ibu selalu tersenyum ketika mereka datang. Padahal, aku tahu, ibu sebenarnya sedih. Senyum bahagia ibu tak seperti itu.

Aku kenal betul senyum ibu ketika mendongeng dan juga bercerita tentang jadi apa nanti aku ketika dewasa. Sejak saat itulah, ibu selalu giat bekerja. Tak pernah sekalipun, ibu libur.

Aku bisa membaca semuanya dari mata perempuan paling baik sedunia itu. Seperti ada yang bersinar. Seperti bulan ada di mata ibu ketika ia bercerita tentang isi hatinya.

Walaupun sebenarnya aku sama sekali tak tahu maksud dari apa yang ibu katakan. Dan tak dapat memberikan nasi hat seperti yang biasa ibu berikan padaku. Tapi, aku sungguh-sungguh mendengar apa yang dikatakannya. Karena aku sayang ibu.

Tapi, entah kenapa ibu belum datang menjemputku sore ini. Ini tak seperti biasanya. Sementara itu, teman-temanku sudah dijemput keluarganya. Aku jadi takut. Walaupun, di sampingku ada Mbak Ratih yang sabar menemaniku.

"Ayo ikut Mbak Ratih, ibumu sudah menunggu di rumah. Ayo Mbak antar pulang," kata perempuan yang umurnya mungkin tak jauh dari ibu itu. Aku hanya mengangguk-angguk. Tapi, aneh sekali, biasanya ibu selalu menjemputku di tempat ini. Kenapa baru kali ini ibu menyuruh Mbak Ratih untuk mengantarku?

"Apa Mbak Ratih tahu rumahku di mana?"

Karena aku ingin segera bertemu ibu, aku ikut Mbak Ratih saja. Kami menaiki mobil yang besar dan sopirnya adalah seorang laki-laki yang tak kukenal. Aku mulai menangis sekeras-kerasnya karena perjalanannya lama sekali. Biasanya untuk menuju rumah tak selama ini.

Mbak Ratih berusaha menenangkanku dengan memberikan satu botol susu dan cokelat. Sesaat aku lupa dengan ibuku. Tapi, kemudian aku ingat lagi. Kulihat di luar gelap. Banyak lampu-lampu di pinggir jalan. Aku jadi takut.

Akhirnya, kukeluarkan teriakan terkerasku. Tapi, kali ini mereka terlihat tak memedulikanku lagi. Malah asyik mengobrol sendiri.

Wajah Mbak Ratih tak biasanya seperti ini. Kenapa di wajahnya banyak keringat?

Padahal udaranya dingin. Dan ia terlihat gugup. Padahal, biasanya Mbak Ratih orang yang ceria. Ah, aku sudah lelah menangis. Lebih baik aku tidur saja.

Aku kira, ketika kubuka mata sudah berada di rumah dan melihat ibu. Tapi, ini aku malah berada di ruangan yang luas. Rasanya, aku sudah tidur lama sekali. Hingga perutku lapar begini. Senjata andalan kukeluarkan. Aku menangis. Karena aku tahu setelah menangis pasti orang dewasa bakal memberi perhatian. Dan memberikan apa yang anak-anak minta. Orang dewasa aneh sekali.

Mbak Ratih dan laki-laki itu terlihat bertelepon dengan seseorang. Aku mendengar suara itu. Suara dari telepon itu adalah suara ibu. Tapi, kenapa ibu terdengar seperti menangis?

"Siapkan uang tebusan Rp 20 juta jika ingin anakmu kembali," kata laki-laki itu.

"Baik, baik akan kucarikan uang itu. Tapi, tolong jangan sakiti anakku," ujar ibu.

Aku bingung lagi dengan apa yang diucapkan orang dewasa. Kenapa ia meminta uang pada ibu seperti orang yang datang di rumah kami? Apa mereka berteman? Tapi, kenapa ibu bilang kalau aku tak boleh disakiti? Padahal mereka tak menyakitiku. Satu-satunya yang menyakitiku adalah ketika aku jauh dari ibu.

Entah berapa lama aku di sini. Berapa lama sudah aku tak bertemu ibu. Untung ada Mbak Ratih yang memberiku makan. Sementara, laki-laki itu kadang datang kadang pergi tak jelas. Ia tak pernah mengajakku bicara.

Aku tertidur lagi. Tiba-tiba, ada suara gaduh di depan pintu yang membuatku terbangun. Mbak Ratih dan laki-laki itu terlihat ketakutan. Di balik pintu itu apa ada monster besar yang sering memangsa anak-anak yang tidak mau makan sayur? Persis seperti yang sering ibu ceritakan.

Aku ikut takut. Aku menangis.

Tak lama berselang, pintu itu terbuka.Ada empat orang berseragam cokelat masuk. Aku tahu siapa mereka. Ibu sering juga menceritakan tentang mereka. Ibu pernah berkata kalau aku tersesat atau tak tahu mau ke mana, aku harus menghubungi Pak Polisi. Dan sekarang mereka ada di hadapanku.

Kata ibuku, Pak Polisi adalah orang-orang baik yang melindungi kita. Tapi, kenapa mereka malah membawa Mbak Ratih dan laki-laki itu? Apalagi, tangan mereka diikat. Mungkin bapak- bapak polisi itu ingin melindungi mereka.

Aku pun digendong oleh Pak Polisi. Ini pertama kali aku digendong oleh Pak Po lisi. Aku senang sekali. Bapak-bapak polisi ini membawaku ke kantor mereka. Tiba di sana, aku terkejut, ibu, kakek, dan nenek sudah ada di kantor polisi.

Tak lama berselang. Aku kembali ke rumah. Tak biasanya kakek dan nenek mengunjungi rumah kami. Ada juga saudara-saudara yang lain. Terlebih, banyak orang-orang yang tak kukenal.

Banyak orang membawa kamera hitam yang besar sekali. Hore, rumah kami jadi ramai. Aku senang sekali. Lalu, mereka memberikanku mainan dan makanan kesukaanku. Ada yang mencubit-cubit pipiku. Ada pula yang berebut menggendongku. Puluhan pasang mata tertuju padaku. Kenapa semua orang terlihat bahagia ketika aku datang ya?

Sejak saat itu, ibu tak pernah menitipkanku kepada Mbak Ratih atau tempat penitipan anak lainnya. Ibu selalu bersamaku di rumah. Hanya saja, ibu sering di hadapan laptopnya. Dan banyak baju-baju dan barang-barang di rumah kami. Aku senang tak lagi berpisah dengan ibu.

Kenapa tidak sejak dulu saja Mbak Ratih dan laki-laki itu membawaku ke ruangan besar itu, jika itu membuat ibu lebih banyak waktu denganku. Kini, pagi ataupun sore tak ada bedanya. Sepasang tangan lembut itu terus menggendongku ke mana pun. Aku sayang ibu.

TENTANG PENULIS: Wildan Pradistya Putra kelahiran Kediri, Jawa Timur, 27 tahun lalu merupakan guru Bahasa Indonesia Tazkia International Islamic Boarding School (IIBS) Malang. Ia merupakan seorang bapak yang telah dikaruniai satu anak. Ia sudah menjadi guru sejak enam tahun yang lalu. Aktif menulis cerpen dan puisi.Selain mengajar, ia juga aktif membina siswa dalam menulis tulisan fiksi.Beberapa siswa yang dibina berhasil menjuarai kompetisi menulis cerpen tingkat kota/kabupaten hingga nasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement