Rabu 01 Jul 2020 12:10 WIB

Senyummu Seperti Sebongkah Gula Batu

Kecantikan Laras tiada banding, hingga mata pria sulit berkedip wajah sukar berpaling

Laras Arunika, senyummu seperti sebongkah gula batu (cerpen)
Foto:

Hari berganti pekan, pekan bersalin bulan. Kini 30 hari terlewati sudah. Satu bulan kemudian, di hari Selasa, hari kelulusan tiba. Ijazah dibagi. Sebelum waktunya habis, Arjuna mencoba peruntungannya kembali.

Arjuna akan kembali melamar Laras. Arjuna berkeyakinan, jalan terbaik untuk mengakui seorang pria mencintai seorang perempuan adalah dengan mengajaknya hidup bersama dalam ikatan pernikahan.

Sembari menenteng ijazah, Arjuna sedikit berjalan cepat mendatangi Laras yang sedang berjalan menuju mobil Cadillac Escalade hitam yang menunggunya di pinggir jalan tak jauh dari gerbang sekolah. Tapi sebelum Arjuna kembali meminta Laras, perempuan dengan pipi berlesung itu memberikan selembar kertas bergaris. Ada goresan tinta hitam yang tersulam menjadi kalimat di atasnya. Arjuna membacanya dengan tanda tanya di kepala.

"Aku mau dilamar besok hari Rabu ba'da Ashar."

Laras masuk ke mobil yang kacanya berwarna hitam pekat. Di tempat duduk penumpang, seorang perempuan berkerudung panjang tersenyum menyambut Laras.

Arjuna memilih pulang ke rumah. Tak ada yang menyambutnya. Arjuna anak tunggal. Ibunya sedang menjaga toko. Sementara ayahnya yang seorang tentara tak pernah kembali ketika bertugas ke Jawa. Ibunya selalu merawikan, sejak ayah pamit bertugas, tak ada kabar yang datang hingga bertahun-tahun.

Ayahnya meninggalkan ibu dan Arjuna di rumah dinas Kota Kembang. Saat itu Arjuna baru satu bulan sekolah di kelas 1 madrasah. Enam bulan tak ada kabar, ibu Arjuna memutuskan angkat kaki dari rumah dinas dan memilih merantau ke Kediri, kota tempat ibu Arjuna pernah menjadi santri. Karena alasan itulah, Arjuna terlambat kembali masuk ke sekolah.

Surat Laras masih di dalam kantong saku celana jeans Arjuna. Arjuna berpikir, siapa yang berani mendahuluinya melamar Laras. Yang paling penting, mengapa Laras menerima pinangan itu.

Arjuna kini seperti menunggu hujan di musim kemarau, layaknya merindu bulan di tengah siang. Meski mustahil datang, ia tetap yakin hujan bisa turun ketika Tuhan berkehendak.

Birunya langit meluruh menuju Maghrib. Jingga tiba, purnama menyapa. Ibunya pulang. Setelah shalat dan makan, Arjuna memberikan kertas dari Laras yang langsung dibaca ibunya. "Bu, tolong lamarkan Laras untuk saya."

Ibu Arjuna tak memberi jawaban. Ibu Arjuna menyeruput teh manis hangat yang di atasnya ada beberapa bunga melati yang baru saja mekar.

"Ini surat dari Laras? Laras yang dulu pernah kamu ceritakan itu? Perempuan dengan jilbab panjang dan selalu menundukan pandangan ketika kalian berbicara?"

Arjuna mengangguk.

"Apa dia mau sama kamu, Le'? Apa dia mau menerima kamu yang hanya penjual pecel lele di pinggir jalan?"

"Yakin, Bu. Insya Allah. Juna mohon, besok pagi-pagi sebelum Dzuhur kita ke rumah Laras. Juna sudah tahu alamat rumahnya."

"Kan di surat ini dia bilang mau ada yang melamar. Apa kamu tak takut ditolak?"

"Makanya Bu, Juna mau meminang Laras sebelum dia dikhitbah laki-laki lain. Setidaknya Juna mau memastikan apakah lamaran Juna juga ditolak di hadapan orang tuanya."

Ibu memandang Juna. Menatap matanya, lalu berdiri sembari memeluknya. Ibu Arjuna lalu melepas cincin emas dari jari manisnya.

"Cincin ini warisan dari nenek ibu. Turun ke nenekmu, sebelum melingkar di jari manis ibu. Wasiatnya, cincin ini diturunkan ke anak perempuan. Tapi karena ibu tak punya anak perempuan, ibu wariskan ke menantu ibu dan tolong wariskan kembali jika kamu nanti punya anak perempuan. Ibu restui kamu. Malam ini, ibu pilihkan jilbab terbaik dari toko ibu sebagai buah tangan untuk kita bawa ke rumah Laras."

***

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement