Senin 29 Jun 2020 12:57 WIB

India Dinilai Secara Sistematis Gantikan Muslim Kashmir

Parlemen Pakistan tolak langkah India beri status domisili ke penduduk non-Kashmir.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Seorang anak lelaki Muslim Kashmir melarikan diri untuk keselamatan dengan mengangkat tangannya di lokasi konflik di daerah pusat kota Srinagar, Kashmir, India.
Foto: EPA-EFE/FAROOQ KHAN
Seorang anak lelaki Muslim Kashmir melarikan diri untuk keselamatan dengan mengangkat tangannya di lokasi konflik di daerah pusat kota Srinagar, Kashmir, India.

REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Komite khusus untuk Kashmir dalam parlemen Pakistan menolak langkah Pemerintah India untuk memberikan sertifikat domisili kepada ribuan penduduk non-Kashmir. Pihak Pakistan mendesak masyarakat internasional untuk menghentikan India dalam membuat perubahan demografis di wilayah mayoritas Muslim, Kashmir.

Lewat sebuah pernyataan, Ketua Komite Khusus Parlemen Paksitan untuk Kashmir, Shehryar Khan Afridi, mengecam keras Pemerintah India atas upayanya mengubah struktur demografis wilayah yang disengketakan. "Saya mengutuk keras upaya pemerintah Supremasi Hindutva Modi yang rasis untuk secara ilegal mengubah demografi Indian Occupied Jammu dan Kashmir (IOJK) di pelanggaran semua hukum & perjanjian internasional serta Konvensi Jenewa ke-4," ujar Afridi dikutip Anadolu Agency, Senin (29/6).

Baca Juga

"Langkah untuk memberikan domisili kepada non-Kashmir dimaksudkan untuk mengubah status demografis wilayah yang diduduki karena non-Kashmir akan membanjiri wilayah tersebut untuk mengurangi mayoritas Muslim," kata Afridi menambahkan.

Afridi menuduh Pemerintah India telah mengeksploitasi fokus internasional pada pandemi Covid-19 guna mendorong agenda Hindutva Supremacist. India, menurut Afridi, tak pernah menjadi negara demokrasi.

"Ini penjajah fasis menggunakan gagasan demokrasi. Ini tidak hanya sekarang membunuh dan memenjarakan Muslim Kashmir di rumah dan tanah mereka sendiri, tetapi juga memusnahkan genosida yang dilakukan melalui hukum dan tindakan ekonomi dan populasi," ujarnya.

Dia mengatakan bahwa seluruh populasi dihancurkan dan digantikan dengan mendatangkan orang luar dari ribuan mil jauhnya untuk menyebut mereka penduduk setempat yang sah. Afridi mendesak komunitas dunia untuk membantu dan mendukung Muslim yang tidak berdaya di sana.

"Kami tidak hidup pada abad pertengahan di mana tanah ditaklukkan dan orang-orang diperbudak. Namun, yang lebih buruk sedang dilakukan pada 2020 di Kashmir," kata dia.

Dia juga mendesak PBB dan para pemimpin dunia untuk menekan India menyetujui mandat penentuan nasib sendiri di Kashmir di bawah resolusi PBB. Pasalnya, India telah membawa masalah Kashmir ke PBB dan telah berjanji plebisit untuk memutuskan perselisihan.

Sebanyak 25 ribu orang telah diberikan sertifikat domisili di wilayah tersebut sejak New Delhi memperkenalkan undang-undang kontroversial pada Mei. Warga nonlokal yang memenuhi syarat dapat mengajukan permohonan sertifikat berdasarkan undang-undang baru.

Kashmir menjadi perselisihan oleh India dan Pakistan di beberapa bagian dan mengeklaim keduanya sepenuhnya. Sepotong wilayah kecil Kashmir juga beririsan dengan China.

Sejak mereka dipartisi pada tahun 1947, kedua negara telah berperang tiga kali, yakni pada tahun 1948, 1965, dan 1971. Dua dari perang tersebut terjadi di Kashmir.

Beberapa kelompok Kashmir di Jammu dan Kashmir telah berperang melawan pemerintahan India untuk kemerdekaan atau bahkan penyatuan dengan negara tetangga Pakistan. Menurut beberapa organisasi hak asasi manusia, ribuan orang dilaporkan tewas dalam konflik di wilayah tersebut sejak 1989.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement