Senin 29 Jun 2020 07:58 WIB

Menyikapi Skenario New Normal dari Pendekatan Sosial Budaya

Perubahan sosial merupakan respons dari masyarakat baik disadari maupun tidak.

Perilaku adapatasi di masa new normal.
Foto: Dok. Ist
Perilaku adapatasi di masa new normal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 yang tengah dihadapi oleh masyarakat dunia, memaksa manusia melakukan perubahan sosial untuk bisa “berdamai” dengan virus yang berbahaya ini. Perubahan sosial yang dimaksud adalah kebiasaan masyarakat yang kini selalu mengenakan masker saat berpergian, rajin mencuci tangan, dan menjaga jarak sosial. Perubahan sosial ini belakangan disebut dengan perilaku new normal.

Pada dasarnya, perubahan sosial merupakan respons dari masyarakat baik disadari maupun tidak sebagai upaya menyesuaikan diri (adaptasi) dengan kondisi yang terjadi disekelilingnya. Seperti yang dikemukakan Antropolog J.P Gillin dan J.L Gillin (1954), mereka berpendapat bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi sebagai suatu variasi dari cara hidup yang telah diterima karena adanya perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.

Perubahan menuju perilaku new normal pun tidak mudah diterapkan. Di beberapa kelompok masyarakat, tidak jarang ditemukan pelanggaran terhadap  protokol kesehatan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari baik disadari maupun tidak. Oleh sebab itu, salah satu strategi efektif yang dilakukan agar perubahan tersebut terinternalisasi dengan cepat di setiap individu masyarakat adalah dengan mekanisme revolusi.

 

The Leader

Untuk mewujudkan terjadinya perubahan perilaku new normal yang berlangsung dengan cepat (revolusi), secara sosiologis dibutuhkan peran pemimpin yang memiliki power and influence terhadap anggota masyarakatnya. Pemimpin tersebut bisa merupakan tokoh formal maupun informal.

Sejalan dengan hal tersebut, Marmawi Rais (2012) mengatakan bahwa Proses internalisasi lazim lebih cepat terwujud melalui keterlibatan peran-peran model (role-models). Individu mendapatkan seseorang yang dapat dihormati dan dijadikan panutan, sehingga dia dapat menerima serangkaian norma yang ditampilkan melalui keteladanan. Proses ini lazim dinamai sebagai identifikasi (identification), baik dalam psikologi maupun sosiologi. Sikap dan perilaku ini terwujud melalui pembelajaran  atau asimiliasi  yang  subsadar  (subconscious) dan nir-sadar (unconscious).

Seperti studi kasus yang dilakukan di PT Asuransi Kredit Indonesia atau Askrindo yang merupakan anggota Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perasuransian dan Penjaminan. Dalam menerapkan perubahan New Normal, Perusahaan menetapkan pemimpin-pemimpin di setiap unit kerja menjadi Covid Ranger. Tugas dari Covid Ranger adalah menegakkan peraturan protokol kesehatan yang berlaku dan memberikan contoh/teladan terus menerus kepada para pegawai di unit kerjanya.

"Sadar bahwa peran tokoh formal tidak dapat langsung diterima oleh pegawai karena memiliki “gap” secara struktur sosial di perusahaan, Askrindo juga merangkul tokoh-tokoh informal dikalangan pegawai yang juga memiliki pengaruh cukup besar terhadap pegawai lainnya dari peer group yang ada, seperti SPKA (Serikat Pekerja Karyawan Askrindo), pengurus pengajian Askrindo, maupun para millennials untuk ikut mengajak rekan-rekannya dan meyakinkan bahwa perubahan yang sedang diterapkan memang harus dilakukan untuk kebaikan bersama," papar Direktur Kepatuhan dan SDM Askrindo, Firman Berahima melalui keteramgan resminya di Jakarta, Senin (29/6).

 

Sanksi dan Kontrol Sosial

Ketika perubahan tersebut telah “confirm” dengan nilai dan norma yang ada dimasayarkat, guna memastikan nilai dan norma tersebut ditaati oleh setiap anggaota masyarakat maka perlu adanya mekanisme pengendalian sosial.

Berger (1978) mendefinisikan pengendalian sosial sebagai berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang membangkang. Selain itu, bentuk pengendalian sosial dapat berupa sanksi dan kontrol sosial.

Firman menambahkan, pengendalian berupa sanksi sosial terlihat melalui olokan, ejakan, sindirian atau bahkan pengucilan terhadap anggota masyarakat yang melanggar. Seperti yang dilakukan oleh pegawai Askrindo terhadap pegawai lain ketika berbicara dengan jarak yang cukup dekat.

"Pegawai tersebut langsung mengambil jarak yang lebih jauh dengan lawan bicara sebagai sebuah bentuk sindiran yang halus. Atau contoh lain ketika pegawai yang baru datang ke kantor namun tidak mengenakan masker, maka muncul ejekan “bawa virus” (membawa virus) sehingga pegawai yang diejek tersebut segera mengenakan masker," ujar dia.

Berbeda dengan sanksi sosial, pengendalian berupa kontrol sosial lebih eksplisit dan tegas. Seperti mengingatkan, teguran, bahkan sampai menjatuhkan hukuman. Kontrol sosial ini biasanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang memiliki kekuasaan dan pengaruh atas anggota masyarakat lain. Seperti yang dilakukan oleh Covid Ranger Askrindo dengan menegur dan mengingatkan setiap pegawai yang melanggar protokol kesehatan di unit kerjanya.

 

Pendekatan sosial budaya cenderung efektif

Melalui pendekatan yang mempertimbangan kondisi sosial dan budaya yang unik di tiap kelompok masyarakat, perubahan akan dapat diterima dan lebih cepat terjadi. Hal ini terkait dengan bagaimana merubah cara berfikir tiap individu dengan memasukkan pengetahuan (kwowing) dan keterampilan melakukan (doing) ke dalam pribadi seseorang (Tafsir, 2010).

"Askrindo berupaya merubah cara berpikir tiap pegawainya dan mewujudkan terjadinya perubahan di dalam perusahaan melalui interaksi sosial yang efektif. Tidak hanya membuat peraturan terkait kenormalan baru atau menempelkan poster protokol kesehatan, keberadaan Covid Ranger dan merangkul tokoh informal perusahaan yang dijadikan contoh/teladan justru lebih efektif menggiring pegawai kepada perubahan perilaku new normal," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement