Senin 29 Jun 2020 04:56 WIB

Turki-Mesir Diambang Perang

Sisi mengancam mengintervensi langsung militer Mesir di Libia.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Mesir-Turki tampaknya sudah di ambang perang. Kedua negara beberapa kali saling mengejek, mengancam, dan menggertak. Mereka memang belum berhadapan langsung di lapangan. Namun, secara tidak langsung, mereka sudah saling berhadapan di Libia, melalui dua kelompok lokal yang saling berebut kekuasaan, pasca-ambruknya rezim Muammar Gaddafi. 

Dua kelompok lokal itu, pertama, Tentara Nasional Libia (LNA/al Jaysh al Wathany al Libi) pimpinan pensiunan jenderal Khalifa Haftar, berbasis di Tobruk, Libia bagian timur. Mereka didukung penuh Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Rusia. LNA memiliki kekuatan di wilayah Libia bagian timur. Setahun lalu, mereka berhasil menguasai beberapa wilayah barat Libia, termasuk bandar udara internasional di ibukota Tripoli.

Kedua, Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA/Hukumah al Wifaq al Wathany) yang dipimpin Perdana Menteri Fayes Sarraj, bermarkas di Tripoli. Dengan dukungan penuh militer Turki, dalam beberapa pekan ini GNA telah berhasil merebut kembali beberapa wilayah barat dan sejumlah pangkalan militer pasukan Haftar, yang utama adalah pangkalan militer al Wattia, Kota Tarhuna, bandara internasional Tripoli, dan Bogrin (timur Kota Misrata).

Dalam serangan yang dimulai sejak akhir Maret lalu itu, mereka juga berhasil menghancurkan empat helikopter serang, dua pesawat drone, sejumlah tank, artileri, kendaraan lapis baja, dan senjata berat lainnya. Mereka juga mengancam untuk terus menyerang pasukan Haftar yang masih bertahan di pangkalan militer di al Wattia. Kini mereka bersiap untuk memasuki Kota Sirte, Libia bagian tengah.

Hal inilah yang tampaknya membuat jengkel bin marah Presiden Mesir  Abdul Fattah Sisi. “Sirte dan al Jufra adalah garis merah bagi Mesir,” tegas Sisi ketika mengunjungi unit tempur angkatan udara di wilayah barat Mesir yang berbatasan dengan Libia pada Sabtu (20/06) pekan lalu.

Ia pun mengancam mengintervensi langsung militer Mesir di Libia. Menurutnya, intervensi itu memiliki legitimasi internasional. Yaitu: untuk mempertahankan diri atau atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Yang terakhir ini, katanya, satu-satunya otoritas terpilih yang sah di Libia. Tentu yang dimaksud adalah DPR yang bermarkas di Tobruk yang mendukung Jenderal Haftar.

Ia juga mengisyaratkan pasukan negaranya dapat melakukan tindakan militer di luar negeri bila diperlukan. “Bersiaplah untuk melakukan misi apa pun di sini di dalam perbatasan kita atau jika perlu di luar sana,” kata Sisi kepada tentara Mesir.

Lalu apa pentingnya Sirte dan al Jufra sehingga dikatakan Presiden Sisi sebagai garis merah bagi Mesir?

Sirte berjarak sekitar 1.000 kilometer dari perbatasan Mesir. Posisinya berada di tengah antara ibukota Tripoli dan Benghazi di pantai Libia yang menghadap Laut Mediterania. Karena itu, penguasa Sirte akan dengan mudah mengontrol pelabuhan minyak di wilayah bulan sabit sumur minyak di timur Libia, yang mengandung cadangan minyak terbesar di Libia.

Di sisi lain, di selatan Sirte terletak pangkalan udara penting al Jafra, yang berjarak hanya 300 kilometer. Pangkalan al-Jafra merupakan salah satu pangkalan udara Libia terbesar, dengan infrastruktur yang kuat, yang selalu dimodernisasi sehingga bisa mengakomodasi senjata terbaru. Pangkalan ini adalah ruang operasi utama bagi pasukan Jenderal Haftar.

Posisi al-Jafra juga penting, lantaran terletak di bagian tengah Libia, sekitar 650 kilometer tenggara Tripoli. Ia merupakan poros penghubung antara timur, barat dan selatan. Karena itu, siapa yang mengendalikan pangkalan al-Jafra, ia akan bisa menguasai setengah dari Libia.

Menurut Dr Gabriel al Obaidi, penulis dan akademisi Libia, siapa pun yang mengendalikan Sirte dan al Jufra akan memiliki tujuan berikut, yaitu menguasai timur Libia. Hal ini tentu bisa mengancam keamanan Mesir di perbatasan baratnya, yang membentang sekitar 1200 kilometer.

Sedangkan Munir Adib, pakar gerakan ekstremis dan terorisme internasional, mengatakan al-Jufra adalah wilayah terdekat di Libia Selatan dengan Mesir, sehingga kehadiran milisi ekstremis di sana bisa membuat ancaman nyata bagi keamanan Mesir.

Sejumlah pihak menyebut, pernyataan keras Presiden Mesir sebagai menabuh genderang perang. Berbagai media dan lembaga pertahanan internasional pun memberi ulasan. Mereka sepakat ancaman Presiden Sisi sebenarnya ditujukan kepada Turki, tepatnya Presiden Recep Tayyib Erdogan, meskipun ia tidak menyebut nama orang atau negara tertentu. Berkat dukungan langsung militer Turki, pasukan Pemerintah Kesepakatan Nasional Libia kini memang sedang ‘di atas angin’.

Beberapa pihak lalu membandingkan kekuatan militer Turki yang berada di peringkat 9 dan Mesir di peringkat 11 dalam peta kekuatan militer di dunia. Bila benar-benar terjadi perang, lalu siapa yang menang? Kemudian apakah kedua negara itu akan perang total atau perang kecil-kecilan melalui kelompok-kelompok di Libia? Bagaimana akibatnya bagi kawasan Timur Tengah dan dunia internasional? Lalu negara-negara mana saja yang akan menjadi sekutu kedua belah pihak?

Dalam tulisan ini saya tidak ingin ikut meramaikan kemungkinan perang antara Mesir dan Turki. Saya lebih menyoroti mengenai penyebab perseteruan antara Mesir dan Turki yang kemudian berkembang ke saling ancam di medan perang di Libia.

Perseteruan Turki dengan Mesir, atau tepatnya Presiden Erdogan dengan Presiden Sisi, sebetulnya bermula dari masalah politik. Erdogan, yang merupakan pendukung Ikhwanul Muslimin (IM), mengecam keras pengambilalihan kekuasaan oleh Jenderal Sisi dari Presiden Muhammad Morsi pada 2013. Hingga sekarang, Erdogan menyebutnya sebagai kudeta militer terhadap pemerintahan yang sah dan terpilih secara demokratis. Morsi adalah presiden dari IM.

Di lain pihak, Presiden Sisi menyebut pengambilalihan kekuasaan itu justru untuk menyelamatkan bangsa Mesir dari perang saudara. Ia kemudian membubarkan IM dan menganggap mereka sebagai kelompok teroris terlarang. Mesir juga menuduh Turki Erdogani sebagai pelindung para tokoh teroris IM.

Perseteruan politik Turki-Mesir ini terus berlanjut ke perang saudara yang kini berlangsung di Libia. Turki Erdogani mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional atau GNA di Tripoli. Sementara itu, Mesir mendukung Tentara Nasional Libia alias LNA yang bermarkas di Tobruk.

Mesir menuduh GNA sebagai teroris yang didukung oleh teroris. Tuduhan ini merujuk pada GNA dan Turki Erdogani yang berhaluan IM yang dianggap teroris oleh Mesir. Sebaliknya, Turki menuduh LNA sebagai kelompok kudeta yang didukung pemerintah hasil kudeta.

Perseteruan Mesir-Turki di Libia juga melibatkan negara pendukung masing-masing. Bersama Mesir ada Saudi, UEA, dan Rusia. Sedangkan Turki didukung oleh Qatar. Masing-masing pihak menuduh lawannya sebagai intervensi asing di Libia yang melibatkan para tentara bayaran.

Sebenarnya pemerintah Libia yang diakui PBB adalah GNA di Tripoli. Namun, pengakuan internasional itu menjadi tidak berarti di tengah konflik, perseteruan, dan kepentingan politik. Kini dua kelompok yang bertikai di Libia — beserta negara-negara lain pendukungnya — masing-masing mengklaim sebagai pihak yang sah dan menganggap lainnya kelompok ilegal.

Kita tentu prihatin dengan perkembangan yang sedang berlangsung di Libia. Lebih prihatin lagi dengan perseteruan yang berkembang menjadi konflik terbuka antara Turki dan Mesir. Bagi kita, Turki dan Mesir adalah dua negara Islam (berpenduduk mayoritas Muslim) yang perannya sangat penting dalam kemajuan Islam dan umat Islam. Perseteruan kedua negara -- beserta negara sekutu masing-masing -- bisa dipastikan justru akan memperlemah kerja sama dan persatuan umat dan negara-negara Islam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement