Ahad 28 Jun 2020 17:15 WIB

Studi: Timur Tengah-Afrika Utara Wilayah Paling tak Damai

Studi menyebutkan wilayah paling tak damai ada di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Rep: Puti Almas/ Red: Muhammad Hafil
Studi: Timur Tengah-Afrika Utara Wilayah Paling tak Damai. Foto ilustrasi: Pasukan bersenjata di kawasan konflik Suriah
Foto: Youtube
Studi: Timur Tengah-Afrika Utara Wilayah Paling tak Damai. Foto ilustrasi: Pasukan bersenjata di kawasan konflik Suriah

REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI — Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) berada dalam daftar wilayah paling tidak damai di dunia selama enam tahun terakhir. Hal ini diketahui berdasarkan studi yang dilakukan oleh sebuah organisasi di Australia bernama Institute of Economics and Peace (IEP).

Selain itu, menurut Global Peace Index (GPI) edit 2020, lima dari 10 negara paling tidak damai di dunia Salah Sudan, Libya, Suriah, Irak, dan Yaman. Seluruh negara itu berlokasi di MENA.

Baca Juga

Dilansir Arab News, IEP beberapa waktu lalu merilis studi yang melacak dan memberi peringkat status perdamaian di 163 negara bagian dan teritori independen di seluruh dunia. Ini juga mencatat di mana konflik meningkat dan turun, serta faktor-faktor mana yang mempengaruhi perubahan.

Dalam laporan studi, Suriah menadi negara paling tidak damai di Timur Tengah dan Afrika Utara dan secara keseluruhan. Sementara, Irak menempati posisi kedua setelah Suriah dan secara keseluruhan berada di urutan ketiga.

Arab Saudi juga tercatat berada di posisi 125. Selain itu, ada Bahrain yang mengalami peningkatan dalam posisi negara paling tidak damai di MENA, dengan lonjakan 4,8 persen. Hanya tiga negara di kawasan tersebut, yaitu Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, dan Qatar yang masuk dalam daftar 50 negara paling damai di dunia. 

Secara global, Eropa tetap menjadi wilayah paling damai, dengan Islandia mengambil posisi teratas sebagai negara paling damai di dunia. Namun, laporan itu juga menyebutkan bahwa hampir setengah dari negara-negara di Eropa telah mengalami penurunan dalam status ini sejak 2008.

GPI mengukur peringkat damai dan tak damai di suatu wilayah negara atau kawasan tidak hanya dengan adanya perang. Namun, barometer mencakup adanya kekerasan atau ketakutan, serta keselamatan dan keamanan, hingga termasuk konflik yang terjadi dan militerisasi.

Laporan dalam studi IEP mencatat penurunan keselamatan dan keamanan, karena kemungkinan yang lebih kuat dari demonstrasi kekerasan dan peningkatan ketidakstabilan politik. Sebagai contoh, demonstrasi kekerasan yang terus menjadi perhatian di Irak, yang memiliki skor maksimum pada indikator.

“Sejak protes meletus di seluruh wilaya negara pada Oktober 2019, Irak telah memiliki lebih dari 700 kematian dan ribuan luka-luka parah sebagai akibat dari bentrokan antara demonstran anti-pemerintah dan pasukan keamanan," tulis laporan itu.

Selanjutnya ada Iran yang mengalami kondisi memburuk dalam indikator GPI secara khusus dalam hal keselamatan dan keamanan. Sementara kerusakan dalam kedamaian global tidak terbatas pada satu wilayah, indikator atau negara, konflik di Timur Tengah telah menjadi pendorong utama berkurangnya perdamaian di dunia.

"Dari 23 indikator di wilayah MENA, 19 di bawah rata-rata. Empat dari konflik utama tahun-tahun terakhir terletak di kawasan . Libya, Suriah, Irak dan Yaman,”  jelas Serge Stroobants, direktur operasi untuk Eropa dan Timur Tengah-Afrika Utara di IEP.

Meski konflik bersenjata dan ketidakstabilan yang sedang berlangsung di Timur Tengah-Afrika Utara, terdapat perbaikan di beberapa wilayah, termasuk jumlah kematian akibat konflik internal, intensitas konflik internal, dan impor dan ekspor senjata. Arab Saudi telah melonjak lima titik dalam indeks sejak 2008, dengan faktor keselamatan dan keamanan internal sebagai satu-satunya domain indikator yang menurun pada tahun lalu.

"Ini sebagian besar terkait dengan jumlah pengungsi, pengungsi internal di wilayah tersebut, dan beberapa tingkat teror politik. Satu-satunya indikator lain yang menurun tahun lalu adalah jumlah pertempuran konflik eksternal dan internal, jadi kami melihat munculnya konflik internal dan ini terkait dengan semacam gerakan pada skala teror politik yang menciptakan pengungsi di Arab Saudi,” jelas Stroobants.

Suriah, juga mencatat sedikit peningkatan dengan perang saudara dan kekacauan yang terus berkurang intensif. Kesepakatan gencatan senjata antara pasukan pemerintah dan oposisi pada Maret lalu dilaporkan membuat sekitar 35.000 warga sipil yang terlantar dapat kembali ke rumah merken di Idlib.

Laporan studi terbaru juga menyebutkan krisis yang dipicu oleh pandemi virus corona jenis baru (COVID-19)  berperan penting dalam menyebabkan ketidakstabilan global. Salah satu dampak dari wabah ini adalah membuat pembangunan sosial ekonomi selama bertahun-tahun terhambat, memperburuk krisis kemanusiaan, serta konflik.

Dalam pandangan Karasik, pandemi adalah pendorong paling penting dari ketidakstabilan karena pengaruhnya terhadap interaksi, perdagangan, dan politik. Theodore Karasik, dari Gulf State Analytics di Ibu Kota Washington, Amerika Serikat (AS) juga mengatakan pandemi yang dikombinasikan dengan masalah regional lainnya, menjadi perjuangan antara metode dan pendekatan.

“Di Timur Tengah, pemodelannya kira-kira sama dalam hal aturan pembatasan (lockdown), pengujian dan perawatan. Temuan GPI mungkin menunjukkan gambaran yang sangat berbeda tahun depan karena wilayah ini terus berjuang melawan virus dan dampaknya yang bertahan lama,” ungkap Karasik.

 

Sumber:

https://www.arabnews.com/node/1696391/middle-east

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement