Ahad 28 Jun 2020 07:04 WIB

Usai Pemberontaan PKI Madiun, Amir Ditangkap

Seuasi pemberontakan PKI ditangkap di desa Klambu menyamar sebagai pedagang

Massa PKI ditangkap di Madiun 1948.
Foto: kitlv.nl
Massa PKI ditangkap di Madiun 1948.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyanto Oemar, Jurnalis Republika

Pada 3 Juli 1947 Amir Sjarifoeddin Harahap diangkat menjadi perdana menteri menggantikan Sutan Sjahrir. Pada 9 Juni 1947 sosok Amir masuk catatan dokumen Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service (NEFIS) sebagai sosok mempunyai pengaruh besar dan tak kenal takut.

Pernah ditangkap Jepang pada masa pendudukan Jepang, ia dieksekusi mati karena pemberontakan PKI pada 1948. Di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Amir juga pernah ditangkap yang kemudian memunculkan gelombang kritik kepada MH Thamrin karena melakukan pembiaran. Thamrin dianggap tak melakukan hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin. Saat itu Thamrin menjadi pimpinan Gabungan Politik Indonesia (Gapi). Gerindo yang dipimpin Amir masuk menjadi anggota Gapi, dan Amir menjadi pengurus Gapi.

Pada 1940 itu Amir ditangkap dua kali. Pertama pada 10 Juni, dilepas, kemudian ditangkap lagi pada 20 Juni. AK Gani wakil ketua Gerindo menulis mendapat informasi pada 14.30 tentang penangkapan Amir yang dilakukan pada 10.30. Pukul 18.00 adik pertama Amir bertemu AK Gani di kantor Gerindo untuk meminta bantuan kepada Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon, kerabat Amir yang menjadi anggota Volksraad.

Adik kedua Amir pada 21 Juni pagi mendatangi Thamrin, dan Thamrin berjanji akan memberi tahu kemudian. Namun hingga pukul 17.00 belum ada kabar juga dari Thamrin, sehingga adik pertama Amir pergi ke rumah Thamrin, tapi mendapat jawaban Thamrin sedang pergi ke Bandung.

Thamrin menyebut Jumat siang ia harus pergi ke Bandung untuk urusan radio, sehingga dia meminta Soangkoepon, mengurus Amir. Namun Soangkoepon mengaku sebelum Thamrin meminta kepadanya, ia sudah bergerak terlebih dulu karena sudah diminta bantuan oleh adik Amir.

Pada 21 Juni sore, dari rumah Thamrin adik Amir berbegas menemui Soangkoepon untuk mendapatkan informasi terbaru tentang Amir. Pada 23 Juni malam, Abikusno yang juga menjadi pimpinan Gapi dan baru pulang dari luar kota, menemui adik pertama Amir. Upaya-upaya mereka lakukan hingga pada 27 Juni Amir dibebaskan. (Pemandangan edisi 28 Juni 1940, 13 Juli 1940, 19 Juli 1940, 25 Juli 1940, 26 Juli 1940).

Tentang penangkapannya pada 1948, berhari-hari Amir (pendiri Parsi, Partai Sosialis Indonesia) menjadi buron tentara Indonesia. Akhirnya ia ditangkap di Klambu, Purwodadi-Grobogan, Jawa Tengah, pada Senin malam, 29 November 1948. Antara melaporkan, Amir dan pengikutnya disergap di lereng gunung. Moeso, pimpinan PKI, sudah terlebih dulu tertembak mati dalam pelariannya di Ponorogo pada 23 Oktober.

Pada Ahad 28 November 1948 ditangkap mendahului Amir, mereka yang membuka jalan pelarian Amir. Ada Djokosoejono (gubernur militer Madiun ketika Madiun dikuasai Partai Komunis Indonesia), Maroeto Daroesman (PKI), Sajogo (menteri negara semasa Kabinet Amir Sjarifoeddin), dan empat orangnya lainnya. Mereka ditangkap di Penawangan –sebelah barat Purwodadi-- ketika hendak menyeberang jalan menuju Telawah. Dari Klambu, Amir akan menggunakan rute ini untuk mencapai kota Solo.

Pemberontakan PKI di Madiun pecah setelah Kabinet Amir tak mendapat dukungan begitu Perjanjian Renville ditandatangani 18 Desember 1947. Kecewa pada Perjanjian Renville, Amir memilih menjadi oposisi. Kabinet Amir digantikan oleh Kabinet Hatta pada 29 Januari 1948.

Pemberontakan Madiun terjadi pada 18 September 1948. PKI berencana menguasai Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu-Blora, Purwodadi-Grobogan, Solo, dan Wonosobo. Setelah pemberontakan pecah tentara berkejaran dengan PKI dalam menguasai wilayah. Bojonegoro menjadi wilayah yang terancam. Pasukan komunis dari Madiun bergerak ke Bojonegoro. Cepu yang berdekatan dengan Bojonegoro, yang menjadi ladang minyak, dijaga tentara. Dua hari bertempur pada 5-6 Oktober, Cepu bisa dikuasai TNI. Komunis bergerak terus ke barat.

Di Bojonegoro ada 100 komunis yang ditangkap dan terbunuh. Di Randublatung ada 300-an komunis yang ditangkap dan terbunuh. Keluar masuk hutan, dari Randublatung pasukan komunis terus bergerak ke barat atas perintah Amir per tanggal 15 November, hingga tiba di Segorogunung, Pegunungan Kendeng, di selatan Desa Sulur, di wilayah timur Purwodadi-Grobogan.

Di Sulur ini ada 2.000 tentara rakyat dan enam kompi tentara Indonesia yang sudah membelot ke komunis. Amir bersama Soeripno, Maroeto Daroesman, Soenarto, berlindung di Sulur. Mereka cukup uang dan memiliki simpanan 50 kg emas, tapi tak punya makanan.

Ketika mereka bergerak ke barat lagi dan mencapai Purwodadi, nasib sial menunggu mereka. Ada 1.200 komunis yang tertangkap dan menyerahkan diri. Di antaranya Djokosoejono dan Maroeto Daroesman yang ditangkap di Penawangan, sebelah barat Purwodadi dan sebelah selatan Klambu, ketika hendak menyeberang jalan setelah menyusuri rawa di sisi Kali Lusi. Di antara mereka ada pula 14 perempuan usia 17-22 tahun yang merupakan siswa dari Madiun, Kediri, dan Surabaya. Sembilan perempuan lagi masih bergabung dengan Amir.

Sebelum penangkapan pada 28 November, pada 24 November terjadi pertempuran di Klambu bagian barat yang berbatasan dengan Demak menuju ke Semarang. Amir masih di Klambu ketika Djokosoejono tertangkap. Di Klambu, Amir dan Soeripno disergap tentara di wilayah rawa pinggir Kali Lusi. Het Dagblad edisi 2 Desember 1948 juga mengutip Antara menyebutkan Amir dan pengikutnya berusaha mencari jalan melalui rawa-rawa dan ladang alang-alang sebelum disergap tentara. De Locomotief edisi 2 Desember 1948 mengutip Antara melaporkan mereka kemudian melarikan diri. Amir tanpa alas kaki dan mengenakan piyama dan sarung, dengan rambut acak-acakan. Ia membawa pistol.

“Dia menyamar sebagai pedagang yang hendak pulang ke Solo atau Yogyakarta,” tulis De Heerenveensche Koerier edisi 2 Desember 1948, mengutip Antara. Amir kakinya pincang, badannya kurus dan sudah lima hari terkena disentri. Soeripno juga kena disentri.

Sebelum dibawa ke Yogyakarta, dari Klambu Amir dibawa ke Kudus. Amir dibawa ke Yogya dengan kereta api, masyarakat berjejal menunggunya di Stasiun Tugu. Selama perjalanan, Amir menghabiskan waktu dengan membaca novel karya Shakespeare.

Mungkinkah MH Thamrin tahu masa depan, bahwa setelah Indonesia merdeka Amir akan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah? Sehingga ia tak mau menolongnya saat Amir ditangkap Belanda pada 1940 itu?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement