Sabtu 27 Jun 2020 16:33 WIB

Jepang Incar Alutsista Baru Untuk Serang Pangkalan Rudal Korut dan Cina

Usulannya tersebut diarahkan kepada meningkatnya ancaman dari Korea Utara dan Cina.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
picture-alliance/newscom
picture-alliance/newscom

Pengadaan sistem pertahanan antirudal oleh Jepang ikut memicu perdebatan seputar asas Pasifisme yang menjadi dasar konstitusi negara. Kisruh ini dipicu keputusan Dewan Keamanan Nasional membatalkan pembelian sistem pertahanan rudal Aegis Ashore buatan Amerika Serikat.

Akibatnya pemerintah mengumumkan bakal mencari sistem pengganti yang tidak hanya menangkis rudal di udara, tapi juga mampu menghancurkan instalasi peluncur milik musuh. Kemampuan melakukan "serangan preventif" inilah yang dikritik karena bisa mengubah prinsip dasar nonagresi milik militer Jepang.

Adalah Menteri Pertahanan Taro Kono yang pertamakali memicu diskusi dengan usulannya memperkuat sistem pertahanan udara, dengan kemampuan menyerang basis militer musuh. Usulannya tersebut diarahkan kepada meningkatnya ancaman dari Korea Utara dan Cina.

"Saya kira kami tidak ingin mengecualikan opsi apapun sebelum dibahas," kata dia ketika ditanya apakah akan mengagendakan sistem pertahanan baru itu dalam rapat Dewan Keamanan Nasional selanjutnya.

Sejak awal pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe berusaha memperkuat militer Jepang untuk menangkal ancaman Cina dan Korut. Terkait perdebatan soal sistem rudal terbaru, parlemen di Tokyo pada 2018 silam sudah memutuskan bahwa menyerang basis rudal musuh tidak bertentangan dengan prinsip nonagresi karena digolongkan sebagai aksi bela diri.

Keputusan tersebut pula yang dijadikan landasan hukum pemerintah untuk membeli peluru kendali berdaya jelajah 1.000km yang bisa mencapai Korea Utara dari perairan Jepang. Pakar keamanan sendiri meragukan keampuhan sistem tersebut, karena membutuhkan panduan satelit untuk bisa membidik peluncur rudal yang mampu berpindah lokasi secara cepat. Jepang tidak memiliki satelit semacam itu.

Pasifisme menyusut oleh ancaman keamanan

Kono mengakui Jepang harus mendefinisikan dengan gamblang arti istilah "serangan preventif" sebelum memutuskan pembelian sistem pengganti. Alternatif selain sistem Aegis Ashore yang diusulkan adalah menambah pesawat pendeteksi dini di udara atau wahana nirawak serupa drone.

Sistem pertahanan Aegis dikembangkan oleh Militer AS untuk menghadang rudal balistik jarak dekat dan menengah. Selain berbasis di darat seperti Aegis Ashore, sistem ini juga bisa dipasang pada kapal perang sebagai garis pertahanan terdepan. Jepang sudah memiliki tiga kapal perang yang dilengkapi radar Aegis. Namun mengoperasikan ketiganya membutuhkan kapal-kapal pendamping dan ratusan awak.

"Kami tidak bisa melanjutkan proyek (Aegis Ashore), tapi tetap saja ancaman dari Korea Utara tidak berkurang," kata Kono dalam sebuah jumpa pers, Kamis (25/6). Pengadaan Aegis Ashore selama ini terganjal lokasi dan biaya yang membengkak. Diperkirakan ongkos mengoperasikan sistem ini selama 30 tahun bisa mencapai 1,4 miliar Dollar AS.

Ancaman Korut dan Cina yang semakin agresif dalam beberapa tahun terakhir memaksa Jepang mengkaji ulang prinsip Pasifisme dalam konstitusi. Menurut sebuah jajak pendapat April 2019 silam, sebanyak 49% warga Jepang meyakini pasal 9 yang melarang agresi militer harus diubah.

"Cina berusaha mengubah status quo secara sepihak di Laut Cina Timur, Laut Cina Selatan, juga di perbatasan dengan India dan Hong Kong," kata dia. Menurutnya armada pasukan penjaga pantai Cina berulangkali memasuki perairan Jepang. Baru-baru ini sebuah kapal selam Cina dideteksi melaut di sekitar pesisir selatan Jepang.

rzn/ (rtr,ap)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement