Jumat 26 Jun 2020 17:12 WIB

Ambisi Israel Dekatkan Islam-Yahudi Lewat Ribuan Manuskrip?

Israel berambisi mendekatkan Islam dan Yahudi lewat ribuan manuskrip kuno.

Rep: Mabruroh/ Red: Nashih Nashrullah
Ambisi Israel Dekatkan Islam-Yahudi Lewat Ribuan Manuskrip?  Ilusrasi manuskrip kuno.
Foto: dokrep
Ambisi Israel Dekatkan Islam-Yahudi Lewat Ribuan Manuskrip? Ilusrasi manuskrip kuno.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Perpustakaan Nasional Israel (NLI) di kampus Givat Ram di Hebrew University of Hebrew University memiliki naskah-naskah langka dari dunia Islam. Naskah-naskah yang tidak ternilai itu dalam kondisi yang sangat rapuh dalam bentuk aslinya.

NLI akan mendigitalisasi 2.500 buku dan manuskrip Islam langka tersebut dalam waktu tiga tahun, dan akan digratiskan sebagai bagian dari program penjangkauan untuk membangun jembatan baru budaya timur tengah. Naskah-naskah kuno tersebut, banyak berasal dari abad ke-9.  

Baca Juga

Kurator Koleksi Islam dan Timur Tengah di NLI, Dr  Raquel Ukeles, mengatakan digitalisasi merupakan inisiatif program pembaruan perpustakaan yang sebelumnya tertutup akan menjadi perpustakaan nasional yang terbuka, sepertihalnya perpustakaan nasional dunia.  

"Kami ingin berbagi koleksi kami dengan komunitas global dan dapat diakses dengan gratis dan mudah," ujar Ukeles dilansir dari Arab News pada Jumat (26/6).

Ukeles menegaskan bahwa naskah-naskah tersebut adalah murni koleksi NLI dan untuk mengaksesnya dibutuhkan motif khusus. 

"Kami memiliki koleksi Islam kelas dunia dan bagi saya, ini tidak aneh karena Perpustakaan Nasional kami di Yerusalem berada di tempat lahirnya tradisi monoteistik besar, termasuk Islam," terangnya.  

Ukeles berujar, bahwa hari ini di Israel ada satu juta setengah warga negara Muslim. Mereka pun berhak atas perpustakaan tersebut.  

"Kita berada di Timur Tengah dan karenanya sangat wajar bagi kita untuk fokus berinvestasi dalam hal ini, untuk menciptakan ruang bagi budaya Muslim di Israel dan dalam kehidupan intelektual yang lebih luas, apakah itu di Timur Tengah atau di dunia, untuk memungkinkan pemahaman yang lebih besar," terangnya.  

Proyek digitalisasi tersebut sambungnya, didanai Arcadia, sebuah lembaga amal dari Inggris. Arcadia membantu melestarikan kembali warisan budaya dengan memberikan dana lebih dari 678 dolar AS untuk proyek  di seluruh dunia sejak 2002. Tujuan utama Arcadia adalah untuk membuka akses informasi.  

"Dengan menyajikan bahan-bahan yang tersedia secara bebas, perpustakaan dapat memainkan peran penting dalam mengatasi rasa takut, perpecahan, dan narasi panjang yang disederhanakan," ujar Penasihat Utama Dewan Arcadia, Anthea Case.  

Menurut Ukeles, pengerjaan proyek tersebut memamg sangat mendesak, karena orang tidak tahu tentang Islam, tentang budaya Palestina dan budaya Arab secara umum yang memiliki dampak nyata pada politik. "Saya melihat perpustakaan memiliki peran itu, dan semua institusi yang merupakan pengembang dan pelindung budaya untuk bersama-sama masuk ruang itu," ujarnya.  

Perpusatakaan ini nantinya akan dipindah ke gedung tengara baru yang terletak di antara Museum Israel dan Knesset, Parlemen Israel. Tetapi perpustakaan tersebut berakar pada visi Zionisme, berbeda dengan yang menemukan ekspresi akhir dalam pendirian negara Israel pada Mei 1948.

Perpustakaan tersebut, menurut Ukeles, didirikan pada 1892 oleh sekelompok intelektual Yahudi yang humanis, filsuf, cendekiawan hebat, dan banyak dari mereka adalah orang Arab. Maka tidak heran sambungnya, bila perpustakaannya itu memiliki koleksi bahasa Arab yang fenomenal.

Abraham Shalom Yahuda, seorang Yahudi Palestina yang cerdas dan pengumpul dokumen langka. Abraham Shalom Yahuda lahir di Yerusalem pada 1877 dari keluarga kaya Yahudi yang tumbuh besar di Eropa dan Irak. Ayahnya, Benyamin, berasal dari Baghdad sedangkan keluarga ibunya, Rebecca Bergman, berasal dari Frankfurt.

Keluarga Yahuda tinggal di Yerusalem, dan pekerjaan mereka adalah menjual dan membeli buku-buku dan mengoleksi manuskrip. Bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan keluarga Yahuda.  

Yahuda kecil dianggap tumbuh menjadi orang dewasa sebelum waktunya. Dengan kecerdasannya, Yahuda menghabiskan waktunya untuk menyelami budaya leluhurnya, belajar bahasa dan sastra Arab, belajar bahasa Eropa juga studi tradisional Yahudi.  

Pada 1893, di usianya yang baru menginjak 16 tahun, dia telah menorehkan karya perdananya. Sebuah makalah tentang sejarah dan budaya Arab pra-Islam yang diterbitkan dalam bahasa Ibrani.  

Pada tahun- tahun berikutnya, Yahuda berangkat ke Eropa untuk mempelajari bahasa-bahasa semit dan budaya Timur Tengah dan sejarah di Darmstadt, Frankfurt am Main, Nuremberg, Heidelberg dan Strasbourg. Yahuda mendapatkan gelar doktornya, pada 1904.  

Di Eropa Yahuda pernah belajar di bawah Ignaz Goldziher, seorang sarjana Hongaria keturunan Yahudi yang dianggap sebagai salah satu pendiri studi Islam modern di Eropa.  

Pada 1924, setelah kematian Goldziher ditahun 1921, Yahuda membantu memperoleh 6.000 volume koleksi pribadi cendekiawan itu. Koleksi tersebut yang kemudian menjadi Perpustakaan Nasional Yahudi di mana ada koleksi warisan Islam di dalamnya.  

Visi Yahuda adalah perpustakaan seperti ini, berisi harta indah dan menakjubkan dari literatur Arab terbaik dan karya-karya terbaik Islam, mungkin memang bisa menjadi tempat pertemuan bagi para sarjana Arab dan Yahudi.  

Yahuda membayangkan, para sarjana Arab dan Yahudi, dapat duduk bersama sebagai saudara dan belajar bersama. Selanjutnya memberikan pencerahan kepada tetangga terdekat mereka.  

photo
Naskah Melayu kuno. - (Gemalaputri.blogspot.com)

"Secara genealogis maupun dalam pola pikir, semangat toleransi yang sama, kemurahan hati, kebaikan hati, dan kemurahan hati di mana orang-orang Arab unggul di zaman kuno, selama pemerintahan mereka di Timur dan Barat dan selama generasi paling luhur dari pencapaian intelektual dan budaya mereka," ujar Yahuda.  

Selama hidupnya, Yahuda menjadi salah satu kolektor terpenting naskah-naskah Islam awal abad ke-20 dan, sebelum kematiannya sendiri pada 1951. 

Yahuda mewariskan seluruh koleksinya ke di Perpustakaan Nasional dan Universitas Yahudi, yang pada 2007 berganti nama menjadi Perpustakaan Nasional Israel.

Yahuda, kata Ukeles, adalah seorang Zionis, tetapi visinya tentang Zionisme sangat berbeda dari para pemimpinnya.  

Pada Kongres Zionis pertama, yang diadakan di Basel, Swiss, pada 1897, Yahuda yang berusia 20 tahun mendekati Theodor Herzl, pendiri gerakan Austro-Hungaria yang dianggap oleh Israel hari ini sebagai bapak spiritual Negara Yahudi.

Menurut memoar Yahuda, kata Ukeles, "Dia mencoba menjelaskan kepadanya bahwa mereka perlu menganggap serius kebutuhan dan tujuan populasi Arab asli di tanah Israel, tetapi Herzl memecatnya."

Tidak gentar, "Yahuda berulang kali berusaha meyakinkan Herzl dan Chaim Weizmann (presiden pertama Israel di masa depan) bahwa jika mereka tidak menanggapi masalah ini dengan lebih serius, itu akan menyebabkan perselisihan yang tak berkesudahan antara orang Arab dan Yahudi. 

Hampir 70 tahun setelah kematian Yahuda, NLI mulai membuka koleksi warisan Islam. Ini merupakan impian akan masa depan yang lebih adil bagi Palestina. “Kami datang dengan tekad yang bulat  dan saya pikir dia (Yahuda) akan sangat senang mengetahui apa yang terjadi pada koleksinya," ujar Ukeles.

 

Sumber: https://www.arabnews.com/node/1694961/middle-east   

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement