Jumat 26 Jun 2020 09:40 WIB

Shin Tae-yong Dulu, Baru yang Lain

Sepertinya ada yang ingin mendongkel Shin Tae-yong

Pelatih Timnas Indonesia Shin Tae-yong (kanan) berbincang dengan asisten pelatih Indra Sjafri saat seleksi pemain Timnas Indonesia U-19 di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Senin (13/1/2020).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Pelatih Timnas Indonesia Shin Tae-yong (kanan) berbincang dengan asisten pelatih Indra Sjafri saat seleksi pemain Timnas Indonesia U-19 di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Senin (13/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Israr Itah*

Drama di sepak bola Indonesia (baca: PSSI) seperti tak pernah berhenti. Saat sinetron lokal kejar tayang, telenovela latin, atau drama Korea punya ending, cerita menguras emosi yang dihadirkan PSSI seperti tak ada hadirnya. Terbaru, PSSI bersitegang dengan Shin Tae-yong (STY), pelatih kepala asal Korea Selatan yang bertanggung jawab terhadap timnas di berbagai level usia di Indonesia hingga senior.

STY diangkat menjadi pelatih pada akhir tahun lalu setelah PSSI pimpinan Mochammad Iriawan menggelar 'audisi'. Sosok yang membawa Seongham Ilhwa Chunma menjadi juara Liga Champions Asia 2010 itu terpilih. Dalam keterangannya, Iriawan mengatakan STY berani menjanjikan gelar, sesuatu yang tak bisa dijamin kandidat lain, yakni Luis Milla.

Kontrak yang disodorkan ke STY selama setahun, dengan opsi perpanjangan. Berarti, STY diminta menghadirkan gelar juara Piala AFF 2020 untuk level senior. Pada periode sama, STY diminta mendampingi timnas Indonesia untuk meraih hasil positif pada kualifikasi Piala Dunia 2022. Indonesia masih harus menjalani tiga pertandingan lagi meskipun telah dipastikan gagal lolos ke babak berikutnya karena belum pernah menang.

Satu tugas lagi, membawa timnas U-19 berbicara banyak pada ajang Piala AFC U-19. Tekanan pada ajang ini lebih berkurang karena tak ada kewajiban Indonesia minimal lolos ke empat besar agar lolos ke Piala Dunia U-20 2021. Sebab, Indonesia-lah yang menjadi tuan rumah.

STY sudah memulai tugasnya dengan menggelar pemusatan latihan (TC) untuk timnas U-19 di Bekasi dan Thailand. Ia juga sempat menggelar TC singkat untuk timnas senior di Jakarta. Saat hendak melanjutkan pekerjaan, datanglah pandemi Covid-19 yang membuat program STY berantakan. Sang pelatih dan sejumlah staf pembantunya kemudian kembali ke kampung halaman mereka di Korsel. Program untuk timnas U-19 kemudian diubah dengan TC jarak jauh. Pemain mengikuti latihan secara daring. Belakangan, STY ingin memboyong para pemain timnas U-19 untuk TC di Korsel pada Juli sampai awal September. Ini untuk menggantikan rencana TC ke Jerman yang batal akibat Covid-19.

Di Korsel, timnas U-19 bisa berlatih sekaligus dapat beruji tanding dengan lawan sesuai level yang diinginkan STY. Entah itu seimbang, di bawah, atau di atas timnas U-19 kekuatannya. Sesuatu yang sulit didapat jika TC digelar di Indonesia.

Tapi orang-orang di PSSI tampaknya punya pemikiran lain. STY diminta untuk datang ke Indonesia dan membuat program TC di Tanah Air. Situasi semakin rumit karena STY curhat ke media lokal Korsel soal pengalaman-pengalaman 'unik' selama beberapa bulan menangani timnas Indonesia. Ia merasa kesulitan menjalankan program dengan baik. Tapi pihak PSSI membantah dan justru mengultimatum STY agar lebih kooperatif dan mengikuti arahan mereka yang mengontraknya.

Saya melihat di sini ada persoalan komunikasi tak lancar. Mungkin juga ada pihak-pihak yang ingin mendongkel STY dari kursinya. Caranya beragam, salah satunya (mungkin) menggunakan orang-orang sepak bola sendiri untuk mengkritik STY. Mulai dari metode latihan kerasnya, sampai kritikan kepada STY yang dinilai mengumbar kekurangan para pemainnya dengan mudah ke awak media.

Padahal pada dasarnya yang dilakukan dan dikatakan STY adalah sesuatu yang wajar. Bahkan bukan hal baru dan pernah dikatakan sejumlah pelatih sebelumnya. Misalnya soal stamina para pemain Indonesia yang payah. Atau tentang pemahaman taktikal yang kurang. Untuk yang satu ini, mantan pelatih timnas Indonesia asal Brasil Jacksen F Tiago pernah mengungkapkannya. Tapi dalam situasi berbeda.

Ketika itu, ia ditanya tentang perbandingan pesepak bola Malaysia dan Indonesia. Jacksen menyebut pesepak bola Indonesia lemah dalam taktikal, tapi unggul dalam kemampuan individu. Sebaliknya pesepak bola Malaysia lebih memahami taktikal atau coachable sehingga memudahkan kerja pelatih dalam merancang strategi.

Hanya, cara dan gaya STY dalam berkomunikasi tampaknya kurang mengena di mata stakeholder sepak bola Indonesia. STY juga mungkin berbicara pada saat yang kurang pas. Di sini, mesti ada orang atau pihak yang memberikannya pemahaman bagaimana berkomunikasi yang baik dengan pemain, sesama pelatih, staf, hingga para pejabat PSSI.

Di sisi lain, PSSI juga seharusnya lebih bijak dalam soal ini. Jika STY dikritik karena mengumbar masalah internal ke media, semestinya PSSI juga tak melakukan hal serupa. Nyatanya, ada pejabat PSSI yang menyampaikan ultimatum ke publik, STY bisa dipecat jika tak segera ke Indonesia dan mengikuti arahan federasi.

Para pejabat PSSI pasti sudah sangat paham kalau target hanya bisa dicapai jika program yang dirancang untuk itu berjalan dengan baik. Jika dari awal PSSI menunjuk STY karena percaya ia bisa mencapai target yang diinginkan, semestinya PSSI memberikan dukungan penuh. Kalau tak sanggup, hendaknya dari awal tak usah muluk-muluk menggaet STY, sosok yang cukup dihormati di persebakbolaan Korsel. Apa pun halangan yang dirasakan PSSI, semestinya bisa dibicarakan baik-baik dengan STY. Sebagai pelatih top, ia tentu punya rencana cadangan jika program utama sulit diwujudkan.

Di sini, PSSI semestinya tak mengambil tindakan gegabah, apalagi sampai memecat STY di tengah jalan seperti wacana yang berembus saat ini. Toh kontrak STY cuma setahun. Tak ada risiko sama sekali untuk timnas U-19 yang sudah pasti berlaga di Piala Dunia U-20 tahun depan. Sama halnya dengan kualifikasi Piala Dunia 2022 karena Indonesia tak punya harapan. Paling 'hanya' Piala AFF 2020 saja yang menjadi pertaruhan keberhasilan sentuhan STY.

Tak ada salahnya memberikan STY kesempatan dan kepercayaan untuk menunaikan tugasnya. Berikan dia kewenangan penuh untuk menjalankan programnya. Hadirkan sosok-sosok yang mungkin dibutuhkan atau diminta STY untuk mewujudkan target yang dibebankan padanya. Enam bulan lagi tak lama, kok! Jika nanti STY dinilai gagal atau tak layak dipertahankan, PSSI tinggal mendepaknya saat kontraknya selesai bersamaan dengan berakhirnya Piala AFF 2020. Sekarang, STY dulu.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement