Kamis 25 Jun 2020 17:43 WIB

Sejumlah Negara Gunakan Virus untuk 'Bungkam Kritik'

Para mantan pemimpin dunia peringatkan pandemi corona membahayakan demokrasi

Rep: Lintar Satria/ Red: Christiyaningsih
Pasukan jandarma berkuda melakukan patroli di pantai distrik Sariyer selama pembatasan 3 hari coronavirus di 31 provinsi untuk membendung penyebaran virus korona (Covid-19) di Istanbul, Turki. Para mantan pemimpin dunia peringatkan pandemi corona membahayakan demokrasi. Ilustrasi.
Foto: Anadolu/?sa Terli
Pasukan jandarma berkuda melakukan patroli di pantai distrik Sariyer selama pembatasan 3 hari coronavirus di 31 provinsi untuk membendung penyebaran virus korona (Covid-19) di Istanbul, Turki. Para mantan pemimpin dunia peringatkan pandemi corona membahayakan demokrasi. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Ratusan mantan perdana menteri, presiden, peraih hadiah Nobel, dan anggota parlemen memperingatkan pandemi virus corona meningkatkan otoritarianisme. Mereka mengatakan perilaku sejumlah pemerintahan di seluruh dunia membahayakan demokrasi.

Virus yang pertama kali diidentifikasi di pusat kota Wuhan, China bulan Desember tahun lalu kini telah menyebar ke seluruh dunia. Sejumlah pemerintah di Eropa, Asia, Amerika, dan Afrika menggunakan krisis ini untuk membatasi pergerakan warga, kebebasan berbicara, pertemuan publik, dan hak sipil lainnya.

Baca Juga

"Rezim otoritarian, tak mengejutkan, menggunakan krisis untuk membungkam kritik dan memperkuat cengkraman politik mereka," kata surat terbuka Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Kamis (25/6).

Surat tersebut ditandatangani sekitar 500 orang termasuk 60 mantan pemimpin dunia. IDEA merupakan organisasi antarpemerintah yang bermarkas di Stockholm, Swedia. Mereka  memiliki mandat untuk menyebarluaskan kesinambungan demokrasi di seluruh dunia.

"Bahkan sejumlah pemerintah yang terpilih secara demokratis memerangi pandemi dengan menghimpun kekuasaan darurat yang membatasi hak asasi manusia dan meningkatkan pengawasan negara tanpa memperhatikan kendala hukum (atau) pengawasan parlemen," kata surat tersebut.

Lembaga non-profit asal Amerika Serikat (AS), International Center for Non-Profit Law, mengatakan lebih dari 80 negara yang memberlakukan langkah-langkah darurat. Mulai dari jam malam, mengenakan denda bagi yang melanggar peraturan pengawasan ekstra, melakukan penyensoran, dan meningkatkan kekuasaan eksekutif.

Sekretaris Jenderal IDEA mengatakan dampaknya akan melemahkan norma-norma demokrasi yang berimplikasi pada kebebasan politik serta kemampuan pemerintah dalam mengatasi krisis dan krisis kesehatan publik di masa mendatang.

"Ada alasan sah untuk menerapkan wewenang darurat. Namun selalu problematik ketika pemerintah menggunakan kekuasaan darurat untuk mengawasi dengan keras media independen dan hak asasi manusia," kata Sekjen IDEA Kevin Casas-Zamora.

Casas-Zamora adalah mantan wakil presiden dan menteri Perencanaan Nasional dan Kebijakan Ekonomi Kosta Rica. Ia mengatakan Filipina, Hungaria, El Salvador, dan Turki adalah negara-negara yang telah menerapkan langkah-langkah otoritarian.

"Di tengah krisis ini kami ingin mengalihkan pandangan ke demokrasi. Ini bukan melindungi demokrasi untuk kepentingannya sendiri, demokrasi nilai yang melekat dalam upaya mengatasi pandemi ini dan bersiap untuk menghadapi selanjutnya," kata Casas-Zamora.

Berdasarkan data IDEA, pandemi corona telah menunda atau membatalkan 66 pemilihan umum di seluruh dunia. Hampir 50 negara membatasi kebebasan pers, sebanyak 21 di antaranya negara demokrasi.

Mantan Presiden Brasil Fernando Henrique Cardoso dan mantan Gubernur Florida, Amerika Serikat, Jeb Bush, ikut menandatangani surat IDEA tersebut. Dalam surat itu, para penandatangan mengatakan salah satu hal yang paling memprihatinkan ketika masyarakat mulai menerima perilaku otoritarian.

"Demokrasi sedang terancam dan masyarakat yang peduli akan hal itu harus memperkuat keinginan, kedisiplinan, dan solidaritas untuk mempertahankannya, atas nama kebebasan, kesehatan, dan martabat seluruh orang," kata mereka dalam surat itu.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement