Jumat 26 Jun 2020 04:31 WIB
Komunis

Konflik NU-PKI: Musuh Di Bawah Satu Selimut Nasakom

Berseteru di Selimut Nasakom

Acara NU di pertengahan tahun 1950-an.
Foto: google.com
Acara NU di pertengahan tahun 1950-an.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh  Akhmad Khoirul  Fahmi, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Unsoed dan Pengurus Pesantren al Azhari, Banyumas.

Dalam  suatu   kesempatan sebelum Pemilu  1955,  orang orang  NU  protes  mengapa    tanda gambar PKI  berupa  palu arit   dibubuhi  tulisan 'PKI dan orang-orang tak berpartai'?  Hal   itu  ditanyakan  Idham  Khalid selaku  wakil  NU   dalam musyawarah partai  partai  bersama  Menteri Dalam Negeri.

Idham Khalid berkata, Menurut  NU, tanda gambar  atau  simbol PKI selama  ini  Cuma  lukisan palu arit. Tak  ada embel-embel  kalimat dan orang  tak berpartai”. Lalu  dijawab  Aidit: “PKI  berpendapat  bahwa banyak  sekali  orang  orang yang  tak berpartai  tetapi memercayakan  politiknya  kepada PKI. Karena  hasrat yang mulia  itu kami  tampung”.

Idham Khalid berkata menukas Aidit, "Tetapi  tidak semua  orang yang  berpartai simpati  kepada PKI. Dengan  menyamaratakan  semua  orang  tak berpartai  seolah-olah  simpatisan PKI  jelas  bahwa  ada niat  PKI  mencatut  nama    rakyat  bahkan hendak  mengelabui  rakyat."

Aidit  kemudian menyela, “Saya protes saudara menuduh  PKI  mencatut  nama  rakyat  bahkan mengelabui   rakyat.”

Lalu  Idham Khalid menjawab: “Protes  saudara saya  tolak. Saya  sekedar menyatakan kenyataan  yang saya rasakan”. Rekan separtai Aidit, Sudisman ikut  berkomentar, “Darimana  saudara  merasakan PKI  mengelabui  rakyat”?

Idham Khalid menjawab, “Dari kenyataan  yang ada dalam  masyarakat. Disana  banyak juga orang-orang yang tak berpartai  yang bersimpati  kepada NU, kepada Masyumi, kepada  PNI  dan sebagainya.  Kalau terhadap  mereka  yang  pandangan hatinya  berbeda-beda  lalu  dituntut seolah-olah mereka  ikut PKI semua,  apakah  ini  bukan  mencatut  nama   rakyat  dan  mengelabui  mereka”?

Menteri  dalam Negeri Mr Sunaryo yang ikut hadir dalam perbincangan menyela, ”Saya  harap  saudara Aidit  mengindahkan  keberatan  pihak lain”.

S  Hadikusumo  juga  menambahkan, “Saya  kira    PKI tidak boleh mengikuti  kehendak  sendiri. Semua  tanda gambar  dalam  Pemilu  harus  diputuskan  melalui kebulatan  bersama”. 

Lalu Aidit menjawab: “Kalau  begitu   saya usulkan  agar NU  juga  menambah  kalimat ‘NU  dan semua orang  Islam’  dibawah  tanda gambarnya”.

Mendengan pernyataan Aidit Idham Khalid menjawab, “Tidak  bisa!  Bagaimana   saya   harus  melakukan  hal hal yang  saya  sendiri  memprotesnya? Orang-orang Islam  yang  tidak berpartai  itu  hati  kecilnya  mempunyai  simpati  kepada partai  tertentu. Ada  yang bersimpati  kepada Masyumi, PSII. Perti  dan ada  yang kepada PNI  maupun  IPKI  dan sebagainya. Saya  tidak ingin  NU  mencatut  nama  orang-orang yang  tak  berpartai  seolah-olah  pro NU  semua.”

Karena protes Idham Khalid itu yang kemudian dicatat dalam memoar KH Saifuddin Zuhri 'Berangkat dari Pesantren', akhirnya kemudian  tanda  gambar  'PKI Cuma  palu arit dan kalimat dan  orang  orang  tak berpartai',  ditiadakan”. Dan kemudian, usai pemilu,  Tahun  1956 NU   meninggalkan kabinet Burhanuddin Harahap dan  mengakibatkan krisis  politik sehingga  kabinet jatuh disebabkan  tak  mampu menghadapi  serangan serangan oposisi  yang disponsosri  NU dan PNI.

Hal  itu  membuka  kesempatan  PKI untuk ikut nimbrung  meramaikan oposisi. Apalagi bisa disebut pada awaktu itu  PKI bukan PKI  kalau tidak menggunakan  setiap  kesempatan   untuk  main  timbrung, ikut ikutan main  meskipun  tidak  diharapkan.

Selanjutnya terkait  kabinet baru  yang hendak  dibentuk,  sikap  NU memberi syarat  kabinet ibaru tu kecuali  mencerminkan  kekuatan  hasil  Pemilu   juga  harus mencegah   ikut sertanya  PKI dan  orang  komunis  lain   yang terselubung  dengan memakai  nama  organisasi lain.  Ini karena sebenarnya sejak  tahun  1951, NU  memperlihatkan  sikap  anti  komunis, semisal  ketidaksetujuannya  atas  dibukanya  hubungan diplomatik  dengan  Uni Sovyet  dan RRC.

Pada  bulan  Desember 1956, Partai  Masyumi  melangsungkan Muktamar diBandung dan menelurkan keputusan  untuk  menarik  dari  Kabinet  Ali-Roem-Idham dimana  mayoritas kabinet  berada  dalam  partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII Perti).  Keputusan itu  dibacakan  Dr Sukiman  dalam sidang DPR  pada  bulan Januari1957  menyusul  situasi  panas di Sumatera. 

Adanya keputusan itu, NU  kemudian mengambil sikap seperti  diungkapkan  Ketua  Fraksi  NU AA Achsien. Dia menyatakan bila keputusan  Masyumi itu  diambil secara  tergesa-gesa. Kyai  Wahab Chasbulah  juga menyampaikan, “Sekiranya   saya mengetahui  ada niatan  untuk  menarik  menteri-menterinya saya  akan  meyakinkan  Masyumi bahwa   hal itu  amat merugikan perjuangan  kita. Sebagai  partai-partai  Islam  yang  mayoritas  dalam  kabinet, menjadi  tanggungjawab bersama  kita memecahkan kemelut di  dalam negeri  secara musyawarah”.

Dengan  munculnya kondisi seperti itu maka yang paling diuntungkan adalah PKI. Ini karena selama ini PKI  selalu berusaha  menghalang-halangi terciptanya  koalisi PNI-Masyumi  dalam satu  kabinet.  PKI  amat mendendam  karena Masyumi  dan NU  menghalang-halangi PKI  untuk ikut kabinet  Ali-Roem-Idham. NU  dan  Masyumi  selalu menolak  setiap  move  yang mengarah  terwujudnya “kabinet berkaki empat” (PNI-Masyumi-NU-PKI).

Namun kemudian, Presiden Soekarno  mewujudkan konsep “Kabinet kaki empat”    dalam rangka  pelaksanaan  “demokrasi  terpimpin”. Tapi, Masyumi, NU, PSII, Katolik  dan PRI menolak. Adapun  yang menyetujui  ialah  PKI, Murba, sebagian PNI, PRN, Persatuan Pegawai Polisi  dan Baperki.

Dalam situasi ini, PKI  makin merajalela. Mereka terus melakukan kampanye  “pro konsepsi  Presiden”.  PKI   memperoleh  bahan  bakar  untuk   menyalakan  api fitnah  dengan peristiwa lahirnya Dewan-dewan yang menyusul mundurnya  Bung  Hatta  dan kemudian keluarnya Masyumi  dari  kabinet. 

Dalam situasi ini angkatan  bersenjata yang  terdiri  dari  Mayjen  AH  Nasution  dan komodor  Suryadarma  dan  Laksanama  Muda  Subiyakto  melakukan manuver. Mereka mengusulkan kepada Presiden Soekarno  kondisi  SOB (Staat  van Oorlog)  atau  negara dalam keadaan  bahaya.  Setelah  Ali  Sastroamidjoyo  menyerahkan mandat kabinetnya kembali ke Presiden. Sukarno  berusaha  membujuk  Ketua  PNI  Suwiryo  untuk membentuk kabinet baru. Presiden Sukarno kala itu menghendaki  kabinet  kaki  empat (PNI, Masyumi, NU  dan PKI).

Namun usaha ini gagal. Presiden Sukarno   kelewat gandrung persatuan  hingga  termakan  oleh ambisinya  mempersatukan partai-partai  yang sejak  semula  mempunyai  unsur-unsur yang  berbeda, yang  mustahil  dipersatukan”. Dalam situasi ini ada respons dari Kiai  Wahab  Chasbullah. Dia mengatakan, “Bagaimana  politik  Nasakom  hendak diwujudkan padahal seacra prinsipil  Nasionalisme  bertentangan dengan komunisme, apalagi  antar agama (terutama  Islam)”, kata  KH  M Dahlan. 

KH Wahab Chasbullah, Kiai yang Selalu Sarungan saat Melawan Penjajah

  • Keterangan foto:KH Wahad Hasbulah di depan masa NU pertengahan tahun 1950-an.

Kiai  Masykur  juga memberikan tanggapan, “Yang  penting  bagaimana  agar kita   tidak  melakukan  politik  konfrontatatif  dengan Bung Karno  yang sekarang berbeda  dan bertentangan dengan PNI, Masyumi  dan NU.  Dan  hal  itu  kemudian dkomentari   H  Zainul  Arifin: “Saya  setuju pikiran Kyai Masykur,  situasi  seperti sekarang  membuat  Bung Karno  bertindak aneh-aneh  dan ekstrem”.

Kiai  Ilyas  menambahkan, “Saya  usulkan  menghadapi  masalah  ‘Nasakom’  yang sudah  dimaklumi pendirian  kita  dengan  presiden  tidak  bisa dipertemukan, kita  ambil  sikap  seperti  dua  orang tuli  sedang bermusyawarah, masing  masing berbicara  menurut isi  hatinya”. Pendapat  Kyai  Ilyas  mengundang gelak  tawa para   hadiin.

Akhinya  hal paling aneh dalam sejarah  ketatanegaraan terjadi.  Presiden  Soekarno  menunjuk seorang warga  negara bernama  Ir  Soekarno  untuk  menjadi  formatir  dalam  membentuk  “zeken  kabinet  extra parlementer  darurat”.   Ir  Juanda  ditunjuk sebagai  Perdana menteri dengan dua  orang Wakil PM  yaitu  Mr Hardi  (warga PNI) dan  KH  Idham Khalid (warga  NU) dan menteri  menteri  yang berasal dari berbagai  partai   dan dipandang  ahli.

Dengan kata  lain, NU dan PKI ibaratnya seteru atau musuh meski di bawah satu selimut, yakni Nasakom.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement