Kamis 25 Jun 2020 11:48 WIB

Nafkah Istri Tanggung Jawab Suami, Tetapi Kapan Wajib Mulai?

Menafkahi istri merupakan salah satu kewajiban suami dalam keluarga.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Menafkahi istri merupakan salah satu kewajiban suami dalam keluarga. Ilustrasi menikah
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Menafkahi istri merupakan salah satu kewajiban suami dalam keluarga. Ilustrasi menikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Mencari nafkah atau menafkahi keluarga merupakan kewajiban setiap laki-laki yang sudah menikah (suami). 

Walaupun pada dasarnya suami wajib memberi nafkah, tetap ada batasannya. Maharati Marfuah, Lc dalam bukunya "Hukum Fiqih Seputar Nafkah" mengatakan, batasan itu terkait dengan kapan kewajiban itu mulai berlaku dan kapan menjadi tidak berlaku.

Baca Juga

Apakah sejak terjadinya akad nikah yang sah, atau sejak seorang istri sudah menetap bersama suami. "Dalam hal ini pendapat para ulama terbagi menjadi tiga macam pendapat," katanya. 

Ada yang mengatakan ketika terjadi istihqaq al-habs, ada juga yang mengatakan akad dan tamkin. Pendapat pertama, suami wajib menafkahi istri saat sudah istihqaq al-habs. Ini adalah pendapat dari para ulama Hanafiyyah dan qaul qadim dari Imam as-Syafii.  

Ia mengatakan, jika merujuk kepada makna secara bahasa, istihqaq al-habs adalah keadaan di mana seseorang benar-benar menjadi tahanan atau dipenjara. Namun sebenarnya yang dimaksud bukan makna secara bahasa, melainkan makna secara istilah.

Secara istilah, ungkapan istihqaq al-habs sendiri maksudnya bahwa akad nikah telah benar-benar terjadi secara sah. Ini untuk membedakannya dengan nikah yang batil atau melakukan hubungan suami istri sebelum menikah.

"Maka pendapat yang pertama ini mengatakan bahwa kewajiban memberi nafkah sudah langsung berlaku tepat ketika akad nikah alias ijab kabul telah dilaksanakan," katanya.

Dalil yang mereka gunakan adalah dalil umum, di antaranya surat Ath-Thalaq ayat 7 yang artinya: لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya."  

Ayat di atas, kata Maharati, tak dibatasi mulai kapan seorang suami memberikan nafkah kepada istri. Berarti selama seorang wanita berstatus istri yang sah, maka mereka berhak menerima nafkah yang menjadi kewajiban suami.

Pendapat kedua, suami wajib menafkahi istrinya sejak tamkin. Tamkin secara bahasa berarti menetap. Maksudnya disini adalah menetapnya istri dan tinggal bersama suaminya.  

Maka dalam pandangan para ulama kelompok yang kedua ini, kewajiban memberi nafkah baru berlaku ketika istri mulai tinggal menetap bersama suaminya seusai akad nikah yang sah.  

Kewajiban memberi nafkah belum berlaku bila sekedar baru akad nikah saja tanpa tinggal bersama. Ini adalah pendapat mayoritas dari ulama Mazhab Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah.

Dalil yang menjadi dasar dari para mayoritas ulama adalah apa yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW terhadap Aisyah RA Memang ada jeda waktu semenjak Beliau menikahi Aisyah hingga Aisyah tinggal bersama.  

Ada yang menyebutkan bahwa Aisyah dinikahi ketika masih berusia enam tahun dan baru tinggal bersama Rasululullah SAW ketika berusia sembilan tahun. Dari kenyataan inilah maka mayoritas ulama 

berpendapat bahwa nafkah baru berlaku ketika istri mulai tinggal bersama suami, bukan sejak terjadinya akad nikah. 

Meskipun ada pendapat ketiga, tapi tidak populer. Kewajiban nafkah terhitung sejak akad nikah, tetapi diimplementasikan setelah istri 

berada bersama suami. Ada yang menyebut ini adalah pendapat terdahulu atau qaul qadim dari Imam as-Syafi'i.  

Tentu ketiga pendapat di atas kata, Maharati, untuk kasus di mana antara akad nikah dan hidupnya bersamanya suami dan istri itu tak satu waktu. 

Di masa sekarang, hampir jarang ada akad nikah, tapi seorang istri hidup bersama suami itu belakangan. "Kecuali karena beberapa hal, misalnya masih kuliahnya suami atau istri yang mengharuskan keduanya tak bisa hidup bersama," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement