Kamis 25 Jun 2020 04:24 WIB

Sekjen PBB Antonio Guterres Desak Israel Batalkan Aneksas

Sekjen PBB mendesak Israel membatalkan rencana aneksasi Tepi Barat

Rep: Rahayu Marini Hakim/ Red: Christiyaningsih
Sekjen PBB Antonio Guterres mendesak Israel membatalkan rencana aneksasi Tepi Barat. Ilustrasi.
Foto: AP Photo/Mary Altaffer
Sekjen PBB Antonio Guterres mendesak Israel membatalkan rencana aneksasi Tepi Barat. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) Antonio Guterres mendesak Israel membatalkan rencana aneksasi atau mengakui secara sepihak bagian Tepi Barat yang saat ini mereka duduki. Menurut Guterres, langkah aneksasi akan menjadi "pelanggaran paling serius terhadap hukum internasional".

Desakan itu disampaikan dalam sebuah laporan kepada Dewan Keamanan PBB, Selasa (24/6) atau sehari sebelum 15 anggota DK PBB mengadakan pertemuan tentang konflik Israel-Palestina yang diadakan dua kali setahun.

Baca Juga

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan negaranya akan memulai proses aneksasi Tepi Barat pada 1 Juli. Dalam dokumen desakan tersebut, Guterres menegaskan aneksasi yang dilakukan Israel akan "menghancurkan" batas negara dengan harapan terjadi negosiasi baru dan akhirnya menjadi solusi dua negara.

"Ini akan menjadi bencana bagi Palestina, Israel, dan kawasan tersebut," kata Guterres. Aneksasi juga akan mengancam upaya-upaya untuk memajukan perdamaian regional.

Desakan Guterres datang sehari setelah ribuan warga Palestina memprotes di Yerikho terhadap rencana Israel tersebut. Aksi protes itu juga dihadiri puluhan diplomat asing.

Pimpinan Palestina mengusulkan pada pekan lalu, sebuah rencana dengan upaya menciptakan negara Palestina yang berdaulat, mandiri dan demiliterisasi, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Ini juga akan membuat pintu terbuka, untuk modifikasi perbatasan antara negara yang diusulkan Palestina dan Israel, serta pertukaran wilayah yang sama dalam ukuran, volume dan nilai satu banding satu.

Usulan Palestina itu datang sebagai tanggapan terhadap rencana kontroversial Presiden AS Donald Trump yang memberi lampu hijau bagi Israel untuk mengambil wilayah Tepi Barat. Termasuk di dalamnya permukiman yang dianggap ilegal menurut hukum internasional dan Lembah Yordan.

Trump mengusulkan pembentukan negara Palestina yang didemiliterisasi pada wilayah yang tersisa, dari bagian wilayah Palestina yang sebelumnya terpisah-pisah. Namun dalam usulan Trump negara Palestina berdiri tanpa menduduki Yerusalem Timur. Rencana itu pun ditolak seluruh rakyat Palestina.

Pertemuan Dewan Keamanan, yang akan digelar lewat konfrensi video, akan menjadi pertemuan internasional besar terakhir tentang masalah ini sebelum batas waktu pada 1 Juli. "Setiap keputusan tentang kedaulatan hanya akan dibuat oleh pemerintah Israel," kata utusan PBB Israel Danny Danon dalam sebuah pernyataan pada Selasa.

Para diplomat mengharapkan sebagian besar anggota PBB untuk kembali menentang rencana Israel pada Rabu. "Kami harus mengirim pesan yang jelas," kata seorang utusan kepada kantor berita AFP.

Ia menambahkan tidak cukup hanya mengutuk kebijakan Israel dan membawanya ke Pengadilan Internasional. Selama beberapa dekade, Israel telah mendapatkan dukungan Amerika Serikat dengan dua partainya yang mengabaikan kritik internasional dan berbagai resolusi PBB tentang penjajahannya terhadap wilayah Palestina.

Kevin Jon Heller, seorang profesor hukum internasional, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa aneksasi yang direncanakan Israel adalah pelanggaran mendasar dan jelas terhadap hukum internasional yang melarang aneksasi wilayah yang diambil secara paksa.

"Pengambilan wilayah Israel atas Dataran Tinggi Golan dan Yerusalem ditambah dengan keheningan internasional dan Arab telah mendorongnya untuk mengambil tindakan lebih lanjut ke arah itu seperti yang direncanakan sekarang," kata Heller.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement