Rabu 24 Jun 2020 09:12 WIB

Negara Anggota Bela ICC dari Sanksi-sanksi AS

Lebih dari setengah negara anggota membela Mahkamah Pidana Internasional (ICC)

Rep: Lintar Satria/ Red: Christiyaningsih
Lebih dari setengah negara anggota membela Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Ilustrasi.
Foto: Koen van Weel/EPA
Lebih dari setengah negara anggota membela Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Lebih dari setengah negara anggota membela Mahkamah Pidana Internasional (ICC), satu-satunya pengadilan kejahatan perang di dunia. Pembelaan ini merupakan respons terhadap ancaman Amerika Serikat (AS) untuk memberikan sanksi pada pegawai ICC pada awal bulan ini.

Rancangan pernyataan bersama ini ditulis oleh Kosta Rica dan Swiss serta didukung 67 dari 123 negara anggota ICC. Respons ini untuk pertama kalinya menunjukkan persatuan negara anggota dari berbagai benua.

Baca Juga

 "Kami mengonfirmasi ulang dukungan tak tergoyahkan pada pengadilan sebagai institusi yudisial independen dan imparsial," kata rancangan pernyataan bersama itu, Rabu (24/6).

Pengadilan ICC adalah pilihan terakhir ketika negara tidak bisa atau tidak bersedia mengajukan tuntutan kejahatan berat. Para negara anggota ICC juga mengatakan lembaga itu adalah 'bagian integral' ketertiban yudisial internasional dan 'institusi pusat untuk memerangi impunitas'.

Pemerintah Presiden AS Donald Trump menuduh tuntutan ICC terhadap AS dan Israel bermotif politik. Dua pekan lalu Trump menandatangani perintah eksekutif yang memberikan wewenang untuk memblokir aset dan izin masuk dua pegawai ICC atas keterlibatan mereka pada penyelidikan kejahatan perang AS di Afghanistan. 

Jaksa ICC Fatou Bensouda ingin menyelidiki kemungkinan kejahatan perang yang dilakukan pasukan AS antara tahun 2003 hingga 2014. Termasuk pembunuhan massal yang dilakukan Taliban serta penyiksaan tahanan yang dilakukan pemerintah Afghanistan.

ICC juga ingin menyelidiki kejahatan perang tingkat yang lebih rendah yang mungkin dilakukan pasukan AS dan CIA. ICC memberikan lampu hijau pada proposal penyelidikan itu pada Maret lalu.

"Kami tidak bisa, kami tidak akan membiarkan orang-orang kami diancam oleh pengadilan kanguru," kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo saat mengumumkan perintah eksekutif tersebut.

Direktur peradilan internasional Human Right Watch, Richard Dicker, mengatakan pernyataan gabungan 'mengirimkan pesan penting negara anggota ICC 'mendukung pengadilan itu'. Menunjukkan mereka tidak takut mempertahankan komitmen mereka pada keadilan.

"Pernyataan ini sangat signifikan karena negara anggota ICC seluruh dunia, termasuk sekutu-sekutu AS, berbicara," kata Dicker.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement