Kamis 25 Jun 2020 05:04 WIB

Kisah Sukses Mantan Manajer Jualan Ketupat Sayur

Di masa pandemi, bukan tidak sumber rezeki selalu ada.

Ketupat sayur
Foto: tumblr.com
Ketupat sayur

REPUBLIKA.CO.ID, Di tengah pandemi sekarang ini banyak hal terjadi, yang dulu tak pernah terjadi sekarang kita alami, misalnya pemecatan besar-besaran, libur sekolah yang panjang melebihi libur panjang semesteran, semua orang dicekam ketakutan dan memakai masker sebagai perlindungan diri dan seterusnya, semua penduduk planet bumi menyuarakan hal sama, cuci tangan, jaga jarak dan pakai masker. Ini sejarah dunia yang sebelumnya tidak pernah ada.

Teman saya, dulunya satu sekolah dan memiliki pekerjaan mapan yang sekarang terpaksa ditinggalkannya karena diberhentikan perusahaan. Pabriknya tidak jalan karena larangan berkerumun, bosnya tidak ingin dia dan keluarganya berisiko terdampak karena itu pabriknya sementara ditutup dan karyawan dibubarkan.

Jika bukan sedang ada pandemi maka tindakan perusahaan yang seperti itu akan mengundang pemerintah melalui bagian ketenagakerjaan dan LSM serikat buruh untuk ikut campur. Namun di zaman pandemi ini semua dimaklumi.

Secara tidak sengaja saya bertemu dengannya di sebuah kios tenda kaki lima, gerobak kupat tahunya penuh pembeli. Maka saya pun memarkir kendaraan dan ingin membeli, saya termasuk penyuka ketupat dan sayuran disiram kuah kacang dan dimakan pakai kerupuk.

Setelah basa basi surprise, karena seorang kelas manajer sekarang jadi sibuk melayani pembeli dengan menyiapkan sendiri makanan dagangannya, memotong-motong ketupat, menyayuri dan menguahkan bumbu kacang ke piring pembeli, satu per satu, sangat terampil, menerima pembayaran dan seterusnya, all by his self. Saya kagum dengan kecekatannya dan saya lebih kagum akan sikap humble-nya, tak sedikitpun terlihat dari sikap dan gerak geriknya bahwa orang ini dulunya manajer yang membawahi banyak pegawai.

“Saya belajar dari bos saya dulu, semuanya adalah tentang layanan terbaik,” ujarnya sesaat setelah dia duduk di depan saya dimeja kiosnya ini, pembeli sudah agak berkurang.

“Ini soal sepele tapi tidak boleh disepelekan, dari jam 6 pagi rata-rata sebelum jam 12 dagangan saya sudah habis, karena ternyata kupat tahu adalah makanan sarapan, maka sekarang ini tiap hari saya bangun jam dua pagi dan menyiapkan semua. Habis sholat Subuh saya sudah standby di sini, prime time-nya jam 6.30 sampai jam 9 pagi, saya tidak bisa istirahat di jam-jam itu, pembeli antre.”

“Bumbu kacang saya masak sampai mendidih, kadang setelah disimpan di dalam gerobak masih mengepulkan asap. Sambal saya masak juga sampai matang, semua harus bersih, semua harus nyaman dilihat agar pembeli yakin bahwa yang dia beli adalah aman untuk perutnya. Harga juga tidak boleh mahal, sama dengan yang lain, tapi saya harus lebih bersih, lebih cepat buka, all for market satisfation," dia paparkan semua rahasia dapurnya.

“Satu piring saya cuma ambil untuk Rp 3.000, modal saya 8.000 (rupiah), saya jual Rp 12.000 per porsi. Cukuplah,” dia tersenyum sambil menatap saya, sepertinya mengharap saya bertanya sesuatu.

“Okay,” saya respon.

“Berapa porsi satu hari yang bisa kami jual?" tanya saya.

Well… 80 sampai 120 porsi. Sabtu-Minggu bisa 150 porsi,” dia jawab sambil tersenyum.

“Wah.. bisa enam jutaan sebulan dong,” saya bilang, dia tertawa.

"Bukan itu saja, kami sekeluarga bisa makan kupat tahu tanpa membeli."

Saya bergumam dalam hati, itu yang disebut hidden profit, jika kita buka warung Nasi Padang, maka kita bisa makan padang tiap hari tanpa beli, paling tidak kuahnya dan remah-remah lauk pauk.

Saya pamit dan mendoakannnya agar lebih sukses, dia bilang ini lebih mengasyikkan daripada jadi manajer dulu. Ada beberapa anak muda yang datang padanya dan menawarkan diri untuk jadi franchiser-nya. Dengan pengelolaan seperti itu dan memasukan teknis pelayanan sebagai protokol consumer satisfaction, dia bisa saja jadi juragan kupat tahu di kota ini bahkan mungkin di kota-kota lain. Semut selalu berdatangan pada gula, dan laron selalu menyerbu sumber cahaya di malam hari.

Di dalam mobil sambil jalan saya merenung sendiri, ternyata persoalannya bukan pada ketiadaan lapangan pekerjaan. Sumber rezeki selalu ada dan yang penting adalah bagaimana kita memahami apa keinginan konsumen, bagaimana pembeli merasa puas atas apa yang dibelinya, baik kualitas barang, harga dan tentunya sebuah solusi, ini berkaitan dengan waktu.

Teman saya yang eks manajer tadi mungkin ceritanya akan lain jika dia jualan mulai jam 10 pagi, belum tentu selaris ini, karena jam 10 pagi orang sudah mencari nasi sebagai makan siang. Jam 10 pagi itu sudah domain lunch bukan breakfast. Ini adalah fungsi solusi di samping kualitas, harga, rasa, kebersihan dan pelayanan prima, sebuah usaha harus menjadi solusi bagi konsumen, bukan hanya solusi bagi pengusahanya. Ini yang disebut saling menguntungkan, ini yang akan mendatangkan laba dan melanggengkan usaha.

PENGIRIM/ PENULIS: Ahmed Joe Hara, Praktisi Pertanian dan Ketua Umum Asosiasi Agrobisnis Ubi Jalar Indonesia.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement