Rabu 24 Jun 2020 01:00 WIB

Pandangan Sukarno terhadap Gerakan Perempuan

Sukarno membagi gerakan perempuan menjadi tiga kelompok.

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto
Presiden Sukarno
Foto: tangkapan layar/istimewa
Presiden Sukarno

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Pembahasan sisi lain dari Presiden pertama Indonesia, Soekarno memang selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Tak terkecuali, cara pandangnya terhadap gerakan perempuan di masa lampau.

Periset Sukarno dalam Feminisme, Brigitta Blessty mengungkapkan pandangan Sukarno tentang perempuan termaktub pada buku, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia. Buku ini diterbitkan di era revolusi kemerdekaan, 1947. 

Di sisi lain, Brigitta juga menjelaskan, Sukarno membagi gerakan perempuan menjadi tiga kelompok. Tiga kelompok ini mewakili kondisi perempuan di zamannya. Konsep perempuan pertama, Sukarno menyebutnya sebagai gerakan "main putri-putrian". 

Gerakan ini terjadi sebelum Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis di mana perempuan menganggap hidupnya akan lebih baik apabila menikahi laki-laki berstrata sosial tertentu. "Minimal berada di strata sosial yang sama dengan keluarga mereka berasal," jelas Brigitta dalam kegiatan diskusi daring yang diadakan heuristik.id, beberapa waktu lalu.

Para anggota gerakan "main putri-putrian" berasal dari perempuan kalangan menengah ke atas. Gerakan ini terjadi di dua negara yang paling mencolok, yakni Jerman dan Perancis. Pergerakan ini dipimpin oleh Madame de Maintenon di Prancis dan AH Francke di Jerman.

Gerakan "main putri-putrian" dilaksanakan dengan cara mengikuti kursus kerumahtanggaan. Artinya, perempuan diajarkan cara menjahit, memasak dan memperlakukan laki-laki sebagai yang dipertuan. Cara-cara ini dilakukan agar mereka dapat memikat para laki-laki sehingga mau menikahinya.

Perceraian bukan hal yang mendasar dari kehidupan rumah tangga para pengikut gerakan "main putri-putrian". Hal yang perlu diperhatikan justru kesadaran atau pengetahuan mengenai perbedaan hak dan kewajiban. Tidak ada bekal mengenai perbedaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan saat itu.

Menurut Brigitta, gerakan "main putri-putrian" ini tidak bertahan lama karena tergantikan dengan lainnya. "Karena gerakan ini digerakkan oleh perempuan yang kelas menengah ke atas. Yang permasalahan mereka satu-satunya adalah bagaimana mempertahankan strata sosial mereka," katanya.

Secara khusus, gerakan "main putri-putrian" ini mulai terkikis dengan adanya keberadaan perempuan kelas bawah. Saat itu perempuan kelas bawah memiliki masalah dan himpitan ekonomi. Situasi ini membuat mereka lebih terbuka dalam memandang kehidupan.

Perempuan kelas bawah memang mendapatkan kesempatan bekerja tapi tidak pada aspek pendidikan. Mereka tidak memperoleh hak sama dalam bidang tersebut dibandingkan laki-laki. Meski demikian, kalangan ini dinilai lebih sadar mengenai ketimpangan karena revolusi industri saat itu perlahan-lahan mulai terjadi. 

Kondisi yang dialami perempuan kalangan bawah memungkinkan mereka untuk keluar rumah. Lalu bekerja di pabrik dan mendapatkan upah. Mereka tahu bagaimanapun memberikan kontribusi keuangan dalam kehidupan rumah tangganya.

"Namun sayangnya, kehidupan mereka di pabrik ini buruh murah saat itu. Kedua, permasalahan mendasar selain mereka harus mengerjakan pekerjaan di pabrik, mereka juga harus mengerjakan tugas-tugas di rumah mereka," katanya.

Berdasarkan fenomena tersebut, Sukarnopun merumuskan perlunya gerakan ketiga. Sebab, gerakan-gerakan perempuan sebelumnya masih menemukan masalah. Masalah tersebut belum menemukan solusi yang tepat di masa lampau.

Pada gerakan ketiga, Sukarno mengambil satu teori bahwa laki-laki dan perempuan itu butuh kerja sama. Keduanya harus saling membantu suatu masyarakat yang bisa menguntungkan satu sama lain. "Kalau masyarakatnya bisa berperan aktif secara bersama-sama, mereka juga bisa berperan aktif dalam bernegara. Hal ini yang kemudian dianggap Sukarno ini gerakan perempuan di saat itu," ucapnya.

Ungkapan Sukarno mengenai gerakan perempuan pada dasarnya karena kebutuhannya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dia membutuhkan seluruh lapisan masyarakat mengingat kala itu Belanda hendak kembali ke Indonesia. Jikapun tidak ada ancaman tersebut, Sukarno tetap membutuhkan masyarakat untuk menyusun sistem kenegaraan.

Hal yang pasti, Sukarno tidak hanya berbicara tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. Ia lebih menekankan bagaimana strata sosial dan ekonomi antara perempuan dan laki-laki. Sebab, keduanya memiliki kebutuhan dan kewajiban yang berbeda di masyarakat.

"Prinsipnya adalah kebutuhanku tidak sama dengan kebutuhanmu. Oleh sebab itu, Sukarno mengharapkan partisipasi seluruh masyarakat," kata Brigitta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement