Selasa 23 Jun 2020 14:17 WIB

Alasan Sri Mulyani Ajukan Redesain Sistem Penganggaran

Sri Mulyani melihat adanya ketidaksinkronan antara belanja pusat dan daerah.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Menteri Keuangan Sri Mulyani mencatat masih banyak evaluasi yang harus dilakukan dalam sistem penganggaran. Oleh karena itu, ia bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas mengajukan redesain sistem penganggaran melalui Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Selasa (23/6).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Menteri Keuangan Sri Mulyani mencatat masih banyak evaluasi yang harus dilakukan dalam sistem penganggaran. Oleh karena itu, ia bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas mengajukan redesain sistem penganggaran melalui Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Selasa (23/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mencatat masih banyak evaluasi yang harus dilakukan dalam sistem penganggaran. Oleh karena itu, ia bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas mengajukan redesain sistem penganggaran melalui Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Selasa (23/6).

Sri menyebutkan, redesain sebenarnya sudah dimulai pada 2020. Seiring muncul pandemi Covid-19 yang menyebabkan disrupsi luar biasa terhadap penganggaran, pemerintah harus sedikit menundanya. "Tapi, kita ingin siapkan terus untuk bisa dilaksanakan 2021," katanya.

Baca Juga

Salah satu hasil evaluasi penganggaran yang disebutkan Sri adalah ketidaksinkronan antara belanja pusat dengan daerah, terutama dari sisi koordinasi. Dampaknya, capaian kinerja menjadi tidak optimal seperti yang sudah direncanakan.

Misalnya saja, Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik mengenai jalan. Sri mengatakan, pemerintah pusat dan daerah kerap tidak sejalan untuk menentukan prioritas antara jalan nasional, provinsi, kabupaten atau kota.

 

Evaluasi kedua, program yang digunakan dalam dokumen perencanaan dan penganggaran sering berbeda sehingga sulit untuk dikonsolidasikan. Di antaranya tentang pengentasan kemiskinan, kesehatan dan pendidikan. "Ini sering perlu dilakukan sinkronisasi lagi dari dokumen anggaran di Bappenas dan perencanaan di K/L masing-masing dengan program DIPA-nya (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran)," tutur Sri.

Evaluasi berikutnya, rumusan nomenklatur program dan outcome dari sebuah program kerap tidak terukur atau hanya bersifat normatif. Sri memberikan contoh, Nilai Tukar Petani (NTP) yang baru saja dimasukkan dalam kerangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) mulai tahun depan.

Meski NTP sudah disertakan dalam kerangka beserta range angka, program-program yang disiapkan K/L terkait masih bersifat normatif. Contohnya, bagaimana menyejahterakan petani dan program lainnya yang tidak terukur. "Sehingga sulit menghubungkan output, outcome dengan penganggarannya," ucap Sri.

Hasil evaluasi terakhir, Sri menambahkan, rumitnya informasi kinerja pembangunan yang tertuang dalam dokumen perencanaan penganggaran. Publik sulit memahaminya, sehingga kerap muncul kritikan mengenai dokumen anggaran yang isinya sangat normatif dan terlalu banyak deskrispi. Ini akan memunculkan kesulitan untuk akuntabilitas, terutama dalam tracking efisiensi.

Empat hasil evaluasi ini yang akan digunakan sebagai dasar dalam redesain sistem penganggaran. Sri menjelaskan, tujuan redesain adalah untuk mengakselerasi inisiatif selama ini, yakni membangun money follow program. "Jadi, programnya jelas, sehingga uangnya jelas," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement