Kamis 25 Jun 2020 00:44 WIB

Kisah Pengungsi Rohingya yang Melarikan Diri dari Indonesia

Kisah Seorang Pengungsi Rohingya yang Melarikan Diri dari Indonesia

Red:

Sudah beberapa hari terakhir ratusan aktivis tampak berkumpul di depan sebuah hotel di Kota Brisbane, Australia.

Mereka melakukan aksi protes setelah seorang pencari suaka bernama Farhad Rahmati dipindahkan secara paksa ke tahanan imigrasi di Brisbane.

Ada sekitar 120 pencari suaka yang ditahan di Nauru dan Pulau Manus, telah diterbangkan ke Brisbane untuk tinggal di sejumlah hotel dan apartemen dan mendapatkan perawatan medis.

Salah seorang pencari suaka asal Rohingya yang ditemui ABC, Abdul Sattar (23), membagikan kisah hidupnya sampai terdampar di hotel yang juga berkesan seperti penahanan tersebut.

 

'Merasa seperti anjing buangan'

Abdul Sattar menghabiskan sepertiga hidupnya di dalam pusat penahanan imigrasi di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Ia baru berusia 14 tahun ketika terpaksa meninggalkan kampung halamannya di Maungdaw, Myanmar.

"Saya tinggalkan Burma karena sudah tidak aman bagi saya," ujarnya, melalui penerjemah.

Ia mengisahkan bagaimana kerusuhan mulai merebak di tahun 2012.

"Semua pria ditangkap dan dibawa oleh tentara Myanmar. Kebanyakan yang dibawa tentara ini tidak pernah lagi kembali," ujarnya.

 

"Ibuku punya sedikit uang dan berhasil menaikkan saya ke perahu menuju Bangladesh," jelasnya.

"Tapi perahu itu ternyata berlabuh di Thailand. Lalu saya pun turut berjalan kaki melintas ke Malaysia," kata Sattar.

Ia menggambarkan betapa beratnya perjalanan darat yang kini ia sesali.

"Saya kehilangan harapan, tak tahu apa yang saya lakukan, dan saya merasa seperti anjing liar," ujarnya.

"Saya mungkin tidak akan datang ke Australia jika tahu mereka akan memperlakukanku seperti itu," kata Sattar.

Sesampainya di Malaysia, Abdul yang masih remaja, berhasil menemui seorang tantenya yang tinggal di sana secara ilegal.

"Dia memberitahu saya mengenai orang-orang yang pergi ke Australia dengan perahu," katanya.

Keluarganya pun mengatur keberangkatannya yang harus melewati Indonesia.

"Saya tak sadarkan diri selama berada di perahu, saya tak tahu kami dibawa ke mana," ujarnya.

"Begitu tiba di Indonesia, saya langsung ditahan. Selama sembilan bulan. Saat itu saya baru menginjak usia 15," kata Abdul.

Setelah berada di pusat penahanan imigrasi Indonesia selama sembilan bulan, Abdul akhirnya melarikan diri.

Ada seorang pencari suaka lainnya yang membantunya ikut naik perahu ke Australia.

Tapi rombongan pencari suaka itu berakhir dengan ditahan selama lima bulan di Christmas Island.

 

Dikirim ke Nauru

Di Christmas Island, katanya, petugas imigrasi memberitahu bahwa dia masuk ke negara ini secara ilegal dan karena itu akan dikirim ke Nauru."

 

Setelah empat bulan tinggal di Nauru, Abdul jatuh sakit dan akhirnya dikirim ke Brisbane untuk mendapatkan perawatan medis.

"Saat perawatan saya selesai, petugas imigrasi memberitahu bahwa saya harus kembali ke Nauru," ujarnya.

Ia menjalani perawatan medis selama sebulan di salah satu RS di Brisbane dan menolak untuk dipulangkan ke Nauru.

"Sudah saya sampaikan ke petugas imigrasi, saya tak mau kembali ke Nauru karena tak aman, tak ada sekolah. Saya masih muda dan seharusnya bisa sekolah," kata Abdul.

Ia lalu dipindahkan dari RS di Brisbane ke Wickham Point Detention Centre di Darwin, Australia Utara.

Di sana, Abdul juga diberitahu oleh petugas bahwa ia akan dikembalikan ke Nauru.

Ketika akhirnya kembali ke Nauru, Abdul sempat masuk ke detensi imigrasi sebelum dilepas ke masyarakat meskipun masih berusia di bawah umur.

Tak lama berselang setelah itu, Abdul mendapatkan statusnya sebagai pengungsi.

'Tujuh tahun hidupku hancur di Nauru'

Dengan status pengungsi, Abdul mendapatkan tempat tinggal bersama pengungsi di bawah umur lainnya di Nauru.

"Rumah yang kami tempati jauh lebih buruk daripada tahanan imigrasi," ujarnya.

"Kami tak bersekolah. Tak ada akses ke pendidikan. Bahkan tak ada peluang untuk belajar bahasa Inggris," katanya.

 

Ia menghabiskan tujuh tahun hidupnya di dalam masyarakat yang ia gambarkan tak layak ditinggali.

"Tempatnya tak bisa dihuni, bukan tempat dimana kita bisa hidup aman dan tenang," ujarnya.

Ia merasa tak pernah aman selama tinggal di san dan selalu takut dengan penduduk setempat.

Abdul mengatakan banyak pencari suaka yang sudah dilepas dari detensi imigrasi yang dipukuli oleh penduduk setempat.

"Tujuh tahun hidupku hancur di Nauru. Hatiku membatu sehingga saya tak lagi merasa sebagai manusia," ujarnya.

Kini, meski dia telah berada dalam detensi imigrasi di Brisbane, namun Abdul merasa tak berdaya jika harus kembali Nauru untk ketiga kalinya.

"Jika harus kembali ke Nauru, lebih baik saya mati saja," katanya.

Departemen Dalam Negeri Australia yang membawahi keimigrasian mengatakan kepada ABC jika pengungsi di bawah umur yang dilepas ke masyarakat di Nauru mendapatkan pelajaran bahasa Inggris.

Demonstrasi dukung pengungsi

 

Sudah dua minggu hari terakhir, di tengah pembatasan COVID-19, sejumlah aktivis berkumpul di Kangaroo Point Hotel yang dijadikan sebagai tahanan imigrasi untuk 120 pencari suaka.

Mereka menuntut agar pemerintah tidak memindahkan 120 pencari suaka ini ke pusat penahanan imigrasi berkeamanan tinggi di bagian lain Kota Brisbane.

"Respon masyarakat Brisbane sangat menggembirakan dan sejalan berkembangnya gerakan ini, tentu akan lahir perubahan institusional," kata seorang aktivis, Zoe Hulme-Peake kepada ABC.

Ia menjelaskan tujuan aksi mereka adalah menunjukkan dukungan dan solidaritas terhadap mereka yang berada di dalam detensi.

Zoe menuding pemerintah berusaha menutupi apa yang dialami para pengungsi di Brisbane.

Sementara itu juru bicara Islamic Council of Queensland, Ali Kadri, secara terpisah menyatakan para tahanan imigrasi ini telah "dianiaya secara mental".

"Hal ini bertentangan dengan kemanusiaan, bertentangan dengan nilai-nilai Australia," katanya.

Terkait masa depan para pengungsi, juru bicara Kementerian Dalam Negeri mengatakan tak seorang pun yang proses visanya di negara ketiga akan ditempatkan di Australia secara permanen.

Namun Abdul belum kehilangan harapan untuk mendapatkan kebebasan di Australia.

"Saya serahkan harapan ini kepada Allah. Dia yang Maha Mengetahui," ujarnya.

"Jika suatu saat saya bisa tinggal dalam masyarakat di Australia, saya ingin kuliah," tambahnya.

Diterjemahkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris di sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement