Selasa 23 Jun 2020 04:31 WIB
Santri

NU dekat PKI, NU Hadapi PKI: Kisah Konflik Santri-Komunis

Kisah Konflik Santri-Komunis

Massa berunjuk rasa di kantor CC PKI yang terletak di Jl Kramat Raya Jakarta atau persis berada di sebarang kantor PBNU, pasca meletusnya peristwa G30S/PKI..
Foto: Google.com
Massa berunjuk rasa di kantor CC PKI yang terletak di Jl Kramat Raya Jakarta atau persis berada di sebarang kantor PBNU, pasca meletusnya peristwa G30S/PKI..

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh  Akhmad Khoirul  Fahmi, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Unsoed dan Pengurus Pesanteb al Azhari, Banyumas.

Inilah uniknya politik. Meski satu kepala dalam selimut yang sama, --sebagai bagian tiga kekuatan dalam Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunis) di era Bung Karno-- NU dan PKI ternyata punya tujuan lain. Istilahnya 'rambut memang sama hitam' namun kepala dan isinya setiap kepala orang berbeda-beda.

Kisahnya ini terekam kuat dalam kisah tokoh Islam seperti Isa Anshari dan KH Syaefudin Zuhri, Ceritanya dimulai usai menghadiri rapat beberapa hari setelah Peristiwa PRRI meledak. Kala itu  KH M Isa Anshari yang tokoh Masyumi akan pulang dengan menumpang  mobil tokoh NU, Kiai Saifuddin Zuhri.

“Saudara  akan lewat jalan  mana?” bertanya  KH M Isa  Anshary.  

 

“Ke Kramat Raya, ” jawab Kyai Saifuddin.

”Aku  biasa  tiap hari  pergi  pulang  antara  kantor  PBNU  di  Jalan Kramat  Raya  dan  Gedung DPR  di Jalan Wahidin  di  depan Lapangan Banteng”.

“Saya ikut,"   seru  KH M Isa Anshary.  “Nanti  saya diturunkan  di kantor PBNU. Biarlah  saya  naik  becak  menuju   Jatinegara,'' tambahnya.

“Biar  aku  antar, kemana  tujuan  saudara?”  balas Kiai  saifuddin.

“Kalau begitu ke Kantor  Persis  di Jalan  Raya  Jatinegara saja,'' jawab KH  M Isa Anshary.

Dalam perjalanan pulang di dalam mobil itu, keduanya agak  lama  saling membisu. Peristiwa  meledaknya pemberontakan PRRI  membuat antara KH Isa Anshari dan KH Saifuddin Zuhri  seperti   ada jarak.  Ada semacam  rasa kikuk. Meskipun  tokoh-tokoh  puncaknya  memang tidak  secara langsung terlibat dalam peristiwa itu, tetapi  tidak semua  tokoh  Masyumi setuju PRRI.

“Medan perjuangan  itu  disini, di  Jakarta, bukan di  hutan...!”  tiba  tiba  KH M Isa Anshary  memecah keheningan. Suaranya setengah berteriak. "Seorang  pemimpin tidak  pantas meninggalkan anak buah  begitu  saja!” lanjunya dengan suara  seperti  menahan geram.

KH Saifuddin Zuhri kemudian mengaku bahwa dirinya tak  punya keberanian  untuk  menatap wajah  KH M Isa Anshary saat itu. Tak  juga ada keberanian berkomentar  demi   persahabatan  dan  toleransi. Meski begitu dirinya  paham, kepada siapa sindiran  dalam  nada  amat  marah  itu diajukan oleh KH Isa Anshari.

Ketika  tiba  di  kantor  Persis, Isa Anshari pun turun dari mobil. Dia tak  lupa  mengucapkan terima  kasih  sambil  mengelus   tanganku.

Kisah ini ada dalam buku biografi KH Saefuddin Zuhri. Dia banyak menulis hal tentang pengalama hidupnya itu. Di sana tertulis begini misalnya:

Perkawanan  dan pertikaian  politik kadang  persoalan  hanya  kecocokan  antar pribadi.  Bisa jadi   akrab secara pribadi, tapi  tidak  cocok  dengan kelompoknya. Atau dalam  satu  kelompok politik dan keagaman  sama, namun tidak suka  dengan  pribadinya. Dan berbagai  variasi dari hubungan  komunikasi  antar pribadi   tokoh  tokoh politik.

Namun  yang pasti  dalam  cacatan  perjalanan politisi  dahulu,   perkawanan   lebih  alami. Termasuk  hal  akrab  satu  sama  lain.  Sukiman Wiyosanjoyo  (tokoh Masyumi)  lebih   dianggap bisa diterima  di  kalangan NU, seperti  dibanding  sosok  Natsir yang  lebih dekat  ke  pemikiran  organisasi  Persis. Akan tetapi  dalam  riwayat, juga dikisahkan  kedekatan  M Natsir  dengan  Kyai  Masykur  tokoh  NU  yang lain.

Kiai  Saifuddin Zuhri  juga  memberikan catatan  dalam  memoirnya, bahwa  suatu saat  meneirma kunjungan KH  Faqih Usman, salah seorang   tokoh Masyumi (Muhammadiyah)  yang berpengaruh di Kantor PBNU di Jl Kramat Raya, Jakarta. Kunjungan ini baginya bukan hal istimewa karena sejak  zaman revolusi  antara dirinya dengan KH Fasqih Usman telah  bersahabat  dengan  baik, sekalipun usia terpaut 10 tahun. Apalagi, KH Faqih Usman juga salah seorang  tokoh barisan Sabilillah  yang  mendampingi  KH  Masykur  dan  bahkan pernah  menjadi atasannya.

Kala itu, KH Faqih Usman datang berkunjung untuk melihat-lihat  kantor PBNU  yang  masih  baru. Dari  ruangan bawah  hingga  ke  ruangan-ruangan bagian atas,   dari bagian  belakang hingga  ke  bagian depan dicermatinya dengan lengkap.  Ia  memberi komentar  bahwa gedung itu  cukup lumayan  dan termasuk  murah. Ia  memuji  pula  bahwa  letaknya  amat strategis.

“Lho,  ternyata  NU  ini amat dekat  dengan PKI, ya?” seru  KH  Faqih Usman  setengah berteriak. Pekikan suara  itu  mungkin   hanyalah ekspresi  dari  hasil tatapannya, setelah  melihat  dari  tingkat  dua  bahwa  ternyata  gedung kantor  PBNU  berhadap-hadapan  dengan kantor CC-PKI.

Tapi  teriakan KH Faqih Usman, bagi KH Syafeuddin Zurhri bisa juga dianggap sebagai suatu sindirian. Ini karena pada masa itu, beberapa  orang  Masyumi  ada yang senang  mengampanyekan  NU  “dekat”  dengan PKI.

Dan memang Jalan Kramat  Raya  memanjang  dari ujung  satu   di  Senen Raya  dan  diujung lain di Salemba kala itu ruas jalan penting dalam dunia politik Indonesia.  Di  jalan  itu  terdapat empat  kantor partai politik.  Pada deretan sebelah  timur  dengan berjarak  antara 200-300  meter dari kantor PB NU, berdiri  kantor  DPP  Masyumi—terletak  di ujung  jalan  kramat raya atau sekarang kantor Dewan  dakwah Indonesia),  lalu  sebelahnya  kantor  CC   PKI  yang persis  berada di depan kantor   PBNU yang hanya berada di seberang jalan. Lalu, yang  terletak  mendekati  kawasan Salemba  raya  berdiri kantor PNI. Jadi  Kantor Masyumi, PKI dan PNI  berada   pada satu  baris.

Mendengar teriakan pertanyaan KH Faqih Usman dengan berseloroh KH Syaefuddin Zuri menjawabnya: “Habis...Masyumi   dan  PNI  saling  menjauhi, makanya  PKI  kami  hadapi  setiap hari setiap  saat!!, Jawab  Kyai Saifuddin setengah  ketus berbau sendirian pula. Mendengar itu kedunya pun tertawa berdera berbareng.

Jadi NU ternyata memang terkesan dekat dengan PKI dalam Nasakom, tapi ternyata kemudian berhadap-hadapan langsung dengan PKI. Bahkan beberapa bulan pasca peritiwa G30S PKI maka akar rumput di Jawa Tengah dan Jawa Timur kedua organisasi ini saling berkelahi sampai berdarah-darah dengan korban ribuan orang. Istilahnya gampangnya terjadi tawuran massal 'hidup-mati' seperti perang sipil AS yang kemudian melahirkan para janggo dan film Cowboy (Western Film).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement