Senin 22 Jun 2020 14:39 WIB

BPS: Ekonomi Indonesia Bakal Kontraksi di Kuartal Kedua

Saat ini banyak indikator ekonomi Indonesia yang melambat.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto berpose untuk Republika saat ditemui di Kantor Badan Pusat Statistik, Jakarta, Selasa (7/1).
Foto: Thoudy Badai_Republika
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto berpose untuk Republika saat ditemui di Kantor Badan Pusat Statistik, Jakarta, Selasa (7/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto memastikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua akan mengalami kontraksi. Ini ditunjukkan dengan berbagai indikator ekonomi yang ada sampai Mei.

Salah satu indikator yang disebutkan Suhariyanto adalah pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama. Pada periode Januari-Maret, ekonomi hanya tumbuh 2,97 persen, di bawah prediksi pemerintah yakni sekitar empat persen.

Baca Juga

“Untuk ekonomi dengan indikator yang ada sampai bulan Mei 2020, bisa dipastikan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua kontraksi,” ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (22/6).

Apabila dilihat lebih detail, pertumbuhan ekonomi di enam sektor mengalami pelambatan. Khusus untuk pertanian, Suhariyanto menjelaskan, hal ini dikarenakan pergeseran puncak panen raya dari kuartal pertama ke kuartal kedua.

Dari hasil pengamatan BPS menggunakan kerangka sampel area, produksi padi diperkirakan mengalami kenaikan enam hingga tujuh persen. Suhariyanto berharap, pencapaian ini mampu menahan laju kontraksi lebih dalam pada kuartal kedua.

Indikator lain yang disebutkan Suhariyanto adalah penurunan penjualan mobil. Pada April hingga Mei 2020 saja, penjualannya sudah turun 93,21 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Penurunan ini dalam dibandingkan kuartal pertama yang merujuk pada Berita Resmi Statistik (BRS) terjadi kontraksi 6,88 persen dibandingkan kuartal pertama 2019.

Begitupun dengan penjualan motor yang dinilai Suhariyanto lebih merepresentasikan pengeluaran golongan menengah ke bawah. Pada April, penjualannya turun hingga 79,31 persen dibandingkan April 2019. "Jadi, memang dalam sekali," katanya.

Demikian juga dengan impor bahan baku. Pada April-Mei 2020, terjadi penurunan 30,63 persen dibandingkan periode yang sama pada 2019. PMI Manufaktur pun masih berada pada level 27,5 pada April dan 28,6 pada Mei, jauh dari batasan ekspansi yang ditetapkan berada pada tingkat 50,0.

Suhariyanto mengatakan, gambaran buram juga terlihat dari sisi pengeluaran dengan seluruh  komponen mengalami penurunan cukup dalam pada kuartal pertama. Khusus konsumsi rumah tangga, terjadi penurunan signifikan, dari 5,02 persen pada kuartal pertama 2019 (yoy) menjadi 2,84 persen pada kuartal pertama 2020 (yoy).

Suhariyanto menjelaskan, penyebabnya adalah terjadi penurunan permintaan yang dalam untuk konsumsi non makanan. Pertumbuhan konsumsinya drop dari 4,7 persen ke 1,38 persen pada kuartal pertama tahun ini. “Karena penurunan konsumsi pakaian, alas kaki, transportasi, komunikasi, penjualan motor dan mobil dan sebagainya,” ujarnya.

Nilai transaksi elektronik seperti kartu kredit dan debit juga mengalami kontraksi lebih dalam. Dari semula kontraksi 1,07 persen pada kuartal pertama menjadi kontraksi 18,96 persen pada periode April hingga Mei.

Situasi yang tidak kalah buruk terlihat dari jumlah penumpang angkutan udara. Pada kuartal pertama, indikator ini kontraksi 13,62 persen yang kini sudah mencapai negatif 87,91 persen.

"Dengan memperhatikan indikator-indikator ini, kita bisa perkirakan akan cukup dalam kontraksi pada kuartal kedua," tutur Suhariyanto.

Penyampaian BPS senada dengan prediksi Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dalam paparan kinerja APBN pada Selasa (16/6), ia mengatakan, kontraksi ekonomi menjadi sesuatu yang tidak dapat terhindarkan pada kuartal kedua. Ia bahkan memprediksi, pertumbuhan dapat mencapai negatif 3,1 persen dibandingkan kuartal kedua tahun lalu.

Kontraksi dikarenakan pemerintah pusat maupun daerah mulai insentif memberlakukan social distancing pada pertengahan dan akhir Maret yang berdampak pada perlambatan kegiatan ekonomi. Efeknya sudah terlihat dari penerimaan pajak bulan lalu yang mengalami kontraksi pada semua sektor.

"Nah, kita harap (pertumbuhan ekonomi) kuartal ketiga dekati nol, sehingga technically nggak resesi," kata Sri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement