Ahad 21 Jun 2020 16:37 WIB

Langkah Mesir Dianggap Pukul Genderang Perang di Libya

Presiden Mesir Sisi memperingatkan kemungkinan Mesir kerahkan militer di Libya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Tentara Libya merayakan kemenangan setelah merebut kota Tarhuna dari milisi pemberontak Khalifa Haftar di barat Libya pada 5 Juni 2020. ( Hazem Turkia - Anadolu Agency )
Foto: Anadolu Agency
Tentara Libya merayakan kemenangan setelah merebut kota Tarhuna dari milisi pemberontak Khalifa Haftar di barat Libya pada 5 Juni 2020. ( Hazem Turkia - Anadolu Agency )

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Anggota Dewan Tinggi Libya Abdurrahman Shater mengecam ancaman intervensi militer yang dikemukakan Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi. Dewan Tinggi Libya merupakan sekutu Government of National Accord (GNA), pemerintahan Libya yang diakui PBB.

Shater menyoroti pidato Sisi saat mengunjungi pangkalan udara di Matrouh pada Sabtu (20/6). Pada kesempatan itu, Sisi meminta pasukannya untuk siap mengemban misi, baik di dalam maupun di luar negeri, guna menjaga keamanan nasional.

Baca Juga

“Pidato al-Sisi di depan kerumunan pasukannya di dekat perbatasan memukul genderang perang,” ujar Shater melalui akun Twitter pribadinya, dikutip laman Aljazirah, Ahad (21/6).

Menurut Shater Mesir telah melakukan intervensi selama empat tahun di Libya. Namun Sisi menolak mengakuinya. Sisi, kata Shater, justru membuat klaim dan dalih menaruh bahwa dirinya menaruh perhatian pasa keamanan Libya.

Shater menilai keamanan dan demokrasi Libya telah terancam sejak Sisi bersikeras membawa pasukannya ke negaranya. “Lepaskan tangan Anda dari kami dan jangan ulangi tragedi Anda di Yaman,” ucapnya.

Sisi menyinggung tentang kemungkinan mengutus misi militer eksternal jika diperlukan. “Bersiaplah untuk melakukan misi apa pun, di sini di dalam perbatasan kita atau jika perlu di luar perbatasan kita,” kata Sisi.

Pada kesempatan itu, dia turut membahas tentang konflik di Libya. Sisi mengklaim bahwa Mesir tidak ingin melakukan intervensi di negara tersebut. Ia lebih menyukai solusi politik.

Namun menurutnya saat ini situasinya berbeda. Dia memperingatkan agar pasukan GNA, yakni pemerintahan Libya yang diakui PBB, tidak melewati garis depan Sirte dan Al-Jufra. “Jika beberapa orang berpikir bahwa mereka dapat melewati garis depan Sirte-Jufra, ini adalah garis merah bagi kita,” ujarnya.

Sisi memperingtkan bahwa intervensi langsung Mesir di Libya kini telah memperoleh legitimasi internasional. “Baik dengan hak untuk membela diri atau atas permintaan satu-satunya otoritas terpilih yang sah di Libya, yang merupakan Dewan Perwakilan Rakyat (Tobruk),” ucapnya.

Saat ini Sirte masih dihuni pasukan LibyanNational Army (LNA) pimpinan Jenderal Khalifa Haftar. Sudah lebih dari setahun LNA melancarkan serangan ke basis GNA di Tripoli. Pada April lalu, Mesir bersama Rusia, UEA, dan Prancis mendukung agresi yang dilancarkan LNA ke Tripoli.

GNA mengecam dukungan tersebut dan mulai melakukan konsolidasi dengan Turki. Dengan bantuan Ankara, GNA berhasil memukul mundur pasukan LNA dan merebut kembali lokasi-lokasi strategis, termasuk Tarhuna, benteng terakhir Haftar di Libya barat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement